​​​​​​​Kritik dan Masukan Pemangku Kepentingan Terhadap Praktik Outsourcing
Outsourcing Berkeadilan

​​​​​​​Kritik dan Masukan Pemangku Kepentingan Terhadap Praktik Outsourcing

​​​​​​​Dibutuhkan regulasi yang memberi kepastian dan perlindungan.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Pertumbuhan industri di dunia semakin berkembang pesat, kompetisi juga semakin ketat. Kondisi itu mendesak pelaku usaha untuk menjalankan bisnisnya lebih efektif dan efisien. Seperti pertumbuhan industri manufaktur di Indonesia era 1970-an, ketika itu perusahaan mengelola seluruh bisnisnya dari hulu sampai hilir. Misalnya pabrik sepatu, dia merancang, membuat, dan memasarkan sendiri produknya.

 

Seiring banyaknya perusahaan asing yang masuk ke Indonesia, para pelaku usaha membawa konsep bisnis baru dalam menjalankan usahanya. Pekerjaan yang harus dilakukan semakin kompleks, sehingga seluruh proses bisnis itu tidak lagi dikerjakan oleh satu perusahaan saja. Perusahaan membutuhkan orang dari perusahaan lain yang akan melaksanakan pekerjaan tertentu. Sebagian pekerjaan yang diberikan untuk dikerjakan perusahaan lain itulah yang disebut dengan istilah outsourcing. Begitu pandangan umum pelaku bisnis outsourcing sekaligus Ketua Umum Asosiasi Bisnis Alih Daya Indonesia (ABADI), Greg Chen, menjelaskan awal perkembangan praktik outsourcing di Indonesia.

 

Pada era 1990-an, Greg mengingat industri perbankan mulai banyak menggunakan jasa outsourcing. Lagi-lagi konsep itu diperkenalkan perusahaan asing, banyaknya ragam produk perbankan yang dimiliki bank asing membuat perusahaan itu membutuhkan tenaga kerja yang cukup banyak. Walau belum ada aturan khusus yang mengatur tentang outsourcing, tapi praktiknya kala itu sudah tumbuh.

 

Terbitnya UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan membuat aturan mengenai outsourcing semakin jelas. UU Ketenagakerjaan mengatur penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain atau outsourcing melalui dua mekanisme, yakni pemborongan dan penyedia jasa pekerja. Seperti negara maju, adanya regulasi itu membuat aturan main menjadi lebih jelas, mana yang boleh dan tidak. Tapi yang pasti hampir seluruh bisnis proses, bidang usaha, dan jenis pekerjaan bisa diserahkan pelaksanannya kepada perusahaan lain menggunakan mekanisme outsourcing.

 

UU Ketenagakerjaan memberi jalan bagi perusahaan outsourcing untuk semakin berkembang. Greg mengamati semakin banyak jumlah perusahaan outsourcing yang muncul setelah UU Ketenagakerjaan diundangkan. Regulasi dibutuhkan agar ada kepastian bagi pengusaha dalam menjalankan bisnisnya. Tanpa kepastian itu pengusaha sulit memprediksi kemungkinan yang akan terjadi ke depan. “Jadi bisa dihitung profit dan risiko yang ada. Kalau pekerja butuh kepastian keberlangsungan kerja, pengusaha juga mau kepastian dalam menjalankan bisnis,” katanya kepada hukumonline di Jakarta, Jumat (12/1).

 

Greg mendirikan perusahaannya yang bergerak di bidang outsourcing beberapa tahun setelah terbit UU Ketenagakerjaan, sekitar tahun 2005. Dia mengamati periode 2003-2013 belum semua perusahaan outsourcing bisa menjalankan bisnisnya dengan baik dan profesional. Akibatnya, banyak keluhan dari perusahaan pengguna jasa dan serikat buruh mengenai praktik outsourcing. Ini menyebabkan persepsi masyarakat terhadap praktik outsourcing menjadi buruk. Misalnya, ada pelamar kerja yang diminta uang ratusan ribu sampai jutaan rupiah dan dipotong upahnya.

 

Berbagai praktik outsourcing yang berkembang periode itu membuat kalangan buruh menggugat ketentuan mengenai outsourcing ke Mahkamah Konstitusi sehingga terbit putusan MK No.27/PUU-IX/2011. Kemudian pemerintah menindaklanjutnya dengan menerbitkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) No.19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain. Beleid ini turun setelah terbit putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan sebagian permohonan pengujian pasal-pasal outsourcing dalam UU Ketenagakerjaan.

Tags:

Berita Terkait