Pansus RUU Terorisme Diminta Abaikan Surat Panglima TNI
Pembahasan RUU:

Pansus RUU Terorisme Diminta Abaikan Surat Panglima TNI

Pelibatan TNI dalam menangani terorisme tidak perlu dimasukan dalam RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, cukup merujuk UU TNI.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi penanganan aksi terorisme. Foto: RES
Ilustrasi penanganan aksi terorisme. Foto: RES

Tugas Panitia Khusus Revisi Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang (RUU Terorisme) terhambat. Surat Panglima Tentara Nasional Indonesia tertanggal 8 Januari lalu seolah membuat proses pembahasan RUU kembali ke titik awal. Dalam suratnya, Panglima meminta beberapa hal, termasuk mengubah judul RUU untuk mengakomodasi keterlibatan militer dalam penanganan terorisme.

Reaksi keras atas surat Panglima itu tak hanya datang dari Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly, tetapi juga sejumlah elemen masyarakat sipil. Yasonna menyesalkan tidak satu suaranya Pemerintah dalam pembahasan RUU, padahal drafnya diusulkan sendiri oleh Pemerintah.

Ada empat poin penting dalam surat Panglima dimaksud. Pertama, agar dibuat UU baru mengganti UU Terorisme karena materi pembahasan RUU Terorisme yang sekarang berproses di DPR lebih dari 50 persen. Kedua, mengusulkan judul RUU diubah menjadi ‘Penanggulangan’ Aksi Terorisme. Jika masih menggunakan judul ‘Pemberantasan’ Tindak Pidana Terorisme, penanganan aksi terorisme menjadi sempit karena yang diberi kewenangan hanya Polri. Selain itu, istilah ‘pemberantasan’ memberi kesan UU baru bisa digunakan bila terjadi aksi terorisme. Seharusnya dalam menghadapi terorisme menggunakan strategi penegakan hukum yang proaktif atau delik formil sehingga bisa menjerat pelaku pada tahap perencanaan.

(Baca juga: Cegah Terorisme, Presiden Minta Revisi UU Terorisme Segera Rampung).

Ketiga, defenisi terorisme. TNI mengusulkan defenisi terorisme yakni kejahatan terhadap negara, keamanan negara, dan keselamatan segenap bangsa yang memiliki tujuan politik dan/atau motif lainnya, yang dilakukan oleh perorangan atau kelompok terorganisir, bersifat nasional dan/atau internasional. Keempat,  tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme merupakan bagian dari operasi militer selain perang (OMSP). Tugas tersebut dilakukan melalui pencegahan, penindakan, dan pemulihan berkoordinasi dengan BNPT dan/atau kementerian/lembaga terkait. Aksi terorisme itu meliputi aksi teror terhadap Presiden dan wakil Presiden serta keluarganya dan tamu negara setingkat kepala negara atau kepala pemerintahan yang berada di Indonesia. Teror terhadap kapal, pesawat udara dan objek vital nasional serta terhadap kapal dan pesawat asing di wilayah Indonesia. Selanjutnya, aksi. terorisme yang ditangani TNI yaitu aksi teror di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif, kawasan regional dan/atau internasional. Terakhir, aksi teror yang membahayakan ideologi negara, kedaulatan negara, keutuhan wilayah Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa.

Dalam hal penindakan, TNI melakukan segala upaya, pekerjaan, kegiatan, dan tindakan kepada pelaku aksi terorisme. Penindakan itu dilakukan dengan cara menghentikan atau menanggulangi aksi terorisme serta menangkap pelakunya yang kemudian diserahkan kepada Polri atau pejabat yang berwenang.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menuntut agar pembahasan revisi UU Terorisme tetap berada dalam kerangka penegakan hukum (criminal justice system model) jangan bergeser ke arah war model. Koalisi juga berharap Pansus DPR tidak mengakomodasi usulan TNI itu terutama soal perubahan judul, defenisi, dan kewenangan penindakan, penangkapan oleh TNI karena itu bakal merusak sistem peradilan pidana dan mengancam HAM.

(Baca juga: Terkait HAM, 8 RUU dalam Prolegnas 2018 Mesti Dikawal).

Direktur Imparsial, Al Araf, menilai pelibatan militer dalam penanganan terorisme tidak perlundi atur dalam revisi UU Tindak Pidana Terorisme. Menurutnya peran TNI sudah jelas di atur dalam Pasal 7 ayat (2) dan (3) UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI yang intinya militer dapat ikut menangani terorisme dalam rangka tugas militer selain perang jika ada keputusan politik negara. "Yang dimaksud dengan keputusan politik negara sebagaimana penjelasan pasal 5 UU TNI yaitu keputusan Presiden sengan pertimbangan DPR," katanya dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (23/1).

Tags:

Berita Terkait