Ketua ADHAPER, Efa Laela Fakhriah: “Hukum Acara Perdata Harusnya Mengikuti Perkembangan Masyarakat”
Konferensi ADHAPER 2018:

Ketua ADHAPER, Efa Laela Fakhriah: “Hukum Acara Perdata Harusnya Mengikuti Perkembangan Masyarakat”

Perhelatan Konperensi Nasional Hukum Acara Perdata V di Fakultas Hukum Universitas Jember, Jawa Timur telah usai. Rekomendasi pun sudah disampaikan.

Oleh:
Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit
Prof. Efa Laela Fakhriah, Ketua Umum ADHAPER. Foto: Edwin
Prof. Efa Laela Fakhriah, Ketua Umum ADHAPER. Foto: Edwin

Kini, tinggal bagaimana mendorong agar rekomendasi itu menjadi bahan penting pengambilan kebijakan, khususnya di bidang hukum acara perdata. Selama pelaksanaan Konferensi, 10-12 Agustus 2018, ratusan akademisi dan praktisi membahas beragam topic hukum acara.

 

Salah seorang tokoh penting di balik penyelenggaraan perhelatan itu adalah Efa Laela Fakhriah. Profesor dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran ini adalah Ketua Umum Asosiasi Dosen Hukum Acara Perdata (ADHAPER) seluruh Indonesia. Sebagai Ketua Umum, Prof. Efa Laela Fakhriah harus memastikan rangkaian acara berlangsung. Tak hanya itu, hasil konferensi bermanfaat bagi pengambilan kebijakan, bukan melulu tertulis di atas kertas. Apalagi, materi yang dibahas sudah lama diperbincangkan dan sebagian dijalankan dalam rentang waktu lama.

 

Hukum acara perdata adalah bidang keahlian ibu dua anak itu. Itu juga tercermin dari orasi ilmihahnya saat pengangkatan sebagai guru besar 2015 silam: ‘Pembaruan Hukum Acara Perdata, Suatu Keniscayaan dalam Penegakan Hukum Menuju Ketertiban Hukum’. Melalui ADHAPER, Efa dan sebagian akademisi lain telah terlibat dalam upaya memperbarui hukum acara perdata yang berlaku saat ini.

 

Di sela-sela kesibukannya di Konferensi Hukum Acara Perdata Nasional di Jember, penulis buku ‘Bukti Elektronik dalam Sistem Pembuktian Perdata’ itu menjawab beberapa pertanyaan jurnalis hukumonline. Berikut petikannya:

 

Mengapa ADHAPER fokus mendorong RUU Hukum Acara Perdata?

Hukum Acara Perdata mengatur pihak-pihak yang ingin berperkara, jika ke pengadilan baru mereka membutuhkan. Ada sifat terbuka pada hukum acara perdata yang memberikan kesempatan kepada hakim melakukan penemuan hukum. Sehingga ada azas, hakim tidak boleh menolak perkara walaupun undang-undang tidak jelas atau bahkan tidak ada. Tetapi dari segi akademik untuk pengembangan keilmuan, ada banyak yang harus disesuaikan dengan perkembangan baru. Harus diingat bahwa hukum itu mengikuti perkembangan masyarakat. Begitu juga seharusnya hukum acara. Selama ini kita membuat Peraturan Mahkamah Agung atau Surat Edaran Mahkamah Agung setiap kali ada kebutuhan yang tidak terpenuhi hukum acara yang ada. Ini jadi berantakan dan berceceran di mana-mana. Bagaimana bisa memberikan kepastian hukum?

 

Kalau ditata dalam satu unifikasi undang-undang, harapan kami akan menjadi satu pegangan bersama di pengadilan. Seperti KUHAP dalam perkara pidana. Sebetulnya RUU Hukum Acara Perdata dimulai bersamaan dengan penyusunan KUHAP, tapi selesainya berbeda (KUHAP disahkan tahun 1981-red.). Tahun 1987 saya sudah terlibat penyusunan RUU Hukum Acara Perdata di Universitas Gadjah Mada dipimpin oleh Profesor Sudikno Mertokusumo. Saat itu saya masih dosen muda hadir di sana mewakili Universitas Padjajaran.

 

(Baca juga: RUU Hukum Acara Perdata Bukan Prioritas dalam Prolegnas, Mengapa?)

 

Memang nyatanya dianggap tidak urgent, tidak “seksi”, mungkin juga dianggap tidak bernilai ekonomis. Kan sekarang perlu ada modal untuk mendanai agar RUU masuk ke daftar Prolegnas Prioritas. Harus ada yang mendanai. Lalu siapa yang butuh? Pencari keadilan mungkin merasa tidak masalah dengan yang ada selama ini. Tapi secara keilmuan ini ada masalah. Kami ingin menyederhanakannya dalam kodifikasi dan unifikasi agar berlaku untuk semua. Tidak berceceran di mana-mana. Ada pekerjaan besar dan tidak mudah untuk melakukan sinkronisasi dengan berbagai hukum acara perkara perdata yang tersebar di berbagai undang-undang.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait