4 Hal yang Harus Diperhatikan WNI Jika Ingin Menggugat di Luar Negeri
Utama

4 Hal yang Harus Diperhatikan WNI Jika Ingin Menggugat di Luar Negeri

Pilihlah lawyer yang benar-benar expert di bidangnya. Jangan pula mengabaikan masalah biaya.

Oleh:
Fitri N. Heriani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi advokat: BAS
Ilustrasi advokat: BAS

Adakalanya warga negara Indonesia merasa dirugikan oleh perbuatan orang atau perusahaan asing. Mungkin saja karena hubungan bisnis, atau karena menjadi korban dalam suatu musibah yang melibatkan perusahaan asing yang bermarkas di luar negeri. Gugatan keluarga korban kecelakaan Lion Air JT 610 Jakarta-Pangkal Pinang terhadap perusahaan yang memproduksi pesawat itu di Amerika Serikat bisa dijadikan contoh. Untuk keperluan gugatan itu, keluarga korban mempercayakan kepada advokat Hotman Paris Hutapea dan pengacara yang berkantor di Florida Amerika Serikat, Colson H. Eidson.

Akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Yu Un Oppusunggu, mengatakan gugatan WNI terhadap entitas asing merupakan bagian dari hukum perdata internasional. Dalam sengketa semacam ini, ada kemungkinan sistem hukum di kedua negara, antara Indonesia dan negara tempat tergugat berdomisili, tidak sama. Untuk itu, sebelum mengajukan gugatan, ada empat hal yang harus diperhatikan.

Pertama, pembuktian hubungan hukum antara penggugat dan tergugat. Oppusunggu mengatakan, jika dasarnya kontrak, maka gugatan bersumber pada kontrak. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam kontrak adalah hak dan kewajiban para pihak, serta forum gugatan dan hukum yang berlaku. Selain kontrak, gugatan juga dimungkinkan karena suatu perbuatan melawan hukum (PMH). “jika tidak berdasarkan kontrak, maka dasarnya adalah PMH atau tort. Baik berdasarkan kontrak maupun PMH, ini adalah masalah hukum perdata internasional,” kata Oppusunggu kepada hukumonline, Rabu (5/12).

(Baca juga: Prospek Cerah Arbitrase Meningkat di Pasar Global).

Kedua, kompetensi pengadilan. Apakah pengadilan yang dituju mempunyai kompetensi untuk mengadili dan memutus gugatan dimaksud? Pada umumnya, kata Oppusunggu, pengadilan mempunyai kompetensi jika tergugat berdomisili di daerahnya. Jika tergugat adalah badan hukum, lanjutnya, maka perlu diperiksa status personal badan hukum di negara tersebut. “Apakah pengadilan yang mempunyai kompetensi adalah pengadilan di tempat di mana badan hukum didirikan atau mempunyai manajemen efektif,” tambahnya.

Ketiga, isu pembuktian. Karena melibatkan dua negara, bukti akan bersifat lintas negara. Dalam konteks ini, terdapat perbedaan yurisdiksi dan kedaulatan negara, maka pengadilan harus mendapatkan bantuan dalam menilai keabsahan bukti. Isu ini, lanjutnya, akan berkisar pada dokumen yang memiliki perbedaan bahasa, atau barang bukti. Jika bukti berbentuk dokumen, Oppusunggu mengatakan terdapat instrument hukum internasional yakni Apostille Convention dari Den Haag. Indonesia belum mengaksesi konvensi ini.

(Baca juga: RUU Ini Bakal Atur Hubungan Keluarga yang Mengandung Unsur Asing).

Solusi yang paling mungkin dilakukan atas persoalan ini adalah dengan cara meminta legislasi dari pihak atau instansi yang berwenang di Indonesia, disertai dengan pernyataan dan legalisir dari Kedutaan Besar negara tersebut di Jakarta. “Barang bukti akan tunduk pada prosedur serupa dengan dokumen, plus apa yang hukum acara negara tersebut tetapkan. Saksi tidak masalah, bisa dihadirkan ke persidangan,” jelasnya.

Keempat adalah isu beracara. Dalam konteks ini, Opppusunggu mengingatkan perlunya antisipasi apakah pengadilan tersebut bersifat inquisitorial (seperti di Indonesia di mana hakim aktif bertanya) atau adversarial (seperi di AS di mana hakim pasif dan para pihak harus saling “menjatuhkan”).

Tags:

Berita Terkait