Kekuasaan Kehakiman di Persimpangan Jalan
Resensi

Kekuasaan Kehakiman di Persimpangan Jalan

Buku ini menyajikan belasan tulisan dari pemerhati mengenai kekuasaan kehakiman yang ideal di masa mendatang. Manajemen hakim banyak disorot.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Kekuasaan Kehakiman di Persimpangan Jalan
Hukumonline

Oliver Wendel Holmes Jr, seorang hakim yang dalam literatur sering dimasukkan sebagai eksponen realisme hukum Amerika Serikat, pernah menulis buku penting, The Path of Law. Kebenaran yang riil bukan terletak dalam rumusan undang-undang, tetapi pada kenyataan hidup. Karena itu, hakim punya kebebasan ketika menghadapi suatu perkara, termasuk menyingkirkan aturan jika aturan itu ternyata menimbulkan akibat yang lebih buruk.

Tetapi kebebasan hakim itu bukan tanpa batas. Dalam bukunya, Filsafat Kebebasan Hakim (2012), mantan hakim agung Ahmad Kamil menyebutkan kebebasan hakim, yang senafas maknanya dengan kemandirian lembaga peradilan atau kemandirian kekuasaan kehakiman, bukan tanpa batas. Kebebasan hakim terikat pada kebebasan yang bertanggung jawab, kebebasan dalam koridor peraturan perundang-undangan.  

Kebebasan hakim dan kekuasaan kehakiman adalah topik yang sudah lama dibahas dan banyak referensi yang dapat dirujuk. Penerbitan buku baru umumnya sejalan dengan perubahan kebijakan atau peraturan perundang-undangan. Misalnya, saat ini RUU Jabatan Hakim sedang dibahas, maka pada saat yang sama banyak muncul tulisan berisi gagasan dan pandangan. Buku yang sedang diresensi ini hanya satu contoh referensi terbaru yang relevan. Gagasan menjadikan hakim sebagai pejabat negara tak lain adalah keinginan meninggikan kehormatan dan keluhuran martabat profesi hakim dengan segala konsekuensi yang menyertainya (hal. 25).

Setelah amandemen keempat, UUD 1945 sebenarnya memuat politik hukum yang berbeda dari sebelumnya. Perbedaan terjadi bukan hanya berkenaan dengan struktur hukum, tetapi juga substansinya. Kini substansinya lebih lengkap, dan mendorong politik hukum yang lebih kokoh di bidang budaya hukum (hal. 67). Meskipun berada di jalan yang benar, jaminan konsitusi itu bukan tanpa kekurangan. Seperti ditulis Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran, Susi Dwi Harijanti, proteksi yang diberikan UUD 1945 adalah jaminan yang bersifat minimal karena hanya berisi jaminan kemerdekaan hakim. Bagaimana jaminan terhadap yang lain? Dengan membandingkan jaminan dalam konstitusi Amerika Serikat dan Filipina, Indonesia masih tertinggal dalam hal jaminan masa jabatan hakim, gaji, dan pensiun. Selain itu Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 Perubahan tidak secara tegas mencantumkan ketentuan yang melarang segala bentuk campur tangan terhadap kekuasaan kehakiman (hal. 77).

Meluruskan Arah Manajemen Kekuasaan Kehakiman

Editor/Penyunting

Imran dan Festy Rahma Hidayati

Penerbit

Sekretariat Komisi Yudisial Republik Indonesia,

Cetakan-1

Juli 2018

Halaman

318

Arah perubahan lain bisa dibaca dalam tulisan anggota Komisi III DPR, M. Nasir Djamil. Mengusung konsep ‘dekonstruksi’, politisi Partai Keadilan Sejahtera ini menegaskan DPR menginginkan perubahan terstruktur manajemen hakim. Mengutip hasil kajian Indonesia Legal Rountable tahun 2016, Djamil mengatakan pengawasan hakim oleh Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial masih kurang efektif. Pembahasan RUU Jabatan Hakim adalah momentum atau peluang untuk melakukan dekonstruksi manajemen hakim dari atas (MA) hingga ke bawah yakni lingkungan peradilan di bawahnya (hal. 196). Dekonstruksi itu misalnya bisa ditempuh dengan cara memfokuskan Mahkamah pada penanganan perkara, sementara beban administrasi manajemen hakim ditangani sesuai konsep shared responsibility.

Perbaikan arah manajemen peradilan seperti diusung Djamil mendapat konfirmasi dari tulisan mantan hakim agung T. Gayus Lumbuun. Mengusung tema reformasi lembaga peradilan, Gayus menyebut kinerja peradilan lemah bukan lantaran tak punya roadmap, tetapi disebabkan sejumlah factor antara lain dari internal seperti inkonsistensi dan cara pandang insan peradilan (hal. 244). Dan ingat, moralitas hakim juga sangat menentukan. Tengoklah peristiwa terakhir penangkapan dua orang hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

Buku ini berisi tulisan belasan orang, mulai dari mantan hakim agung, akademisi, aktivis lembaga swadaya masyarakat dan penulis internal Komisi Yudisial –sbutlah sebagai pemerhati kekuasaan kehakiman. Para penulis berusaha menyampaikan pandangan mereka tentang arah yang perlu dilalui dalam manajemen kekuasaan kehakiman ke depan. Tentu saja, tulisan-tulisan ini harus didudukkan secara proporsional dalam konteks upaya Komisi Yudisial menerbitkan buna rampai setiap tahun. Penerbitan semacam ini dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya. Tujuannya: memberikan referensi  aktual bagi hakim dan masyarakat, serta sarana komunikasi antara Komisi Yudisial dengan masyarakat.

Sedikit banyak, buku ini menyajikan kepada kita informasi tentang manajemen kekuasaan kehakiman. Selamat membaca…!!!

Tags:

Berita Terkait