Wakil Ketua MPR: Mengenang Taufiq Kiemas, Lelaki Menentang Badai
Pojok MPR-RI

Wakil Ketua MPR: Mengenang Taufiq Kiemas, Lelaki Menentang Badai

Seiring perjalanan politiknya, romansa asmaranya dengan Megawati Soekarnoputri pun tumbuh.

Oleh:
RED
Bacaan 2 Menit
Taufiq Kiemas. Foto: Suarasurabaya.net
Taufiq Kiemas. Foto: Suarasurabaya.net

Menunjuk 31 Desember  di penghujung tahun 1942, di sebuah rumah sederhana di Gang Abu  -sekarang masuk kawasan sekitar Harmoni Jakarta- lahir anak pertama pasangan Tjik Agus Kiemas dan Hamzatun Rusjda. Sang putra itu diberi nama Taufiq Kiemas. 

 

Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah mengatakan di  awal masa pendudukan Jepang itu keadaan serba susah. Tjik Agus Kiemas yang saat itu bekerja di Persatuan Warung Kebangsaan Indonesia (Perwabi)-- organisasi yang berafiliasi dengan Partai Masjumi-- harus bekerja membanting tulang demi menghidupi keluarganya. Sedangkan Hamzatun, yang pernah mengenyam pendidikan bidan, fokus mengurus kebutuhan Taufiq dan adik-adiknya yang lahir kemudian. 

 

Tak lama setelah proklamasi kemerdekaan, Tjik Agus Kiemas -- yang sudah perwira TNI hasil lulusan pendidikan perwira PETA di Bogor-- memboyong keluarganya di Yogyakarta. Mereka mengikuti para pejabat pemerintah yang memutuskan memindahkan ibukota Republik Indonesia ke Yogyakarta. 

 

Baru setelah penyerahan kedaulatan, Taufiq dan keluarganya kembali ke Jakarta. Ketika ayahnya ditugaskan sebagai pejabat di Djawatan Perdagangan di Makassar, Taufiq tidak ikut serta. "Oleh ayahnya, yang simpatisan militan Masjumi, ia justru dimasukkan ke SMP Katolik Mardiyuana di Sukabumi," ujarnya melalui keterangan tertulis di Jakarta, Senin (31/12/2018).

 

Setamat SMP, kata Basarah,    Taufiq bergabung kembali dengan keluarganya yang sudah bermukim di Palembang, kampung halaman sang ayah. Saat remaja di Palembang, Taufiq tumbuh menjadi seorang Soekarnois yang militan. Militansi itu berawal dari kekaguman saat ia mendengar pidato Bung Karno di radio. Seakan  ada dorongan kuat dalam dirinya untuk mengetahui lebih jauh sosok dan pemikiran Bung Karno. 

 

Berbagai hal pun dilakukan Taufiq untuk memuaskan rasa ingin tahunya tersebut. Mulai dari meminjam buku-buku karya Bung Karno atau yang membicarakan pemikiran sang proklamator. Dia  terus berupaya agar selalu bisa menyimak pidato Bung Karno di radio.  Dari seorang remaja yang semula hobby hura-hura dengan geng Don Quixote, pelahan tapi pasti, Taufiq bertransformasi menjadi seorang aktivitis mahasiswa.  

 

Tak lama setelah ia masuk Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Taufiq memutuskan bergabung dengan GMNI. Meski untuk itu, ia harus bertengkar hebat dengan ayahnya, yang ingin anak sulungnya itu berkecimpung di organisasi mahasiswa Islam.  Karena militansinya dan kepandaiannya bergaul, dalam waktu singkat Taufiq dipercaya menjadi Ketua GMNI Palembang. Pergaulan politiknya pun tidak lagi sebatas anak-anak GMNI, juga dengan tokoh-tokoh politik di Palembang. Bahkan dengan sejumlah tokoh muda nasional, seperti Guntur Soekarnoputra.

Tags:

Berita Terkait