​​​​​​​Kenali Esensi dan Penerapan Business Judgment Rule
Resensi

​​​​​​​Kenali Esensi dan Penerapan Business Judgment Rule

​​​​​​​Dengan Business Judgment Rule, direksi dapat melaksanakan tugas melalui suatu keputusan bisnis yang diambil dengan penuh tanggung jawab tanpa ada rasa takut.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Direktur bertanggung jawab baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk urusan-urusan perseroan. Tidak sedikit direktur perseroan yang akhirnya mendekam di balik jeruji besi karena perbuatan melawan hukum. Kesalahan proses jual beli aset perusahaan, misalnya. Bahkan ada beberapa direktur perseoran yang harus duduk di kursi pesakitan karena tuduhan korupsi.

 

Pakem pertanggungjawaban direksi perseroan itu juga berlaku di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Cuma, dalam kasus BUMD/BUMD ada diskursus tentang penggunaan uang negara. Polemik tentang apakah kekayaan negara yang dipisahkan dalam BUMN/BUMD masuk kualifikasi keuangan negara atau tidak masih terus berlangsung. Terlepas dari polemik itu, penting untuk memastikan apakah perbuatan direksi adalah aksi korporat yang mendapat lampu hijau dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) atau tidak. Persoalan inilah yang acapkali mengantarkan diskursus pada konsep yang lazim disebut business judgment rule (BJR).

 

Seorang direktur perseroan harus menjalankan usaha perseroan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku, termasuk AD/ART. Direksi dibebani kewajiban menjalankan tugas sesuai peraturan, fiduciary duty itu mungkin saja beban bagi direksi. Tetapi dengan BJR, direksi dapat melaksanakan tugas melalui suatu keputusan bisnis yang diambil dengan penuh tanggung jawab tanpa ada rasa takut bahwa ia akan dibebani tanggung jawab personal jika keputusan yang diambil merugikan perseoran, misalnya (hal. 22-23).

 

Doktrin BJR pada dasarnya menegaskan bahwa direksi perseroan harus menerapkan prinsip kehati-hatian, bertugas dengan iktikad baik, dan menjalankan perusahaan dalam batas-batas wewenangnya. Jika batas-batas itu dilewati, maka direksi perseroan dapat dipandang melakukan perbuatan melawan hukum (wederrechtelijk).

 

Salah satu literatur terbaru yang membahas topik ini adalah ‘Business Judgment Rule: Praktik Peradilan Terhadap Penyimpangan dalam Pengelolaan BUMN/BUMD”. Buku ini menarik karena ditulis Asep N Mulyana, seorang jaksa yang produktif menulis. Jaksa kelahiran 14 Agustus 1969 ini sudah menghasilkan sejumlah karya di bidang hukum.

 

(Baca juga: Rancangan Seorang Adhyaksa untuk Cegah Kejahatan Korporasi)

 

Latar belakang penulis sebagai jaksa memungkinkan kita memahami konstruksi seorang penuntut umum melihat perbuatan direksi yang dapat dikualifikasi sebagai pidana atau perbuatan direksi yang dapat dilindungi menggunakan konsep BJR. Memahami konstruksi berpikir seorang penuntut tentu berguna bagi direksi perseroan untuk belajar sekaligus mencegah hal-hal yang dapat mengarah pada pelanggaran hukum pidana.

 

Simak saja, misalnya, empat karakteristik yang dapat diidentifikasi dari kasus pembobolan dana milik BUMN dengan modus kebijakan investasi padahal sebenarnya bertentangan dengan prinsip-prinsip BJR (lihat hal. 122-125).

Tags:

Berita Terkait