Tuntut Hak Pensiun, Mantan PNS Persoalkan UU ASN
Berita

Tuntut Hak Pensiun, Mantan PNS Persoalkan UU ASN

Dinilai permohonan tidak standar, Majelis meminta Pemohon menyusun permohonan sesuai pedoman yang lazim di MK.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: RES
Gedung Mahkamah Konstitusi. Foto: RES

Mantan pegawai negeri sipil atau aparatur sipil negara (PNS/ASN) di Kabupaten Musi Banyuasin, Yuliansyah mempersoalkan sejumlah pasal dalam UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohon, yang pernah diberhentikan secara tidak hormat alias dipecat gara-gara terlibat kasus korupsi, mengalami ketidakjelasan status kepegawaiannya yang berujung tidak diperolehnya hak pensiun PNS.        

 

Di sidang pendahuluan yang digelar Selasa (19/2/2019), Pemohon memohon pengujian Pasal 13; Pasal 25 ayat (2) huruf e dan f; Pasal 27 huruf b; Pasal 50; Pasal 53 huruf e; Pasal 54 ayat (1), (2), (3), dan (4); Pasal 87 ayat (2), (3), dan (4) huruf b dan d; Pasal 88 ayat (1) huruf c dan ayat (2); Pasal 129 ayat (1), (2), (3), dan (4); Pasal 134; dan Pasal 141 UU ASN terkait jenis jabatan ASN, delegasi presiden manajemen ASN kepada menteri/pimpinan lembaga/pemerintah daerah, hingga pemberhentian ASN.

 

“Pemohon dengan status pemberhentian sementara PNS ini merasa UU ASN merugikan hak konstitusionalnya,” ujar Yuliansyah dalam sidang di Gedung MK. Sidang panel pendahuluan ini diketuai Hakim Konstitusi Manahan MP Sitompul beranggotakan Enny Nurbaningsih dan Suhartoyo. Baca Juga: Ahli: Aturan Sanksi Pemberhentian ASN Mengandung Nilai Keadilan

 

Yuliansyah menerangkan dirinya telah menerima Surat Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) atas nama Presiden Republik Indonesia tentang Pemberhentian Tidak Dengan Hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil dengan Nomor. 00002/KEPKA/THD/0217 tanggal 8 Februari 2017.

 

Pemohon melanjutkan setelah menerima surat pemberhentian tersebut, dirinya mengalami pemberhentian gaji dan tunjangan serta tidak diperbolehkan masuk kerja. Selanjutnya, hingga masa batas usia pensiun yang jatuh pada 21 Juli 2018, Pemohon masih mengalami ketidakjelasan status kepegawaian. Diakui Pemohon, sebelum menerima SK Kepala BKN tentang Pemberhentian Tidak Dengan Hormat tersebut, dirinya telah dijatuhi hukuman pidana akibat tindak korupsi selama dua tahun, yakni pada 2015–2017.

 

“Saya mendapat surat dan dokumen pemberhentian dengan status tidak hormat. Lalu, saya koordinasi dengan pembuat surat karena dalam dokumen itu banyak hal yang bukan menjadi wewenang BKN Regional VII Palembang, tetapi wewenang Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK). Namun sampai akhir pensiun pun saya belum mendapatkan kepastian,” tutur Yuliansyah.

 

Menanggapi materi permohonan ini, Anggota Majelis Panel Enny Nurbaningsih menilai materi  permohonan Pemohon masih ditemui pencampuradukan antara pengujian undang-undang dengan UUD 1945 dan penerapan undang-undang. Hal ini menyebabkan permohonan tidak berkaitan dengan kewenangan MK.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait