Jalan Mendaki Menjerat Korporasi Pelanggar Hak-Hak Konsumen
Hukum Perlindungan Konsumen:

Jalan Mendaki Menjerat Korporasi Pelanggar Hak-Hak Konsumen

Selama 20 tahun UU Perlindungan Konsumen disahkan, sanksi pidana terhadap korporasi masih tanda tanya. Ada nomenklatur ‘corporate vicarious criminal liability’.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Peluncuran buku tentang klausula baku, salah satu persoalan lama dalam isu perlindungan konsumen. Foto: MYS
Peluncuran buku tentang klausula baku, salah satu persoalan lama dalam isu perlindungan konsumen. Foto: MYS

Rancangan Undang-Undang KUH Pidana sudah banyak mengalami kemajuan. Meskipun RUU ini belum disetujui Pemerintah dan DPR, isinya telah mengakomodasi perkembangan hukum pidana di dunia internasional, baik jenis pidana dan pertanggungjawaban pidana maupun jenis hukuman yang dapat dijatuhkan. RUU KUHP juga semakin menegaskan korporasi sebagai subjek hukum.

Berkaitan dengan pertanggungjawaban korporasi, berdasarkan penelusuran hukumonline, ada 12 pidana tambahan yang dapat dijatuhkan ke korporasi. Itu belum termasuk hukuman pokok. Sebagian besar jenis hukuman tambahan itu sebenarnya sudah tersebar dalam perundang-undangan lain selama ini. Jika malas membuka setiap Undang-Undang, coba saja melihatnya dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Pasal 63 UU Perlindungan Konsumen menyebutkan jenis hukuman tambahan yang dapat dijatuhkan hakim adalah perampasan barang tertentu, pengumuman putusan hakim, pembayaran ganti rugi, perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen, kewajiban penarikan barang dari peredaran, atau pencabutan izin usaha. Sanksi tambahan ini dapat dijatuhkan kepada pelaku usaha. Pelaku usaha dalam konteks ini bukan hanya perseorangan, tetapi juga badan usaha.

Bagaimana badan usaha itu dimintai pertanggungjawaban pidana? Jawaban atas pertanyaan ini membawa Yusuf Shofie mengenang peristiwa penting dalam hidupnya sembilan tahun lalu. Tepat pada 19 Juni 2010, di auditorium Mr Djokosutono Fakultas Hukum Universitas Indonesia, pria kelahiran 13 Mei 1968 ini mempertahankan disertasinya di hadapan tim penguji dan pengunjung sidang terbuka. Akademisi yang biasa disapa Yus ini mempertahankan disertasi tentang tanggung jawab pidana korporasi dalam perlindungan konsumen di Indonesia. Yus membahas pertanggungjawaban pidana korporasi, materi yang kala itu belum banyak dibahas. “Inovasi sumbangsih teoritik saya bagi ilmu hukum di Indonesia, corporate vicarious criminal liability,” jelas Yusuf Shofie kepada hukumonline.

Nomenklatur ‘corporate vicarious criminal liability’ menunjukkan penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi tidak semata-mata punya legitimasi dari teori yang berakar dalam hukum pidana, tetapi juga dapat diperoleh dengan meminjam konsep vicarious liability yang sudah lama dikenal dalam hukum perdata.

(Baca juga: Berhati-Hatilah!!! Ada 12 Jenis Pidana Tambahan yang Dapat Dikenakan Terhadap Korporasi).

Yus mencoba menelusuri informasi yang relevan selama bertahun-tahun, termasuk menganalisis 36 kasus yang terjadi di Indonesia. Hasilnya? Penerapan tindak pidana korporasi dalam arti luas sangat bergantung pada diskresi aparat penegak hukum di lapangan. Jika aparat tak berkeinginan untuk menjerat korporasi, maka pasal-pasal pidana dalam UU Perlindungan Konsumen laksana macan di atas kertas. Dan, ternyata tidak ada satu kasus pun aparat penegak hukum ‘berani’ menggunakan konsep pertanggungjawaban pidana korporasi dalam perkara pelanggaran UU Perlindungan Konsumen. Profesor Sutan Remy Sjahdeini, Guru Besar Universitas Airlangga yang menjadi promotor Yusuf Shofie, menyebutkan murid bimbingannya harus kecewa berat. “Ternyata tidak ada satu pun korporasi dalam kasus-kasus pidana perlindungan konsumen tersebut yang telah diajukan oleh jaksa penuntut umum sebagai terdakwa’.   

Tags:

Berita Terkait