Wacana Pemindahan Ibukota Negara RI
Kolom

Wacana Pemindahan Ibukota Negara RI

​​​​​​​Keputusan untuk memindahkan lokasi Ibukota Negara ke luar wilayah Jawa harus benar-benar dipertimbangkan secara kalkulatif dan komprehensif.

Bacaan 2 Menit
Alfin Sulaiman. Foto: Istimewa
Alfin Sulaiman. Foto: Istimewa

Pasca Sidang Kabinet tanggal 29 April 2019, Presiden Joko Widodo memutuskan secara lisan bahwa Ibukota Negara Republik Indonesia akan dipindahkan ke wilayah luar Jawa. Jika hal ini akan ditindaklanjuti dan direalisasikan secara serius maka tentunya akan menjadi suatu keputusan politik yang sangat signifikan dan berdampak luas.

 

Secara yuridis-historis, penetapan kota Jakarta sebagai Ibukota Negara RI didasarkan pada ketentuan Pasal 1 UU No. 10 Tahun 1964 tentang Pernyataan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya Tetap Sebagai Ibu Kota Negara Republik Indonesia Dengan Nama “Jakarta”.

 

Meskipun dalam Konsiderans “Menimbang” dan Penjelasan Umum UU ini disebutkan pula bahwa secara politis dan proklamatis, “…DKI Jakarta Raya, merupakan kota pencetusan proklamasi kemerdekaan serta pusat penggerak segala aktivitas revolusi dan penyebar ideologi Panca Sila ke seluruh penjuru dunia serta telah menjadi Ibu-Kota Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan nama Jakarta sejak Bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya…”, bahkan dalam Penjelasan Umum angka 2 UU ini disebutkan pula bahwa: “Dengan dinyatakan DKI Jakarta Raya tetap menjadi Ibukota Negara Republik Indonesia dengan nama “Jakarta”, dapatlah dihilangkan segala keragu-raguan yang pernah timbul, berhubung dengan adanya keinginan-keinginan untuk memindahkan Ibukota Negara Republik Indonesia ke tempat lain”.

 

UU No. 10/1964 tersebut saat ini masih berlaku berdasarkan ketentuan Pasal 36 UU No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia yang mengatur bahwa “Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau tidak diatur khusus dalam Undang-Undang ini” dan di dalam Pasal 3 UU No. 29/2007 ini semakin ditegaskan pula ketentuan bahwa “Provinsi DKI Jakarta berkedudukan sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

 

Dengan ditetapkannya kota Jakarta sebagai Ibukota Negaramelalui instrumen Undang-Undang maka secara yuridis-politis, penetapan lokasi Ibukota Negara haruslah melalui pembahasan dan persetujuan bersama dari perwakilan rakyat secara nasional (DPR) dalam bentuk perubahan atau penggantian terhadap UU No. 29/2007.

 

Dalam kalimat lain yang lebih lugas, Presiden tidak dibenarkan untuk secara sepihak memindahkan lokasi Ibukota Negara, kecuali Presiden, dalam hal dapat membuktikan bahwa telah terjadi suatu “kegentingan yang memaksa”, akan menetapkan suatu Perppu mengenai hal itu, yang ini pun pada waktunya nanti secara definitif memerlukan pesetujuan bersama dari perwakilan rakyat secara nasional (DPR) untuk menjadi Undang-Undang.

 

Selain itu, dalam berbagai Undang-Undang yang mengatur lembaga tingi negara (UU MK, UU MK, UU BPK, UU KY, dan lain sebagainya) pada umumnya juga mengatur bahwa lembaga-lembaga tinggi negara tersebut berkedudukan di Ibukota Negara. Sehingga manakala terdapat suatu perubahan atau penggantian terhadap UU No. 29/2007, khususnya mengenai pemindahan lokasi Ibukota Negara, maka secara otomatis lembaga-lembaga tinggi negara tersebut harus juga berpindah kedudukannya mengikuti keputusan politik yang disetujui bersama antara Presiden dan DPR dalam bentuk suatu UU yang mengubah atau mengganti UU No. 29/2007.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait