Quo Vadis Penegakan Hukum di Wilayah Overlapping Claim Perbatasan Maritim
Kolom

Quo Vadis Penegakan Hukum di Wilayah Overlapping Claim Perbatasan Maritim

Penyelesaian proses negosiasi perjanjian perbatasan maritim antara negara-negara yang mempunyai klaim tumpang tindih di wilayah maritim tersebut tentu adalah solusi terutama dan terbaik bagi permasalahan ini.

Bacaan 2 Menit
Adrianus A. V. Ramon, S.H., LL.M. (Adv.). Foto: RES
Adrianus A. V. Ramon, S.H., LL.M. (Adv.). Foto: RES

Di bulan April 2019 yang lalu publik dikejutkan dengan kabar tentang dua insiden maritim yang melibatkan aparat keamanan laut Indonesia dengan aparat dari dua negara tetangga, Malaysia dan Vietnam. Pada tanggal 3 April 2019 Kapal Penjaga Pantai Malaysia telah memprovokasi dan menghalangi-halangi Kapal Patroli Kementerian Kelautan dan Perikanan, KP Hiu Macan Tutul 02, yang sedang melakukan penangkapan nelayan Malaysia yang kedapatan menangkap ikan secara ilegal di wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) di Selat Malaka.

 

Di akhir bulan April 2019, tepatnya pada tanggal 27 April 2019, Kapal Angkatan Laut Indonesia, KRI Tjiptadi-381, terlibat insiden dengan dua Kapal Pengawas Perikanan Vietnam, KN 23 dan KN 264. Kedua Kapal Pengawas Perikanan Vietnam itu bertugas untuk mengawal Kapal penangkap ikan Vietnam, BD 979, yang ditengarai melakukan penangkapan ikan ilegal di wilayah ZEE di Laut Natuna Utara.

 

Kapal BD 979 tersebut berhasil ditangkap oleh KRI Tjiptadi-381 dan kemudian akan dibawa ke Pelabuhan Indonesia terdekat. Namun Sewaktu KRI Tjiptadi-381 menarik kapal ikan BD 979 untuk dibawa ke pelabuhan Indonesia terdekat, kedua kapal pengawas ikan Vietnam tersebut terekam oleh video telah melakukan provokasi termasuk dengan melakukan manuver yang menabrak KRI Tjiptadi-381.

 

Meskipun melibatkan dua negara tetangga yang berbeda dan terjadi di dua lokasi yang berbeda, ternyata kedua insiden di atas memiliki benang merah karakteristik yang sama yaitu lokasi terjadinya kedua insiden di atas adalah di wilayah-wilayah di mana kedua negara yang terlibat, yaitu Indonesia dan Malaysia untuk insiden yang pertama serta Indonesia dan Vietnam untuk insiden kedua, memiliki klaim tumpang tindih atas kepemilikan wilayah maritimnya (ZEE).

 

Di lokasi terjadinya insiden pertama di Selat Malaka, Indonesia dan Malaysia memang telah menentukan batas landas kontinen di wilayah tersebut pada tahun 1969. Namun hal tersebut hanya mengatur mengenai landas kontinen (dasar laut). Kedua negara belum selesai menegosiasikan batas ZEE, terutama di bagian utara Selat Malaka. Untuk lokasi terjadinya insiden kedua, Indonesia dan Vietnam juga telah memiliki perjanjian batas landas kontinen yang disepakati di tahun 2003. Namun serupa dengan kondisi di Selat Malaka, Indonesia dan Vietnam juga belum menyelesaikan perjanjian batas ZEE.  

 

Ketiadaan perbatasan ZEE (kolom air) di kedua lokasi tersebut telah menyebabkan terjadinya klaim tumpang tindih dari kedua negara. Artinya, untuk insiden pertama, baik Indonesia dan Malaysia sama-sama mengklaim wilayah yang sama sebagai ZEE masing-masing negara di Selat Malaka. Begitu pula untuk insiden kedua, baik Indonesia dan Vietnam memiliki tumpang tindih klaim ZEE di Laut Natuna Utara.

 

Kedua insiden di atas telah secara jelas memperlihatkan betapa sulit dan kompleksnya upaya penegakan hukum di wilayah maritim yang terdapat tumpang tindih klaim kepemilikan oleh dua negara atau lebih. Di satu sisi, aparat penegak hukum masing-masing negara tentu berkewajiban untuk menegakkan hukum negaranya masing-masing. Hal ini ditambah lagi lagi adanya persepsi yang mengatakan bahwa penegakan hukum di wilayah tumpang tindih klaim akan dapat mendukung klaim negara tersebut atas wilayah yang masih dipersengketakan. Namun di sisi lain, karena wilayah maritim yang diklaim oleh negara-negara tersebut adalah wilayah yang sama, maka insiden yang melibatkan aparat keamanan dari kedua negara juga tentu sangat rentan untuk terulang lagi.

Tags:

Berita Terkait