Mempertimbangkan Keberadaan Konsultan Hukum HAM di Indonesia
Kolom

Mempertimbangkan Keberadaan Konsultan Hukum HAM di Indonesia

​​​​​​​Negara harus mengambil langkah legislasi, karena setiap dampak buruk HAM yang dilakukan oleh perusahaan sama halnya dengan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara.

Bacaan 2 Menit
Muhammad Alfy Pratama. Foto: Istimewa
Muhammad Alfy Pratama. Foto: Istimewa

Disahkannya Prinsip-Prinsip Panduan tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia (HAM) (United Nation Guiding Principle on Business and Human Rights/UNGPs) oleh Dewan HAM PBB pada tahun 2011 telah kembali menegaskan akan pentingnya peran perusahaan untuk menghormati HAM. Pemerintah Indonesia juga turut mendukung keberadaan UNGPs dengan menyusun Panduan Nasional tentang bisnis dan HAM yang diharapkan dapat dijadikan sebagai referensi bagi seluruh pemangku kepentingan.

 

UNGPs secara langsung mengatur tentang tanggung jawab perusahaan untuk menghormati HAM yang terikat bagi seluruh perusahaan, baik perusahaan swasta (termasuk grup perusahaan), BUMN, BUMD, dan UMKM. Perusahaan dituntut untuk dapat mengidentifikasi, mencegah, mengurangi, dan menjelaskan bagaimana cara mereka mengatasi dampak HAM melalui langkah-langkah efektif termasuk dengan melakukan Uji Tuntas Hak Asasi Manusia/Human Rights Due Diligence sebagaimana diatur dalam Prinsip 15 UNGPs.

 

Peran Advokat dalam Uji Tuntas HAM

Sebagai pilar penegakan supremasi hukum dan HAM, advokat harus memastikan bahwa perusahaan (klien) mereka melaksanakan tanggung jawabnya untuk menghormati HAM, dan diharapkan dapat memberikan jasa hukum yang tepat dan sesuai dengan kewajiban profesional hukumnya dalam membantu perusahaan melaksanakan uji tuntas HAM.

 

Dalam pelaksanaan uji tuntas HAM, setidaknya terdapat beberapa hal yang harus dilakukan oleh advokat di antaranya, pertama, komitmen antara advokat dan perusahaan (klien) untuk menghormati HAM. Advokat harus menggunakan instrumen hukum HAM sebagai penduannya dalam uji tuntas HAM, dan menguji komitmen tersebut dengan terlibat dalam proses konsultasi dan pengambilan keputusan/kebijakan yang dilakukan oleh pemangku kepentingan.

 

Kedua, identifikasi untuk menilai dampak buruk HAM melalui penyelidikan terhadap kegiatan operasional perusahaan, baik sebelum dan sesudah kegiatan, serta meninjau aspek hubungan bisnis seperti tentang penggunaan tenaga kerja, penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan saham hingga ke afiliasi, subkontraktor, dan pemasok untuk memperkirakan, mengevaluasi dan mengukur tingkat kemungkinan dan keparahan potensi dampak HAM yang akan terjadi. Dalam hal ini libatkan juga konsultasi efektif dengan kelompok-kelompok yang berpotensi terkena dampak HAM dan para pemangku kepentingan terkait lainnya.

 

Ketiga, mengambil tindakan, hasil penilaian yang dilakukan harus dirumuskan dan diimplementasikan baik untuk mencegah, mengurangi atau merubah kebijakan yang berpotensi atau telah berdampak buruk pada HAM. Misalnya temuan dalam konteks tenaga kerja dan operasional maka menjadi tanggung jawab Departemen Sumber Daya Manusia dan Departemen Operasional untuk mengambil tindakan.

 

Keempat, membuat kebijakan pemulihan yang efektif, salah satunya dengan cara menyediakan mekanisme pengaduan internal bagi mereka yang berpotensi terkena dampak HAM. Kelima, melaksanakan pelacakan dan pemantauan untuk menentukan apakah uji tuntas HAM telah dilaksanakan dengan optimal dan mengukur efektifitas penerapan kebijakan HAM apakah telah mampu untuk merespons dampak HAM. Karena penghormatan HAM tidak hanya sebatas uji tuntas tapi harus dilakukan secara berkelanjutan dan efektif.

Tags:

Berita Terkait