Lobi-lobi Imigrasi Berujung Bui
Utama

Lobi-lobi Imigrasi Berujung Bui

Uang suap Rp1,2 miliar dibungkus kantong kresek dan dibuang ke tempat sampah.

Oleh:
Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
KPK menunjukkan bukti uang yang diduga diterima pejabat imigrasi Mataram. Foto: RES
KPK menunjukkan bukti uang yang diduga diterima pejabat imigrasi Mataram. Foto: RES

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan dua pejabat imigrasi sebagai tersangka kasus korupsi yaitu Kurniadie selaku Kepala Kanwil Imigrasi Klas I Mataram dan Yusriansyah Fazrin selaku Kepala Seksi Intelejen dan Penindakan Kanwil Imigrasi Klas I Mataram. Mereka diduga menerima suap dengan nilai total sebesar Rp1,2 miliar dari Direktur PT Wisata Bahagia yang juga merupakan pengelola Wyndham Sundancer, Liliana Hidayat.

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menjelaskan konstruksi perkara ini yang berawal dari Penyidik PNS (PPNS) di Kantor Imigrasi Klas I Mataram mengamankan dua WNA dengan inisial BGW dan MK yang diduga menyalahgunakan izin tinggal. WNA ini diduga masuk menggunakan visa turis biasa, tapi ternyata diduga bekerja di Wyndham Sundancer Lombok. PPNS lmigrasi setempat menduga kedua WNA melanggar Pasal 122 huruf a UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.

Pasal ini menentukan ancaman pidana maksimal 5 tahun dan denda paling paling banyak Rp500 juta bagi setiap orang asing yang dengan sengaja menyalahgunakan atau melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian Izin Tinggal yang diberikan kepadanya.

Merespons penangkapan tersebut, Liliyana selaku perwakilan Manajemen Wyndham Sundancer Lombok diduga mencoba mencari cara melakukan negosiasi dengan PPNS Kantor lmigrasi Klas I Mataram agar proses hukum kedua WNA tidak berlanjut. Kantor Imigrasi Klas I Mataram memberitahuan telah menerbitkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) untuk kedua WNA pada 22 Mei 2019. Yusriansyah kemudian menghubungi Liliana untuk mengambil SPDP. "Permintaan pengambilan SPDP ini diduga sebagai kode untuk menaikan harga untuk menghentikan kasus," kata Alexander di kantornya, Selasa (28/5).

Dalam komunikasi itu Liliana menawarkan uang sebesar Rp300 juta agar Imigrasi menghentikan kasus tarsebut, namun  Yusriansyah menolak karena menganggap jumlahnya terlalu sedikit. Dalam proses komunikasi terkait biaya mengurus perkara ini  Yusriansyah berkoordinasi dengan atasannya, Kurniadie. Setelah itu, ada pertemuan antara Yusriansyah dan Liliana untuk kembali membahas negosiasi harga.

(Baca juga: Hadiah Ultah yang Membuat Bupati Kepulauan Talaud Terkena OTT).

Uang di tempat sampah

Dalam OTT ini, menurut Alexander,  KPK mengungkap modus baru yang digunakan ketiga tersangka dalam negosiasi uang suap. Caranya dengan menuliskan tawaran Liliana di atas kertas dengan kode tertentu tanpa berbicara dan kemudian Yusriansyah melaporkan pada Kurniadie untuk mendapat arahan atau persetujuan yang akhirnya disepakati jumlah uang untuk mengurus perkara kedua WNA sebesar adalah Rp1,2 miliar.

Tidak hanya dalam tawar menawar uang suap, KPK juga mengungkap adanya metode penyerahan uang yang digunakan. Caranya tidak biasa. Salah satu contohnya memasukkan uang tersebut ke kantong plastik hitam dan membuangnya ke tempat sampah. "LIL  memasukan uang sebesar Rp1,2 miliar ke dalam kresek hitam dan memasukan kresek hitam pada sebuah tas. Sesampainya di depan ruangan YRI, tas kresek hitam berisi uang Rp1,2 miliar kersebut dibuang ke dalam tong sampah di depan ruangan YRI (Yusriansyah)," jelas Alexander.

Tags:

Berita Terkait