Scopus, Sebuah Alegori
Kolom

Scopus, Sebuah Alegori

Saya ingin mengatakan bahwa apa yang diidealkan dari publikasi, indeks, sitasi dan impact factor itu tidak seindah yang dibayangkan. Ada alegori di situ.

Bacaan 2 Menit
Scopus, Sebuah Alegori
Hukumonline

Scopus akhir-akhir ini jadi pembeda dunia akademik. Gara-gara Scopus, perintah nyata seorang dosen untuk bisa naik jabatan guru besar melalui riset, kini berubah. Risetnya mesti dibuat dalam bentuk: publikasi sesuai standar Scopus. Standar internasional ini memiliki tiga konsep berikut: index, citation dan impact factor. Ketiga konsep inilah yang membuat makna publikasi sekarang menjadi alegoris.

 

Alegori itu bisa dilihat begini. Jika riset diartikan secara longgar sebagai dari keluyuran (lat.: re, circare). Maka secara metaforis, dapat digambarkan; seorang dosen mendapatkan sesuatu dari keluyurannya. Yang si dosen dapatkan itu mesti disampaikan di muka publik (lat.: pubes), misalnya di depan kelas. Kalau perlu dipublikasikan (lat.: publicationem), agar diketahui luas.

 

Di masa kini, publikasi bukan lagi semata menyampaikan kepada umum. Makna publikasi secara alegoris menjadi berbeda, karena adanya tiga konsep di atas. Konsep di sini jangan diartikan sederhana sebagai suatu pengertian. Ini karena, secara longgar, konsep itu dimaknai mengambil dan memegang (lat.: concipere). Maka itu, sesuatu jika diambil dan dipegang bersama, bisa menjadi konsep.

 

Namun untuk mengambil dan memegang sesuatu itu membutuhkan kuasa. Tanpa itu, mana bisa sesuatu yang diambil dan kemudian dipegang dinyatakan sebagai konsep. Begitu pula dalam soal publikasi riset dalam bentuk jurnal. Sebuah riset diterima dalam publikasi jurnal apabila berhasil melayani kepentingan tiga kuasa ini: index, citation dan impact factor. Lain halnya, jika hasil keluyuran itu cuma diumumkan di hadapan kelas. Modus semacam ini tidak perlu mengalahkan tiga kuasa tadi.

 

Indeks (Lat.: index) berarti menunjuk sesuatu –seperti index finger. Seorang dosen ditunjukkan pada suatu pilihan jika berbicara publikasi, yaitu: hanya publikasi yang terindeks sajalah yang dapat diterima sebagai publikasi. Di mana itu dapat ditemukan? SINTA (Science and Technology Index). Ini karena SINTA dinyatakan sebagai indeks.

 

Namun, sebagai petunjuk, SINTA ternyata menyimpan anomalinya. SINTA malah menunjuk pihak asing, yakni Scopus, Google Scholar dan Web of Science. Secara metaforis, SINTA bak aplikasi Stocks yang ada di iPhone; memuat indeks saham, namun indeks itu bukan ciptaan mereka. Indeks itu merujuk pada indeks yang ada di bursa saham. Jika demikian, apakah SINTA pantas menyebut dirinya indeks, bukan aplikasi?

 

Jika sitasi yang secara etimologis artinya perintah (Lat.: citationem, citatio), menurut saya ini semakin mengukuhkan alegori tersebut. Dalam konteks itu, saya ingin mengilustrasikan kalau Indonesia –saya sebut demikian karena saya masih tak mampu menemukan siapa di balik ini semua– memberikan suatu perintah; “semakin tinggi sitasi, semakin baik”. Itu bahkan menjadi sebuah aksioma bagi karir seorang dosen. Implikasinya, setiap dosen –bahkan termasuk pengelola jurnal– berlomba-lomba memenuhi perintah: “semakin tinggi, semakin baik”.

Tags:

Berita Terkait