Polemik Living Law, Muncul Gagasan Kompilasi Hukum Pidana Adat
Utama

Polemik Living Law, Muncul Gagasan Kompilasi Hukum Pidana Adat

Dituangkan dalam satu buku dan diatur dalam Perda masing-masing daerah.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 2 Menit
Narasumber dalam Seminar Nasional bertajuk 'Mendorong Restorative Justice dalam Pembaruan Hukum Pidana Indonesia' di Jakarta, Rabu (17/6). Foto: RFQ
Narasumber dalam Seminar Nasional bertajuk 'Mendorong Restorative Justice dalam Pembaruan Hukum Pidana Indonesia' di Jakarta, Rabu (17/6). Foto: RFQ

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) masih terus dibahas antara Panja DPR dengan pemerintah. Panja RKUHP masih terus memperbaiki berbagai kekurangan dalam rumusan pasal demi pasal dalam RKUHP. Dari total sekitar 646 pasal, secara substansi sebagian besar telah disepakati antara Panja dan pemerintah. Namun, ada satu ketentuan yang masih terus menuai perdebatan yakni living law atau hukum yang hidup dalam masyarakat (hukum pidana adat).   

 

Kami berdebat panjang terkait pengaturan living law dalam rapat dengan pemerintah,” ujar Anggota Panja RKUHP Arsul Sani dalam Seminar Nasional bertajuk “Mendorong Restorative Justice dalam Pembaruan Hukum Pidana Indonesia” di Jakarta, Rabu (17/6/2019). Baca Juga: Pembentuk UU Diminta Kaji Ulang Living Law dalam RKUHP

 

Arsul menerangkan Panja masih ingin agar pengaturan living law (hukum pidana adat) tetap diatur dalam RKUHP. Namun, pemerintah menilai perlu kajian mendalam jika ingin memasukkan aturan living law dalam RKUHP. Diakuinya, KUHP yang berlaku saat ini memang tidak menjadikan hukum yang hidup di masyarakat sebagai hukum positif. Sebab, hukum adat memiliki otoritasnya dan berdiri sendiri dalam menangani setiap perkara di lingkup masyarakat adat tertentu.    

 

“Hukum yang hidup di masyarakat dapat menjadi alasan melakukan kriminalisasi terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana (adat). Meskipun ini (penentuan pidana adat) masih belum ada kata sepakat soal rumusan hukum yang hidup di masyarakat. Panja masih bakal terus mencari jalan tengah,” lanjutnya.

 

Dia mencontohkan ketika penegakkan hukum adat yang tidak tertulis tetap perlu melibatkan polisi, jaksa, hakim? “Apakah aparat penegak hukum perlu mengetahuinya atau sebaliknya bila nantinya dalam praktik penegakkan hukum di lingkup masyarakat adat. Ini masih jadi perdebatan juga,” ujarnya.

 

Draft RKUHP (Juni 2019)

Pasal 1

  1. Tidak ada satu perbuatan pun yang dapat dikenai sanksi pidana dan/atau tindakan kecuali atas kekuatan peraturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.” (asas legalitas)

Pasal 2

  1. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang‑undangan.” (pengecualian asas legalitas)
  2. Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab.”

 

Anggota Komisi III DPR ini melanjutkan secara pribadi belum ingin mengeluarkan (mencabut) pasal hukum yang hidup dalam masyarakat dalam draf RKUHP. Dia berharap ada jalan keluar (solusi) mengatasi polemik pembahasan pasal living law ini. Misalnya, dia mengusulkan ribuan hukum adat Indonesia dijadikan dalam satu buku kompilasi hukum pidana adat, kemudian keberlakuannya dengan Peraturan Daerah (Perda). Seperti qanun di Aceh yang salah satunya mengatur pidana cambuk, di luar hukum pidana dalam KUHP.

Tags:

Berita Terkait