Lima Alasan PSHK Tolak ‘Hidupkan’ GBHN Lewat Amandemen Konstitusi
Berita

Lima Alasan PSHK Tolak ‘Hidupkan’ GBHN Lewat Amandemen Konstitusi

Lima alasan itu harus menjadi catatan para elit partai politik baik yang sudah mendukung maupun belum bersikap.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Foto ilustrasi: appszoom.com
Foto ilustrasi: appszoom.com

Wacana amandemen kelima UUD Tahun 1945 kembali bergulir di lembaga perwakilan rakyat. Awalnya, para politisi di Senayan mewacanakan amandemen UUD 1945 dilakukan secara terbatas, khusus merevitalisasi wewenang pembentukan garis-garis besar haluan negara (GBHN) oleh MPR. Namun, isu ini berkembang hendak mendudukkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Usulan ini menimbulkan beragam pandangan dari berbagai kalangan.  

 

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), misalnya, menolak tegas gagasan menghidupkan kembali GBHN dalam amandemen UUD Tahun 1945 yang kini tengah diperbincangkan para elit politik di Senayan di tengah proses politik pengisian jabatan Ketua MPR periode 2019-2024. Gagasan membangkitkan GBHN ini seolah-olah demi kepastian dan keberlanjutan agenda pembangunan.

 

“Namun, apabila kita melihat secara kritis gagasan ini, terdapat potensi yang justru mengakibatkan mundurnya begitu banyak capaian sejak reformasi yang sudah berlangsung hingga kini,” ujar Direktur Riset PSHK Rizky Argama dalam keterangannya, Rabu (14/8/2019).    

 

PSHK menyampaikan lima alasan menolak gagasan amandemen UUD 1945 yang bertujuan menghidupkan kembali GBHN. Pertama, merusak sistem presidensial di Indonesia. Dalam naskah sebelum perubahan UUD 1945, GBHN diatur Pasal 3 yang menyebutkan MPR menetapkan UUD dan GBHN. Penjelasannya, menegaskan presiden wajib melaksanakan GBHN dan apabila presiden melanggar, MPR bisa memberhentikan presiden.

 

“Pengaturan itu pada dasarnya membuat Indonesia (seolah) menganut sistem parlementer,” ujar Rizky.  

 

Karena itu, pasal itu dihapus dalam amandemen ketiga UUD 1945, sehingga kewenangan MPR diatur limitatif yaitu mengubah dan menetapkan UUD 1945; melantik presiden dan/atau wakil presiden; dan memberhentikan presiden/wakil presiden dalam masa jabatannya berdasarkan UUD 1945. Implikasi perubahan itu, MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara, presiden bukan lagi mandataris MPR, dan tidak ada lagi pertanggungjawaban presiden kepada MPR atas pelaksanaan GBHN.

 

“Perubahan itu membuat Indonesia menganut sistem (pemerintahan) presidensial,” kata dia.  

 

Menurutnya, sistem presidensial terbukti lebih tepat membawa Indonesia ke alam yang lebih demokratis karena presiden bertanggung jawab langsung pada pemilihnya, bukan pada lembaga lain. Jika GBHN kembali dihidupkan, pendulum sistem pemerintahan akan bergerak kembali ke arah parlementer dan merusak sistem yang sudah dibangun selama ini.

 

Kedua, melawan arus sejarah. Indonesia pernah menjalankan pola pembangunan berjangka melalui GBHN yang dibentuk MPR yakni pada masa pemerintahan Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, hingga Abdurahman Wahid. Bahkan, Presiden Soekarno dan Presiden Abdurahman Wahid sempat merasakan bagaimana GBHN dijadikan dasar oleh MPR untuk melakukan pemakzulan.

Tags:

Berita Terkait