Tindak Pidana Elektronik Miskin Solusi
Kolom

Tindak Pidana Elektronik Miskin Solusi

​​​​​​​Sebagai negara hukum, kita perlu memahami bahwa membangun kesadaran hukum harus diimbangi dengan membangun kesadaran terhadap kaedah lainnya terutama dalam hubungan antar manusia.

Bacaan 2 Menit
Yulianus Soni Kurniawan. Foto: Istimewa
Yulianus Soni Kurniawan. Foto: Istimewa

Tulisan ini bermaksud mengkritisi tindak pidana elektronik yang miskin solusi. Hal ini berdampak pada banyaknya aktivitas sosial masyarakat dalam menggunakan media elektronik diklaim sebagai persoalan pidana. Padahal alat bukti elektronik itu sendiri, belum tuntas diatur dalam KUHAP sebagai wadah bagi penegakan hukum formil.

 

Sebagaimana kita ketahui, bahwa alat bukti elektronik diatur dalam UU No. 11 Tahun 2008 jo UU No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pasal 5 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 berbunyi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.

 

Dalam hal ini, alat bukti hukum yang sah harusnya dimaknai dalam dua hal. Pertama, keabsahan hukumnya. Putusan MK Nomor 20/PUU-XIV/2016 Tanggal 7 September 2016 menyatakan bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dilakukan atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

 

Pertanyaannya, bagaimana metode menemukan, mengumpulkan, memperoleh dan mengajukan alat bukti elektronik mulai dari tahapan penyelidikan sampai ke pengadilan? Persoalan ini belum tuntas diatur dalam hukum formil bahkan alat bukti elektronik itu sendiri tidak dikenal dalam KUHAP. Hal ini juga ditegaskan adalam pasal 5 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2008 yang berbunyi Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam UU ini.

 

Penegasan ini menunjukkan bahwa tidak hanya aspek materill tetapi formilnya alat bukti elektronik diatur juga dalam UU ini bukan UU lain. Padahal secara hukum, sumber hukum formil hukum pidana adalah KUHAP. Hilangnya KUHAP sebagai identitas hukum formil, telah mengaburkan salah satu parameter pembuktian pidana yaitu bewijsvoering.

 

Bewijsvoering adalah metode menemukan, mengumpulkan, memperoleh dan mengajukan alat bukti ke pengadilan. Konsep ini, semata-mata menitikberatkan pada hal-hal yang bersifat formalistis atau prosedur bukan fakta. Namun, dalam konteks tindak pidana elektronik bewijsvoering tidak mendapatkan tempat.

 

Situasi ini, dapat memberikan diskresi yang nyaris tidak terkontrol kepada penegak hukum. Akibatnya hak masyarakat untuk dihukum melalui prosedur hukum formil yang benar menjadi jauh dari kenyataan. Padahal, hukum pidana berusaha untuk mencari kebenaran materiil dalam bingkai kebenaran formil. Artinya penegakan hukum materill wajib mengikuti standar yang ditentukan dalam hukum formil sebagai syarat yuridis bagi keabsahan tindakan penegak hukum. Kejelasan aturan formil ini, dapat memberikan guidance dan judgment bahwa bukti yang diperoleh dapat dinyatakan sah ataukah tidak. Semangat ini juga sejalan dengan cita-cita hukum yang menjamin kepastian hukum.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait