Presiden Diminta Tempuh Langkah Ini untuk Hentikan RUU KPK
Utama

Presiden Diminta Tempuh Langkah Ini untuk Hentikan RUU KPK

Pemerintah akan mempelajari dulu materi draf Revisi UU KPK tersebut secara hati-hati.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit
Semua logo dan tulisan KPK tertutup kain hitam di Gedung KPK sejak Minggu (8/9). Ini bentuk perlawanan jajaran pimpinan hingga pegawai KPK jika DPR merevisi UU KPK dan menyetujui capim KPK bermasalah. Foto: RES
Semua logo dan tulisan KPK tertutup kain hitam di Gedung KPK sejak Minggu (8/9). Ini bentuk perlawanan jajaran pimpinan hingga pegawai KPK jika DPR merevisi UU KPK dan menyetujui capim KPK bermasalah. Foto: RES

Koalisi Masyarakat Sipil Kawal KPK memandang pemilihan capim KPK yang masih meloloskan nama individu dengan rekam jejak bermasalah dan memunculkan kembali Revisi UU KPK merupakan serangkaian agenda pelemahan KPK. Untuk itu, sudah saatnya Presiden Joko Widodo (Jokowi) menggunakan kewenangan dan perannya dalam posisi politiknya untuk menghentikan segala bentuk agenda pelemahan KPK.   

 

Koalisi Masyarakat Sipil Kawal KPK secara khusus meminta Presiden Joko Widodo mengambil beberapa langkah. Pertama, tidak menerbitkan Surpres atas Revisi UU KPK yang diusulkan DPR. Sebab, pengajuan usul inisitaif Revisi UU KPK sama sekali tidak mengikuti prosedur pembentukan peraturan sesuai UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan melanggar Peraturan Tata Tertib DPR.

 

“Kurang dari tiga hari sejak penyerahan nama capim KPK untuk diproses di DPR, Badan Legislasi DPR mengajukan rencana Revisi UU KPK dalam Sidang Paripurna. Rencananya, revisi UU KPK akan disahkan kurang dari sebulan yaitu pada 24 September 2019,” ujar perwakilan Koalisi dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Henri Subagiyo saat dikonfirmasi, Senin (9/9/2019). Baca Juga: Presiden Diminta Tak Keluarkan Surpres RUU KPK

 

Selain ICEL, Koalisi Masyarakat Sipil Kawal KPK terdiri dari Indonesia Corruption Watch (ICW); Jaringan Advokasi Tambang (JATAM); KontraS; LBH Jakarta; Pokja Implementasi UU Disabilitas; Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK); WALHI; YLBHI; Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas; Perhimpunan Tuna Netra Indonesia (Pertuni).

 

Merujuk Pasal 45 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 itu, penyusunan RUU harus berdasarkan Prolegnas. Sementara revisi UU KPK kali ini tidak tercantum dalam daftar RUU Prioritas 2019. “Sesuai Pasal 65 ayat (1) Peraturan Tata Tertib DPR menyebutkan seharusnya Baleg DPR mengajukan usulan perubahan Prolegnas, bukan mengajukan RUU inisiatif sendiri,” ujar Henri.

 

Bagi Koalisi, seharusnya usulan Revisi UU KPK tidak perlu direspons Presiden Jokowi mengingat proses pengusulan revisi UU KPK ini melanggar prosedur dalam UU No. 12 Tahun 2011 dan Peraturan Tata Tertib DPR. Apalagi, salah satu agenda utama Presiden Jokowi yang disampaikan pada masa kampanye adalah reformasi regulasi dalam bentuk membenahi perencanaan, perancangan, dan penyusunan peraturan perundang-undangan.

 

“Dengan merespons DPR dan mengirimkan Surat Presiden (Surpres) yang menunjuk kementerian (Menkumham) untuk membahas Revisi UU KPK, berarti Presiden tidak konsisten dengan agendanya sendiri untuk melakukan reformasi regulasi,” ujar Henri.  

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait