PKPA Perdana 2021, Mengulas Peran Organisasi Advokat
Utama

PKPA Perdana 2021, Mengulas Peran Organisasi Advokat

Salah satu syarat untuk diangkat menjadi advokat yakni lulusan fakultas hukum/syariah yang telah mengikuti PKPA yang dilaksanakan organisasi advokat.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
PKPA perdana periode Februari-Maret 2021 dengan materi 'Fungsi dan Peran Organisasi Advokat' yang disampaikan Wakil Ketua DPN Peradi, Shalih Mangara Sitompul, Senin (15/2). Foto: RES
PKPA perdana periode Februari-Maret 2021 dengan materi 'Fungsi dan Peran Organisasi Advokat' yang disampaikan Wakil Ketua DPN Peradi, Shalih Mangara Sitompul, Senin (15/2). Foto: RES

Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), Fakultas Hukum Universitas Yarsi, dan Hukumonline kembali menyelenggarakan pendidikan khusus profesi advokat (PKPA) secara daring. Pembukaan PKPA periode 15 Februari-12 Maret 2021 ini digelar mulai Senin (15/2) dengan materi pertama bertema tentang Fungsi dan Peran Organisasi Advokat. Materi perdana tersebut disampaikan oleh Wakil Ketua Umum DPN Peradi H. Shalih Mangara Sitompul.

Di menjelaskan tentang apa fungsi dan peran organisasi advokat yang diawali dengan sejarah berdirinya organisasi advokat di Indonesia. Shalih menjelaskan sebelum terbit UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat, awalnya pengangkatan advokat dilakukan oleh pemerintah melalui Departemen Kehakiman. Tak lama kemudian, muncul perdebatan di kalangan advokat dan diusulkan agar pengangkatan itu tidak dilakukan oleh pemerintah. Lalu, usulan tersebut masuk dalam RUU Advokat yang dibahas di DPR pada tahun 2000.

“Ketika itu 7 organisasi advokat yakni Ikadin, AAI, IPHI, HAPI, SPI, AKHI, dan HKHPM menyampaikan aspirasi ke DPR yang intinya agar advokat tidak diangkat oleh pemerintah,” kata Shalih saat menyampaikan materi PKPA yang diselenggarakan Peradi, FH Universitas Yarsi, dan Hukumonline secara daring, Senin (15/2/2021). (Baca Juga: Materi Pamungkas PKPA Angkatan VI, Mengenal Sejarah Organisai Advokat)

Setelah UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat terbit pada 5 April 2003, Shalih menjelaskan pengangkatan advokat dilakukan bukan lagi oleh Departemen Kehakiman, tapi oleh organisasi advokat. Pasal 2 ayat (1) UU Advokat mengatur yang dapat diangkat sebagai advokat adalah sarjana berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan telah mengikuti PKPA yang dilaksanakan organisasi advokat. Dalam Penjelasan pasal 2 ayat (1) itu yang dimaksud berlatar belakang pendidikan tinggi hukum yakni lulusan fakultas Hukum, fakultas Syariah, perguruan tinggi hukum Militer, dan perguruan tinggi ilmu Kepolisian.

UU Advokat juga mengamanatkan paling lambat 2 tahun setelah UU ini berlaku organisasi advokat harus sudah terbentuk. Menindaklanjuti amanat UU Advokat tersebut, 7 organisasi advokat yakni Ikadin, AAI, IPHI, HAPI, SPI, AKHI, HKHPM, dan APSI melakukan rapat untuk membahas bagaimana cara membentuk organisasi advokat tersebut. Rapat itu menghasilkan 2 opsi, yang pertama dalam membentuk organisasi advokat harus melibatkan seluruh advokat di Indonesia. Kedua, jika cara itu tidak berhasil, maka pembentukan organisasi advokat dilakukan advokat dengan cara perwakilan.

Shalih memaparkan untuk melaksanakan opsi pertama ada hambatan teknis, antara lain tidak ada tempat yang bisa menampung jumlah advokat Indonesia yang jumlahnya waktu itu lebih dari 13 ribu orang. Akhirnya, dipilih opsi kedua dimana 13 ribu advokat Indonesia yang diwakili oleh 8 organisasi advokat yakni Ikadin, AAI, IPHI, HAPI, SPI, AKHI, HKHPM, dan APSI.

Masalah selanjutnya adalah apa nama organisasi yang akan dibentuk itu karena UU Advokat tidak memberikan nama untuk organisasi tersebut. Dari berbagai daftar nama yang diusulkan, disepakati organsisasi advokat itu bernama Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi). “Pak Otto Hasibuan yang ketika itu menjabat Ketua Ikadin mengusulkan namanya Ikadin, tapi organisasi advokat yang lain tidak sepakat,” kata dia.

Tags:

Berita Terkait