Tafsir Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi Soal Organisasi Advokat
Fokus

Tafsir Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi Soal Organisasi Advokat

Syarat tambahan dalam SKMA Nomor 73 justru terlihat menguatkan penafsiran Mahkamah Konstitusi.

Oleh:
Normand Edwin Elnizar
Bacaan 16 Menit
Tafsir Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi Soal Organisasi Advokat
Hukumonline

Artikel ini telah dipublikasikan sebelumnya di Premium Stories. Temukan ulasan pengadilan penting, isu dan tren hukum terkini lainnya hanya di Premium Stories. Berlangganan sekarang hanya Rp42rb/bulan dan nikmati sajian produk jurnalisme hukum terbaik tanpa gangguan iklan. Klik di sini untuk berlangganan.

Jalan panjang polemik antar organisasi advokat memang sejak lama terjadi. Sudah enam tahun Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) pecah menjadi tiga kubu kepengurusan. Akhir-akhir ini, muncul pula organisasi advokat yang mengatasnamakan PERADI di luar tiga kubu tersebut. Masing-masing mantap mengaku sebagai pengurus sah. Sejak perpecahan terjadi masing-masing kubu aktif merekrut anggota, mengangkat advokat-advokat baru. Masih ada lagi cerita kepengurusan Kongres Advokat Indonesia (KAI) yang juga pecah.

Belum lagi menjamurnya organisasi advokat lain sejak Hatta Ali menerbitkan Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015. Sejak hari itu PERADI bukan lagi pemegang hak tunggal mengajukan pengambilan sumpah advokat oleh Pengadilan Tinggi. Tentu saja ini berdampak pada klaim PERADI sebagai wadah tunggal profesi advokat. Data yang Hukumonline peroleh dari sistem E-Court menunjukkan setidaknya 68 organisasi advokat terdata. Jumlah itu termasuk KAI dan PERADI yang masing-masing dihitung satu.

Hatta Ali kala itu tampaknya muak jika pengadilan direpotkan lagi soal polemik advokat. Pengadilan terseret polemik karena berperan mengambil sumpah profesi advokat. UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat) mewajibkan advokat bersumpah sebelum menjalankan profesinya. Mandat pengambilan sumpah diserahkan pada sidang terbuka Pengadilan Tinggi. Tanpa sumpah ini, pengangkatan status advokat oleh organisasi advokat tidak ada artinya.

Perlu diingat, polemik organisasi advokat sudah terjadi sejak tahun-tahun awal PERADI berdiri. Hanya empat tahun sejak PERADI lahir Desember 2004, KAI dideklarasikan Mei 2008. Wadah tandingan ini bahkan dimotori advokat senior yang sangat disegani, Adnan Buyung Nasution. Namun KAI terhambat untuk mengangkat advokat baru sebagai anggotanya. Ketua Mahkamah Agung yang menjabat saat itu, Harifin Tumpa, berkali-kali menerbitkan surat tentang sikap pengadilan.

Surat-surat Ketua Mahkamah Agung

Surat pertama berjudul Fatwa Ketua Mahkamah Agung Nomor 052/KMA/V/2009 perihal Sikap Mahkamah Agung Terhadap Organisasi Advokat. Diterbitkan 1 Mei 2009, isinya merespon PERADI, KAI, bahkan Peradin (Persatuan Advokat Indonesia) yang mengajukan pengambilan sumpah advokat anggotanya. Inti sikap yang disebutkan adalah Pengadilan tidak dalam posisi untuk mengakui atau tidak mengakui suatu organisasi. Perselisihan mereka harus diselesaikan sendiri oleh profesi Advokat atau apabila mengalami jalan buntu maka dapat diselesaikan melalui jalur hukum.

Fatwa ini juga berpendapat isi UU Advokat berarti bahwa hanya boleh ada satu organisasi advokat, terlepas dari bagaimana cara terbentuknya organisasi tersebut yang tidak diatur di dalam Undang-undang yang bersangkutan. Ujung dari fatwa ini tetap mengakui keabsahan advokat yang sudah diambil sumpah sesuai UU Advokat. Namun, disebutkan pula bahwa Mahkamah Agung meminta kepada para Ketua Pengadilan Tinggi untuk tidak terlibat secara langsung atau tidak langsung terhadap adanya perselisihan tersebut yang berarti Ketua Pengadilan Tinggi tidak mengambil sumpah advokat baru. Sejak saat itu tidak ada advokat baru yang diambil sumpahnya oleh Pengadilan Tinggi.

Surat kedua ialah Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 089/KMA/VI/2010 perihal Penyumpahan Advokat. Diterbitkan 25 Juni 2010, Harifin Tumpa menuangkan kesepakatan Ketua PERADI dan KAI yang dilakukan di hadapannya dalam surat tersebut. Saat itu terlihat polemik sudah selesai. Harifin Tumpa menuliskan dengan jelas bagaimana kesepakatan wadah tunggal tercapai antara PERADI dan KAI.

"Kenyataan yang ditemui, perseteruan yang nyata adalah antara PERADI dan KAI, maka dengan adanya kesepakatan antara Pengurus Pusat PERADI yang diwakili oleh Ketua umumnya Dr.Otto Hasibuan dengan Pengurus Pusat KAI yang diwakili oleh Presidennya Indra Sahnun Lubis SH.MH., pada tanggal 24 Juni 2010 di hadapan Ketua Mahkamah Agung, telah melakukan kesepakatan yang pada intinya organisasi advokat yang disepakati dan merupakan satu satunya wadah profesi advokat adalah Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI)".

Hanya ada dua poin inti dalam surat kali ini. Pertama, Mahkamah Agung mencabut kembali Fatwa Nomor 052/KMA/V/2009 perihal Sikap Mahkamah Agung Terhadap Organisasi Advokat. Kedua, para Ketua Pengadilan Tinggi sudah boleh mengambil sumpah para calon advokat yang telah memenuhi syarat. Hanya saja pengajuannya harus oleh Pengurus PERADI, sesuai dengan jiwa kesepakatan tanggal 24 Juni 2010.

Sebagian Hakim memahami surat ini sebagai tidak diakuinya status anggota KAI untuk beracara di Pengadilan. Lagi-lagi Harifin Tumpa mengambil sikap. Ia menerbitkan Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 052/KMA/HK.01/III/2011 perihal Penjelasan Surat Ketua Mahkamah Agung No. 089/KMA/VI/2010. Bertanggal 23 Maret 2011, sebenarnya surat ini tidak menyebutkan hal baru yang berbeda apalagi menganulir surat sebelumnya.

Hanya ada tiga poin dalam surat penjelasan ini. Intinya menekankan keabsahan semua advokat yang sudah mengambil sumpah di hadapan Pengadilan Tinggi baik sebelum maupun sesudah berlakunya UU Advokat. Tanpa membedakan berasal dari organisasi advokat mana. Tampak bahwa Harifin Tumpa hanya ingin memperjelas status advokat anggota KAI yang sudah diambil sumpah sebelum terbit Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 089/KMA/VI/2010. Hal itu karena ada hakim yang menolak anggota KAI beracara di pengadilan meski sudah pernah diambil sumpah di hadapan Pengadilan Tinggi.

Tak disangka polemik kembali terbuka. KAI justru menolak kesepakatan yang sudah dituangkan dalam Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 089/KMA/VI/2010. Bertanggal 15 April 2011, surat resmi Presiden KAI Indra Sahnun Lubis memerintahkan tiap cabang kembali mengajukan permohonan sumpah advokat kepada Ketua Pengadilan Tinggi. Ada dua alasan yang digunakan KAI.

Pertama, surat penjelasan Harifin Tumpa. Isinya dianggap telah mengakui eksistensi KAI sebagai organisasi advokat sejajar dengan PERADI. Kedua, jawaban Ketua Mahkamah Agung selaku Tergugat dalam perkara No. 557/Pdt.G/2010/PN.Jakarta Pusat yang mengatakan “Ketua Mahkamah Agung (Tergugat) tidak pernah melarang para Ketua Pengadilan Tinggi untuk mengambil sumpah para advokat yang diusulkan KAI.”

Entah bagaimana, Ketua Pengadilan Tinggi Ambon juga menafsirkan surat terakhir Harifin Tumpa secara berbeda. Ia menerima pengambilan sumpah yang diajukan pengurus KAI, bukan PERADI. Hukumonline mendapat konfirmasi langsung dari Tusani Djafri, Ketua Pengadilan Tinggi Ambon saat itu. Ia mengakui telah mengambil sumpah advokat usulan KAI pada 25 November 2011.

Tusani beralasan Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 052 itu untuk meluruskan salah paham sebagian Hakim. Termasuk bahwa Pengadilan Tinggi bisa mengambil sumpah advokat tanpa melihat dari organisasi mana dia berasal. “Tidak melihat apakah dia berasal dari PERADI atau KAI yang penting calon advokat itu telah diambil sumpah di hadapan Ketua PT (Pengadilan Tinggi-red.), inilah dasar kita mengambil sumpah,” kata Tusani.

Sikap Pengadilan Tinggi Ambon tidak berlanjut ditiru Pengadilan Tinggi lainnya. Berikutnya tidak tercatat ada pengambilan sumpah selain dari pengajuan PERADI. Sampai akhirnya PERADI pecah tiga kubu kepengurusan. Bertanggal 25 September 2015, Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali menerbitkan Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015 perihal Penyumpahan Advokat. Inti surat ini bahwa Ketua Pengadilan Tinggi berwenang melakukan penyumpahan terhadap advokat yang memenuhi persyaratan dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 atas permohonan dari beberapa organisasi advokat yang mengatasnamakan PERADI dan pengurus organisasi advokat lainnyahingga terbentuknya Undang-Undang Advokat yang baru.

Hatta Ali memutuskan semua kubu PERADI dan organisasi advokat lainnya bisa mengajukan pengambilan sumpah advokat. Ketua Pengadilan Tinggi leluasa memenuhinya selama advokat yang diambil sumpah memenuhi syarat Pasal 2 dan Pasal 3 UU Advokat. Hanya saja Hatta Ali menambahkan syarat lain soal endidikan advokat. Ia menyebut setiap kepengurusan advokat yang dapat mengusulkan pengambilan sumpah atau janji harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003. Syarat-syarat seperti apa yang dimaksud?

Merujuk UU Advokat, tercatat ada 41 kali frasa ‘organisasi advokat’ muncul mulai dari bagian pasal-pasal hingga Penjelasan. Mulai dari Pasal 1 angka 4 tentang ketentuan umum, Organisasi Advokat adalah Organisasi profesi yang didirikan berdasarkan Undang-Undang ini.

Pasal 2 tentang pengangkatan juga tidak memberi petunjuk syarat-syarat organisasi advokat yang dimaksud. Bagian ini hanya mengatur pendidikan khusus profesi advokat dan pengangkatan advokat dilakukan oleh organisasi advokat. Petunjuk yang tampaknya memberikan syarat soal organisasi advokat ditemukan pada Pasal 3 ayat 1 huruf (f). Salah satu syarat untuk diangkat menjadi advokat adalah lulus ujian yang diadakan oleh organisasi advokat.

Penjelasan dari Pasal 3 ayat 1 huruf (f) UU Advokat itu menyebutkan yang dimaksud dengan “organisasiadvokat” dalam ayat ini adalah organisasi advokat yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Pasal 32 ayat (4) Undang-undang ini. Selanjutnya Pasal 32 ayat (4) UU Advokat menyebut dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun setelah berlakunya Undang-Undang ini, Organisasi Advokat telah terbentuk. UU Advokat mulai berlaku pada tanggal diundangkan 5 April 2003. Kesimpulan sementara, Organisasi advokat yang didirikan sebagai mandat UU Advokat dan bisa mengadakan ujian profesi advokat adalah yang berdiri di rentang waktu 5 April 2003 hingga 5 April 2005.

Sementara itu bab mengenai ‘organisasi advokat’ di UU Advokat tidak menjelaskan syarat-syarat tegas tentang organisasi advokat yang dimaksud undang-undang ini. Hanya terdapat Pasal 28 ayat 1 yang terkesan mengatur wadah tunggal untuk profesi advokat. Disebutkan, Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi advokat.

Putusan-putusan Mahkamah Konstitusi

Tidak hanya Mahkamah Agung yang terpaksa terlibat polemik organisasi advokat. Polemik ini sudah dibawa ke forum uji konstitusional berulang kali pula. Status organisasi advokat dalam UU Advokat telah dipertimbangkan setidaknya dalam lima putusan Mahkamah Konstitusi. Masing-masing adalah Putusan Nomor 014/PUU-IV/2006 bertanggal 30 November 2006, Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009 bertanggal 30 Desember 2009, Putusan Nomor 66/PUU-VIII/2010 bertanggal 27 Juni 2011, serta Putusan Nomor 112/PUU-XII/2014 dan Putusan Nomor 36/PUU-XIII/2015 bertanggal 29 September 2015.

Paling akhir, Mahkamah Konstitusi kembali menjatuhkan putusan soal organisasi advokat pada 7 Oktober 2019 silam. Putusan Nomor 35/PUU-XVI/2018 itu merujuk sejumlah putusan sebelumnya yang mempersoalkan organisasi advokat ke Mahkamah Konstitusi. Total putusan yang memuat pertimbangan Mahkamah Konstitusi soal organisasi advokat menjadi enam buah.

Memang keenam putusan itu tidak ada yang mengabulkan seluruh isi permohonan. Ada yang menolak seluruh permohonan, mengabulkan sebagian, bahkan ada yang menolak sebagian sekaligus menyatakan tidak dapat diterima untuk sebagian. Lantas apakah pendapat-pendapat Mahkamah Konstitusi yang dipertimbangkan pada keenam putusan itu tidak berlaku mengikat?

Fajar Laksono Suroso, Juru Bicara Mahkamah Konstitusi, memberikan jawaban dalam penelitian disertasinya. Karya yang diterbitkan menjadi buku berjudul Potret Relasi Mahkamah Konstitusi-Legislator, Konfrontatif atau Kooperatif? Menelusuri literatur dan praktik di berbagai negara. Ada tiga pandangan soal kedudukan pertimbangan dalam putusan Mahkamah Konstitusi.

Pertama, yang mengikat sebagai hukum dan harus dilaksanakan hanya amar putusan, sementara pertimbangan hukum tidak mengikat (2018:201-205) Kedua, pertimbangan hukum putusan Mahkamah Konstitusi mengikat sebatas bagian yang disebut ratio decidendi. Bagian ini berkaitan langsung sebagai alasan dari rumusan amar putusan. Bahkan bagian ini dapat diimplementasikan sebagai kaidah hukum. (2018:205-207). Ketiga, seluruh pertimbangan hukum bersifat mengikat (2018:207-212).

Fajar sendiri memilih pandangan ketiga untuk putusan Mahkamah Konstitusi di Indonesia. Di dalam seluruh pertimbangan hukum itu terdapat penafsiran konstitusional Mahkamah Konstitusi. Pendapat Fajar ini didukung oleh dua mantan Hakim Konstitusi. Maria Farida Indrati, Hakim Konstitusi periode 2008-2018 dan Guru Besar Ilmu Perundang-undangan Universitas Indonesia menyebut kepada Hukumonline, Amar putusan itu hasil dari seluruh pertimbangan.”

Secara terpisah, I Dewa Gede Palguna, Hakim Konstitusi periode 2003-2008 dan periode 2015-2020 menyampaikan hal yang sama. Pertimbangan hukum putusan itu mengikat, dari mana datangnya amar kalau bukan karena pertimbangan,” kata dosen hukum tata negara Universitas Udayana ini kepada Hukumonline.

Fajar juga menjelaskan kepada Hukumonline bahwa penafsiran konstitusional bisa didapatkan dalam putusan dengan amar ‘mengabulkan’ dan ‘menolak’. Bahkan meski itu hanya untuk endidik. Sedangkan putusan dengan amar yang isinya hanya menyatakan ‘tidak dapat diterima’ tidak mengandung penafsiran konstitusional apa-apa. Hal itu karena Hakim Konstitusi belum masuk dan memeriksa ke dalam pokok perkara.

“Meski putusan dengan amar menolak tidak berimplikasi mengubah norma hukum berlaku, pertimbangannya sering memuat penafsiran konstitusional yang harus jadi rujukan legislasi mendatang. Agar problem konstitusional tidak terjadi dalam pembentukan undang-undang,” kata Fajar.

Putusan ‘mengabulkan’ berarti Mahkamah Konstitusi mengubah arah tafsir yang digunakan pembentuk undang-undang. Sementara putusan ‘menolak’ berarti mempertegas tafsir yang dipilih pembentuk undang-undang. Oleh karena itu, relevan untuk melihat bagaimana penafsiran konstitusional dalam keenam putusan Mahkamah Konstitusi soal organisasi advokat.

  1. Putusan Nomor 014/PUU-IV/2006

Dalam putusan ini dinyatakan bahwa endidikan advokat harus wadah tunggal. Alasan Mahkamah Konstitusi disebabkan kedudukan advokat sebagai penegak hukum dalam UU Advokat. Kedudukan setara dengan penegak hukum lainnya dalam menegakkan hukum dan keadilan dinilai sebagai urgensi perlunya wadah tunggal profesi advokat.

Putusan ini juga yang pertama memberi status PERADI sebagai organ negara. Mahkamah Konstitusi menyebut maka endidikan PERADI sebagai satu-satunya wadah profesi advokat pada dasarnya adalah organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri (independent state organ) yang juga melaksanakan fungsi negara (vide Putusan Mahkamah Nomor 066/PUU-II/2004).

Putusan ini merujuk atribusi kewenangan-kewenangan ekslusif PERADI yang diperoleh dari delapan oganisasi pendirinya. Kedelapan endidikan yang ditugasi Pasal 32 UU Advokat itu tetap berdiri namun tidak lagi punya kewenangan seperti PERADI. Kewenangan ekslusif itu juga yang menjadi endidi Mahkamah Konstitusi menyimpulkan PERADI sebagai independent state organ.

Perlu diingat delapan endidikan pembentuk PERADI adalah Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM), dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI). Mahkamah Konstitusi mengatakan, kedelapan Organisasi Advokat pendiri PERADI tetap memiliki kewenangan selain kewenangan yang telah menjadi kewenangan PERADI.

Penting dicatat bagaimana pendapat Mahkamah Konstitusi saat menilai Pasal 32 UU Advokat bahwa Pasal 32 ayat (3) dan ayat (4) UU Advokat sesungguhnya merupakan pasal yang sudah selesai dilaksanakan dengan telah berlalunya tenggat dua tahun dan dengan telah terbentuknya PERADI sebagai Organisasi Advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat, sehingga tidak relevan lagi untuk dipersoalkan konstitusionalitasnya. Batas waktu dua tahun dalam Pasal 32 ayat (4) dinilai sudah berakhir untuk membentuk organisasi advokat yang dimaksud UU Advokat. Peradi tampak diakui sebagai organisasi tersebut dan satu-satunya wadah profesi advokat menurut UU Advokat.

  1. Putusan Nomor 66/PUU-VIII/2010

Putusan ini kembali menyebut penafsiran itu. Kali ini Mahkamah Konstitusi merinci delapan kewenangan ekslusif milik PERADI sehingga menyandang status organ negara dan harus berwujud wadah tunggal. Masing-masing adalah melaksanakan pendidikan khusus profesi Advokat [Pasal 2 ayat (1)], pengujian calon Advokat [Pasal 3 ayat (1)] huruf f], pengangkatan Advokat [Pasal 2 ayat (2)], membuat kode etik [Pasal 26 ayat (1)], membentuk Dewan Kehormatan [Pasal 27 ayat (1)], membentuk Komisi Pengawas [Pasal 13 ayat (1)], melakukan pengawasan [Pasal 12 ayat (1)], dan memberhentikan Advokat [Pasal 9 ayat (1), UU Advokat].

Penafsiran dalam putusan kali ini mempertegas eksistensi wadah profesi advokat lain tidak dilarang dengan syarat tidak menjalankan delapan kewenangan ekslusif PERADI. Ini sesuai asas kebebasan berkumpul dan berserikat menurut Pasal 28 dan Pasal 28E ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Tercatat bahwa KAI pernah dipertimbangkan secara khusus dalam Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009, Putusan Nomor 112/PUU-XII/2014 dan Putusan Nomor 36/PUU-XIII/2015.

  1. Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009

Berikutnya adalah Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009 yang menengahi sikap Mahkamah Agung dengan melarang Pengadilan Tinggi mengambil sumpah advokat sebelum Organisasi advokat Bersatu. Isinya cukup unik karena berlaku hanya untuk jangka waktu dua tahun sejak diputus. Di sini Mahkamah Konstitusi masih berpendapat UU Advokat sebenarnya menghendaki wadah tunggal. Ini terlihat dalam salah satu bagian pertimbangan mengatakan Pasal 28 ayat (1) UU Advokat juga mengamanatkan adanya Organisasi Advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat, sehingga para Advokat dan endidikan-organisasi Advokat yang saat ini secara de facto ada, yaitu Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) dan Kongres Advokat Indonesia (KAI), harus mengupayakan terwujudnya Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (1) UU Advokat.

Akhirnya Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan dengan pertimbangan Bahwa untuk mendorong terbentuknya Organisasi Advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28 ayat (1) UU Advokat, maka kewajiban Pengadilan Tinggi untuk mengambil sumpah terhadap para calon Advokat tanpa memperhatikan Organisasi Advokat yang saat ini secara de facto ada sebagaimana dimaksud pada endidika [3.14] huruf g di atas yang hanya bersifat sementara untuk jangka waktu selama 2 (dua) tahun sampai terbentuknya Organisasi Advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat melalui kongres para Advokat yang diselenggarakan bersama oleh organisasi advokat yang secara de facto saat ini ada; Bahwa apabila setelah jangka waktu dua tahun Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (1) UU Advokat belum juga terbentuk, maka perselisihan tentang endidikan Advokat yang sah diselesaikan melalui Peradilan Umum.

  1. Putusan Nomor 112/PUU-XII/2014 dan Putusan Nomor 36/PUU-XIII/2015

Merujuk data-data yang ada, Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009 ini tidak dijalankan karena Mahkamah Agung menggunakan caranya sendiri untuk keluar dari polemik. Sampai akhirnya KAI kembali mengajukan permohonan yang menghasilkan Putusan Nomor 112/PUU-XII/2014 dan Putusan Nomor 36/PUU-XIII/2015. Keduanya digabungkan dan dibacakan 6 Agustus 2015. Satu bulan sebelum Ketua Mahkamah Agung menerbitkan surat terakhir.

Ternyata kali ini Mahkamah Konstitusi mengubah sikap dengan mengabulkan sebagian permohonan. Mahkamah Konstitusi tampak mengubah arah tafsir yang digunakan pembentuk UU Advokat sekaligus mengubah pendapatnya sendiri. Tertulis dalam putusan bahwa Mahkamah berpendapat, meskipun pada pertimbangan hukum Mahkamah dalam putusan sebelumnya pada pokoknya menyatakan bahwa wadah tunggal organisasi adalah konstitusional, namun hal tersebut esensinya menjadi bagian dari kebijakan hukum yang terbuka yang menjadi kewenangan bagi pembentuk Undang-Undang (Presiden dan DPR) beserta pemangku kepentingan (para advokat dan organisasi advokat) untuk menentukan apakah selamanya organisasi advokat akan menjadi organisasi tunggal atau berubah menjadi multi organ. Oleh karenanya, masih terdapat upaya hukum lainnya yaitu melalui proses legislative review yang juga menjadi bagian dari tindakan konstitusional yang dapat dilakukan oleh para advokat untuk menentukan solusi yang terbaik bagi eksistensi organisasi advokat serta untuk menjamin dan melindungi hak-hak konstitusional para advokat dalam menjalankan profesinya.

Putusan dibuat dengan merujuk kembali Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009 yang tidak dipatuhi sampai lewat batas waktu. Putusan kali ini menyebut bahwa Mahkamah berpendapat, demi terwujudnya asas kemanfaatan (kemaslahatan) hukum dan terjaminnya asas keadilan serta terlaksananya asas kepastian hukum khususnya bagi para calon advokat, bahwa dengan telah lewatnya masa dua tahun sebagaimana amar putusan Mahkamah dalam Perkara Nomor 101/PUU-VII/2009, Mahkamah perlu memperkuat kembali amar putusan tersebut………………dan Mahkamah tidak perlu lagi memberikan jangka waktu penyelesaian konflik internal organisasi advokat yang terus muncul karena pada dasarnya persoalan eksistensi kepengurusan yang sah dari lembaga advokat tersebut adalah menjadi tanggung jawab sepenuhnya dari lembaga tersebut selaku organisasi yang bebas dan mandiri yang dibentuk dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi advokat [vide Pasal 28 ayat (1) UU Advokat] yang dapat dimaknai pula bahwa nilai profesionalitas tersebut mencakup pula kemampuan para advokat untuk menyelesaikan konflik internal lembaga tersebut.

Bisa dikatakan putusan ini sejalan dengan Surat Ketua Mahkamah Agung yang diterbitkan satu bulan kemudian (SKMA Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015). Bedanya, Mahkamah Konstitusi hanya membuka pintu untuk KAI. Ini terlihat jelas dalam amar putusan yang menyebut Pengadilan Tinggi atas perintah Undang-Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpamengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang secara de facto ada yaitu PERADI dan KAI. Bahkan terlihat sejak putusan tersebut Mahkamah Konstitusi mengakui anggota KAI berdiri sejajar dengan anggota PERADI dalam hal untuk diambil sumpah sebagai advokat. Hanya saja belum ada kejelasan apakah penafsiran-penafsiran soal kewenangan ekslusif PERADI juga dibatalkan putusan ini.

  1. Putusan Nomor 35/PUU-XVI/2018

Sampai akhirnya delapan kewenangan ekslusif PERADI yang memberinya status organ negara disebut lagi dalam Putusan Nomor 35/PUU-XVI/2018. Kembali diulang bahwa organisasi advokat lainnya tidak berwenang menjalankan kewenangan ekslusif PERADI. Masing-masing adalah melaksanakan pendidikan khusus profesi advokat, pengujian calon advokat, pengangkatan advokat, membuat kode etik, membentuk Dewan Kehormatan, membentuk Komisi Pengawas, melakukan pengawasan, dan memberhentikan advokat.

Mahkamah Konstitusi terlihat kelelahan berulang kali memeriksa permohonan perkara soal organisasi advokat dalam UU Advokat. Sampai-sampai penutup pertimbangan hukum sebelum konklusi dan amar putusan kali ini mengatakan, "Menimbang bahwa dengan telah dinyatakannya tidak ada persoalan konstitusionalitas terhadap norma pasal-pasal yang diajukan pengujian oleh para Pemohon dalam perkara a quo maka penegasan dari pendirian Mahkamah tersebut sudah menjadi rujukan bahwa persoalan yang berkaitan dengan konstitusionalitas organisasi advokat sebagaimana yang dimaksudkan dalam UU Advokat dipandang telah selesai, sehingga sepanjang berkenaan dengan permasalahan konstitusionalitas organisasi advokat sebagaimana yang diamanatkan dalam UU Advokat sudah tidak relevan lagi dipersoalkan. Dengan demikian permasalahan organisasi advokat yang secara faktual saat ini masih ada, hal tersebut telah berkenaan dengan kasus-kasus konkret yang bukan menjadi kewenangan Mahkamah menilainya."

Lantas apa artinya penegasan ini? Apakah Mahkamah Konstitusi membuat kontradiksi yang tidak konsisten dari penafsirannya tentang UU Advokat? Bila diperjelas, maka hanya PERADI yang berwenang melaksanakan pendidikan khusus profesi advokat, hanya PERADI yang berwenang menguji calon advokat, hanya PERADI yang berwenang mengangkat advokat, hanya PERADI yang berwenang membuat kode etik advokat, hanya PERADI yang berwenang membentuk Dewan Kehormatan Advokat, hanya PERADI yang berwenang membentuk Komisi Pengawas, hanya PERADI yang berwenang melakukan pengawasan advokat, dan hanya PERADI yang berwenang memberhentikan advokat.

Lalu bagaimana dengan pengakuan terhadap anggota KAI untuk diambil sumpah? Penjelasan logis yang mungkin hanyalah itu berlaku dalam hal keanggotaan. Artinya, advokat bisa saja menjadi anggota KAI tanpa khawatir terhalang untuk bisa ikut pengambilan sumpah. Namun ia tetap harus mengikuti pendidikan khusus profesi advokat, ujian advokat, dan pengangkatan advokat oleh PERADI. Bahkan ia akan terikat kode etik dan mekanisme pengawasan dari PERADI. PERADI pula yang berwenang memberhentikannya sebagai advokat. Terlihat absurd. Namun mengingat banyak anggota PERADI juga anggota dari delapan organisasi pendirinya, posisi KAI bisa dilihat sama saja dengan mereka.

Mahkamah Konstitusi menilai pengaturan organisasi profesi adalah kebijakan hukum dalam kewenangan pembentuk undang-undang (open legal policy). Wadah tunggal atau jamak menjadi persoalan yang bebas diatur legislator. Penafsiran ini muncul pada Putusan Nomor 112/PUU-XII/2014 dan Putusan Nomor 36/PUU-XIII/2015.

Mahkamah Konstitusi seolah menyatakan bahwa baik tunggal maupun jamak sama-sama dipertimbangkan konstitusional. Pemangku kepentingan dari kalangan advokat didorong mengupayakan legislative review ke parlemen. Pendapat itu diulang kembali dalam Putusan Nomor 35/PUU-XVI/2018. Intinya, bergantung pada pilihan legislator. Meski menjalankan fungsi-fungsi negara, tampaknya tidak mutlak harus tunggal agar konstitusional.

Sintesis Tafsiran

Di satu sisi, Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015 secara jelas berlepas tangan dari urusan wadah tunggal profesi advokat. Di sisi lain, Mahkamah Agung ternyata masih memberi syarat lebih lanjut. Tertulis bahwa, setiap kepengurusan advokat yang dapat mengusulkan pengambilan sumpah atau janji harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003.

Syarat-syarat yang dimaksud tidak banyak bisa dilacak dari UU Advokat. Itu pun baru sekadar dugaan. Jika konsisten, penjelasan dari Pasal 3 ayat 1 huruf (f) menyebutkan yang dimaksud dengan “Organisasi Advokat” dalam ayat ini adalah Organisasi Advokat yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Pasal 32 ayat (4) Undang-undang ini. Selanjutnya Pasal 32 ayat (4) UU Advokat menyebut dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun setelah berlakunya Undang-Undang ini, Organisasi Advokat telah terbentuk. UU Advokat mulai berlaku pada tanggal diundangkan 5 April 2003. Asumsinya, organisasi advokat yang dimaksud UU Advokat harus berdiri di rentang waktu 5 April 2003 hingga 5 April 2005.

Bila dipadukan dengan Putusan Nomor 014/PUU-IV/2006, Mahkamah Konstitusi menegaskan tenggat waktu itu. Dikatakan bahwa Pasal 32 ayat (3) dan ayat (4) UU Advokat sesungguhnya merupakan pasal yang sudah selesai dilaksanakan dengan telah berlalunya tenggat dua tahun dan dengan telah terbentuknya PERADI sebagai organisasi advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi Advokat, sehingga tidak relevan lagi untuk dipersoalkan konstitusionalitasnya. Batas dua tahun sudah berakhir dan hanya PERADI yang berdiri pada tenggat waktu tersebut yaitu 21 Desember 2004.

Putusan Nomor 101/PUU-VII/2009, Putusan Nomor 112/PUU-XII/2014 dan Putusan Nomor 36/PUU-XIII/2015 menempatkan KAI seolah sejajar dengan PERADI. Namun hanya dalam hal pengakuan keanggotaannya sama-sama berhak diambil sumpah oleh Pengadilan Tinggi. Sementara Putusan Nomor 014/PUU-IV/2006, Putusan Nomor 66/PUU-VIII/2010, dan Putusan Nomor 35/PUU-XVI/2018 berulang kali menegaskan kewenangan ekslusif PERADI. Penafsiran ini tentunya otomatis melekat pada UU Advokat.

Membaca UU Advokat tidak lagi bisa dipisahkan dari penafsiran yang sudah dipertegas Mahkamah Konstitusi berkali-kali. Kalimat bahwa setiap kepengurusan Advokat yang dapat mengusulkan pengambilan sumpah atau janji harus memenuhi syarat-syarat sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 dalam Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015 tentu juga harus dimaknai sesuai penafsiran Mahkamah Konstitusi.

Syarat tambahan Mahkamah Agung justru terlihat menguatkan penafsiran Mahkamah Konstitusi. Delapan kewenangan ekslusif PERADI membuat organisasi advokat selainnya tidak memenuhi kualifikasi dalam UU Advokat. Meski eksistensinya sah, hanya PERADI yang berwenang melaksanakan pendidikan khusus profesi Advokat [Pasal 2 ayat (1)], pengujian calon Advokat [Pasal 3 ayat (1)] huruf f], pengangkatan Advokat [Pasal 2 ayat (2)], membuat kode etik [Pasal 26 ayat (1)], membentuk Dewan Kehormatan [Pasal 27 ayat (1)], membentuk Komisi Pengawas [Pasal 13 ayat (1)], melakukan pengawasan [Pasal 12 ayat (1)], dan memberhentikan Advokat [Pasal 9 ayat (1), UU Advokat].

Pertanyaan besar yang harus dijawab, apakah semua advokat yang tidak diangkat oleh PERADI dan tetap diambil sumpahnya di Pengadilan Tinggi menjadi batal demi hukum? Tentu saja pertanyaan lainnya, dari beberapa kubu penyandang nama PERADI, yang mana pemilik sah delapan kewenangan ekslusif tersebut?

Tags:

Berita Terkait