Ada berbagai macam konsep Sovereign Wealth Fund (SWF) yang telah diterapkan di berbagai negara. Di antaranya memang banyak success story yang dapat ditiru, namun ada juga negara yang tercatat gagal hingga terjebak dalam ancaman kebangkrutan, Malaysia dengan skandal pengelolaan dana abadi 1 MDB misalnya.
Sempat diakui oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani, kegagalan pengelolaan SWF seperti Malaysia memang bisa saja terjadi bila pengelolaan SWF tidak dilakukan secara transparan. Untuk mengantisipasi hal itu, konsep SWF yang diberlakukan Indonesia akhirnya mengadopsi 24 Santiago Principles yang mengedepankan akuntabilitas dan transparansi.
Edisi Premium Stories kali ini akan mengulas seperti apa skema yang diadopsi dalam konsep SWF Indonesia? Siapa saja yang terlibat dalam kerangka kelola SWF? Mengapa model kelembagaan Indonesia Investment Authority (INA) sebagai pelaksana SWF berbentuk ‘Sui Generis’? Bagaimana perkiraan dampaknya? Bagaimana mekanisme pelaporan, audit, due diligence, mitigasi risiko INA berikut jaminan transparansi pengelolaannya? Sektor apa saja yang menjadi prioritas investasi SWF dan sejauh mana realisasinya? dan banyak pertanyaan lainnya yang berkelabat ketika membahas soal INA. Tulisan ini akan coba menjabarkan beberapa poin penting terkait hal tersebut.
Kelahiran Indonesia Investment Authority
Sebagai informasi awal, konsep SWF di Indonesia dijalankan oleh sebuah lembaga yang dibentuk khusus mengelola investasi negara, yakni Lembaga Pengelola Investasi (LPI) atau dikenal juga dengan Indonesia Investment Authority (INA). Lahirnya INA dilandaskan pada PP No. 74 Tahun 2020 tentang Lembaga Pengelola Investasi yang merupakan aturan turunan dari beberapa Pasal dalam UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Berikut beberapa rangkuman pengaturan Pasal per Pasal terkait LPI dalam UU Cipta Kerja:
