4 Rekomendasi Mengatasi Persoalan Relasi KY-MA
Terbaru

4 Rekomendasi Mengatasi Persoalan Relasi KY-MA

Ada konflik dan kolaborasi dalam relasi KY dan MA.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Dewan Pengurus Yayasan LeIP, Dian Rositawati saat memaparkan materinya dalam webinar internasional bertema 'The Judicial Commission and the Independence of Judiciary: Lessons Learned from Indonesia and Belgium', Selasa (12/10/2021). Foto: ADI
Dewan Pengurus Yayasan LeIP, Dian Rositawati saat memaparkan materinya dalam webinar internasional bertema 'The Judicial Commission and the Independence of Judiciary: Lessons Learned from Indonesia and Belgium', Selasa (12/10/2021). Foto: ADI

Pembentukan Komisi Yudisial (KY) tercantum dalam Amandemen Ketiga UUD NRI 1945 yang memandatkan KY sebagai komisi yang “bersifat mandiri.” Ketua Dewan Pengurus Yayasan Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP), Dian Rositawati, mengatakan sifat kemandirian itu ditujukan agar KY menjadi lembaga yang terpisah dan mandiri dari lembaga peradilan.

Kemandirian ini dimanifestasikan antara lain dalam bentuk keanggotaannya, yang sepenuhnya berasal dari unsur-unsur di luar pengadilan dan tidak ada perwakilan dari lembaga peradilan. Mengacu UU KY, Dian mengatakan KY adalah pengawas eksternal, dan MA pengawas internal. Artinya pengawasan hakim dilakukan secara bersama-sama antara KY dan MA. Begitu juga dalam melaksanakan seleksi calon hakim secara bersama-sama. Ada overlapping kewenangan antara kedua lembaga yang menuntut keduanya melakukan kerja sama.

Sejak berdiri tahun 2005, relasi KY dan MA kerap diwarnai konflik dan ketegangan. Salah satu aspek yang menjadi perhatian adalah resiko intervensi terhadap hakim ketika KY menjalankan fungsi pengawasan perilaku dan etika hakim. Di sisi lain, KY memegang peran penting sebagai pilar akuntabilitas melalui fungsinya melakukan seleksi hakim agung dan pengawasan perilaku hakim.

Hubungan antara KY dan MA yang tak jarang menimbulkan konflik antara lain terkait 3 hal. Pertama, pengawasan karena interpretasi yang berbeda terhadap ruang lingkup dan objek pengawasan. Misalnya apakah putusan pengadilan merupakan bagian dari pengawasan, bagaimana pengawasan perilaku hakim dapat dilaksanakan tanpa mengganggu prinsip independensi peradilan.

“Meskipun UU Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa pengawasan tidak boleh melanggar independensi hakim, namun dalam praktik terjadi komplikasi,” kata Dian dalam webinar internasional bertema “The Judicial Commission and the Independence of Judiciary: Lessons Learned from Indonesia and Belgium”, Selasa (12/10/2021). (Baca Juga: Kemiripan Fungsi KY Dengan Dewan Kehakiman Tinggi Belgia)  

Kedua, seleksi hakim, dimana ketentuannya mengatur seleksi hakim tingkat pertama dilakukan secara bersama-sama oleh KY dan MA, tapi tidak ada regulasi yang menjelaskan bagaimana pelaksanaannya. Melihat praktik di berbagai negara, seleksi hakim yang dilakukan KY tidak melanggar prinsip independensi peradilan, tapi sayangnya di Indonesia MK malah menyatakan sebaliknya. Seleksi hakim yang dilakukan KY juga berpotensi menimbulkan ketegangan dengan lembaga lain, seperti DPR.

Ketiga, seleksi hakim agung yang berpotensi menimbulkan ketegangan terkait hubungan antar pilar ketika seleksi hakim agung dilakukan dan mengenai pencalonan hakim karir dan nonkarir. Selain konflik relasi KY dan MA juga menghasilkan kolaborasi, misalnya tahun 2011, 2016, dan 2021 kedua lembaga membentuk Tim Penghubung untuk menjembatani komunikasi dan menyusun berbagai peraturan bersama.

Tags:

Berita Terkait