Status Tanah Terlantar dan Putusan-Putusan Pengadilan yang Relevan
Utama

Status Tanah Terlantar dan Putusan-Putusan Pengadilan yang Relevan

Tanah berstatus hak milik pun dapat dikualifikasi sebagai tanah terlantar dan dapat ditertibkan. Jangka waktu penguasaan selama 20 tahun.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 8 Menit
Status Tanah Terlantar dan Putusan-Putusan Pengadilan yang Relevan
Hukumonline

Artikel ini telah dipublikasikan sebelumnya di Premium Stories. Temukan ulasan pengadilan penting, isu dan tren hukum terkini lainnya hanya di Premium Stories. Berlangganan sekarang hanya Rp42rb/bulan dan nikmati sajian produk jurnalisme hukum terbaik tanpa gangguan iklan. Klik di sini untuk berlangganan.

Menutup presentasinya dalam Webinar 61 Tahun UUPA, Senin (20/9), Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Maria SW Sumardjono menaruh harap agar peraturan perundang-undangan bidang pertahanan di masa mendatang menjamin keadilan, kepastian hukum dan keberlanjutan. Pakar hukum pertanahan itu itu sedang membicarakan peraturan perundang-undangan yang lahir setelah UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Ia meminta peraturan pelaksanaan yang sudah dibuat dipertimbangkan kembali karena mengandung kontradiksi pada beberapa bagian. “Niat kita hanya memberi usulan,” ujarnya.

Maksud menjamin kepastian hukum adalah aturan dirumuskan dengan jelas, dapat diakses publik dan ditegakkan secara konsisten serta dibentuk untuk memenuhi kebutuhan sebagian besar masyarakat. Berkeadilan artinya penguasaan dan pemanfaatan tanah memperhatikan distribusi dan pemerataan; perlindungan masyarakat marjinal atau kelompok rentan; dan pemulihan hak. Berkelanjutan artinya fokus pada keberlanjutan kapasitas produksi, kapasitas sosial, dan kapasitas ekologis.

Masukan Prof. Maria SW Sumardjono terutama terkait dengan Peraturan Pemerintah (PP) No. 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah. Namun, bukan hanya regulasi ini yang diterbitkan dalam rangka menjalankan amanat UU Cipta Kerja. Masih ada PP No. 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum; PP No. 20 Tahun 20 Tahun 2021 tentang Penertiban dan Kawasan Tanah Terlantar; PP No. 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang; PP No. 43 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Ketidaksesuaian Ruang, Kawasan Hutan, Izin, dan/atau Hak Atas Tanah; dan PP No. 64 Tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah.

Selain menyusun regulasi, Pemerintah berusaha mengoptimalkan pendaftaran tanah. Direktur Jenderal Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah Kementerian ATR/BPN, Suyus Windayana, menjelaskan pemerintah merencanakan 126 juta bidang tanah didaftarkan hingga tahun 2024 mendatang. Namun kondisi pandemi menyebabkan target pendaftaran meleset. Diperkirakan hampir 40 juta bidang tanah belum didaftarkan hingga periode dimaksud. Menurut Suyus, pendaftaran tanah itu penting demi kepentingan hukum dan meminimalisasi sengketa pertanahan.

Meskipun penyelesaian sengketa pertanahan terus menjadi prioritas Kementerian ATR/BPN, sengketa tanah terus terjadi dan masuk ke pengadilan. Pada umumnya bermuara pada sengketa mengenai hak atas tanah. Tanah yang sudah jelas dibebani hak sekalipun tidak lepas dari sengketa, apalagi jika statusnya masih diperdebatkan. Salah satu yang saat ini menarik perhatian adalah tanah-tanah terlantar. Lahirnya PP No. 20 Tahun 2021 membuktikan perhatian serius pemerintah pada persoalan tanah terlantar. Dengan dukungan regulasi tersebut, Pemerintah menargetkan 10 ribu sampai 11 ribu hektar tanah terlantar ditertibkan pada tahun ini.

Tanah terlantar adalah tanah hak, tanah Hak Pengelolaan, dan tanah yang diperoleh berdasarkan dasar penguasaan atas tanah, yang sengaja diusahakan, tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan, dan/atau tidak dipelihara. Prinsipnya, menurut hukum, setiap pemegang hak, pemegang Hak Pengelolaan, dan Pemegang Dasar Penguasaan Tanah wajib mengusahakan, mempergunakan, memanfaatkan, dan/atau memelihara tanah yang dimiliki atau dikuasai. Jika kewajiban itu tidak dijalankan, konsekuensinya tanah tersebut menjadi objek penertiban tanah terlantar. Ini dari sisi pemerintah. Dari sisi lain, tanah terlantar juga berpotensi dikuasai oleh warga, baik dalam jangka pendek maupun selama bertahun-tahun.

Potensi besar sengketa muncul apabila tanah terlantar dibiarkan puluhan tahun didiami oleh warga yang tidak berhak. Hak atas tanah yang dimiliki seseorang atau suatu korporasi tidak menghalangi orang lain mengajukan gugatan untuk membatalkan sertifikat hak atas tanah. Putusan Mahkamah Agung No. 327 K/Sip/1976 tanggal 2 November 1976 mengandung kaidah hukum: “Ketentuan mengenai sertifikat tanah sebagai tanda bukti hak milik tidaklah mengurangi hak seseorang untuk membuktikan bahwa sertifikat tersebut tidak benar”.

Sebelum PP No. 20 Tahun 2021 terbit, pemerintah juga sudah mengatur tanah terlantar melalui PP No. 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar. Semangat kedua peraturan ini senada, Penelantaran tanah tidak baik, dan secara hukum dapat menghapuskan hak seseorang atas tanah. Ini bisa dilihat dalam Pasal 27, Pasal 34 dan Pasal 40 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

Sengketanya banyak dibawa ke pengadilan setelah UUPA. Tetapi, jangan salah memilih pengadilan. Sepanjang mengenai sengketa kepemilikan adalah wewenang peradilan umum untuk memeriksa dan memutusnya. Yurisprudensi MA No. 93 K/TUN/1996 tanggal 24 Februari 1998 memuat kaidah hukum ini: Bahwa gugatan mengenai fisik tanah sengketa dan kepemilikannya adalah wewenang pengadilan perdata. Ini juga diperkuat yurisprudensi MA No. 16 K/TUN/2000 tanggal 28 Februari 2001 (Lihat Kumpulan Putusan Yurisprudensi Tata Usaha Negara, yang diterbitkan Mahkamah Agung tahun 2003).

Hukumonline.com

Objek Penertiban Tanah Terlantar

Dalam banyak kasus, tanah terlantar yang kemudian ditempati warga selama bertahun-tahun berasal dari Hak Guna Usaha (HGU). HGU yang tidak diperpanjang kembali menjadi tanah negara. Seringkali warga menempati tanah eks HGU itu dan dibiarkan selama berpuluh-puluh tahun.

Dalam kasus semacam ini, pertanyaan yang harus dijawab adalah sudah berapa lama warga sudah menempati tanah terlantar tersebut? Ini menjadi dasar untuk menentukan keabsahan menempati tanah, dengan kata lain apakah mereka memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah berdasarkan UUPA, PP No. 24 Tahun 1997, dan peraturan teknis yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional.

Tanah eks-HGU bukan satu-satunya yang dapat dikualifikasi sebagai tanah terlantar. Pasal 7 PP No. 20 Tahun 2021, hak milik pun dapat menjadi objek penertiban tanah terlantar. Demikian pula terhadap tanah dengan status hak guna bangunan (HGB), hak pakai, hak pengelolaan, dan tanah berdasarkan Dasar Penguasaan Tanah.

Tanah hak milik bisa menjadi objek penertiban tanah terlantar apabila ada kesengajaan tidak mempergunakan, tidak memanfaatkan, dan/atau tidak memeliharanya, sehingga (a) dikuasai oleh masyarakat serta menjadi wilayah perkampungan; (b) dikuasai oleh pihak lain secara terus menerus selama 20 tahun tanpa ada hubungan hukum dengan pemegang hak; atau (c) fungsi sosial hak atas tanah tidak terpenuhi, baik pemegang hak masih ada maupun sudah tidak ada.

Tanah HGB, hak pakai, dan hak pengelolaan menjadi objek penertiban tanah terlantar apabila secara sengaja tidak diusahakan, tidak dipergunakan, tidak dimanfaatkan, dan/atau tidak dipelihara terhitung mulai dua tahun sejak diterbitkannya hak. Adapun, HGU menjadi objek penertiban tanah terlantar apabila dua tahun sejak terbitnya hak tidak diusahakan, tidak dipergunakan, dan/atau tidak dimanfaatkan.

Sebelum penetapan, Kantor Pertanahan setempat terlebih dahulu melakukan inventarisasi tanah terindikasi terlantar. Inventarisasi dilaksanakan paling cepat dua tahun sejak terbitnya Hak Atas Tanah, Hak Pengelolaan, atau Dasar Penguasaan Tanah. Inventarisasi dapat dilaksanakan berdasarkan dua arah: internal dan eksternal. Internal artinya berasal dari hasil pemantauan dan evaluasi Kantor Pertanahan, Kanwil atau Kementerian. Eksternal berarti laporannya berasal dari luar Kantor Pertanahan, misalnya dari lembaga negara lainnya, pemda, masyarakat, atau dari pemegang hak. Setelah dilampiri data tekstual dan data spasial, tanah hasil inventarisasi itu diproses menjadi data tanah terindikasi terlantar.

Setelah inventarisasi, tahapan selanjutnya adalah evaluasi, peringatan, dan penetapan. Evaluasi kawasan terlantar dimaksudkan untuk memastikan apakah pemegang hak mengusahakan, mempergunakan dan/atau memanfaatkan kawasan yang dikuasai. Evaluasi itu setidaknya berisi pemeriksaan dokumen legal; pemeriksaan terhadap rencana pengusahaan, penggunaan, dan/atau pemanfaatan kawasan; pemeriksaan apa yang sudah diusahakan, gunakan dan manfaatkan; dan pemberitahuan kepada pemegang hak untuk mengusahakan, gunakan dan manfaatkan kawasan yang telah dikuasai. Evaluasi memakan waktu 180 hari.

Apabila semua tahapan sudah dipenuhi, maka Menteri menetapkan tanah terlantar berdasarkan usulan. Penetapan tanah terlantar sangat mungkin mendapat perlawanan dari pemegang hak melalui sengketa ke PTUN. Pada bagian berikut diuraikan beberapa contoh kaidah hukum dalam sengketa mengenai penetapan atau penggunaan tanah terlantar.

Beberapa Kaidah Putusan

Pemerintah berhak menetapkan suatu hak atas tanah menjadi tanah terlantar. PP No. 11 Tahun 2010 juncto Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar. Kepala Kantor Wilayah menyiapkan data tanah yang terindikasi terlantar. Data ini menjadi dasar dilakukannya identifikasi dan penelitian.

Jika sudah ditemukan, maka bidang tanah ditetapkan sebagai tanah terlantar. Misalnya, suatu tanah yang tidak dikelola sejak 1966 akibat ditinggalkan sehubungan peristiwa G.30.S dikualifikasi sebagai tanah terlantar. Upaya hukum yang ditempuh untuk mempersoalkan status tanah terlantar itu kandas di pengadilan. Karena ditelantarkan sejak 1966 maka tanah itu berstatus tanah negara (putusan MA No. 268 PK/Pdt/2017 tanggal 11 Juli 2017).

  1. Luas Tanah yang Dimanfaatkan

Frasa ‘tidak diusahakan, tidak dipergunakan, dan/atau tidak dimanfaatkan’ menjadi kunci yang dinilai ketika ada penertiban dan sengketa mengenai penetapan tanah terlantar di PTUN. Sebagai contoh adalah putusan Mahkamah Agung No. 286 K/TUN/2014 tanggal 12 Agustus 2014. Dalam putusan ini, hakim melihat luas tanah yang diusahakan oleh pemilik hak dibandingkan luas tanah yang diberikan hak.

Mahkamah Agung telah mengabulkan permohonan kasasi BPN Pusat dan Kanwil BPN Jawa Timur, dan membatalkan putusan judex facti. Alasannya, antara lain, dari 44 HGB yang diterbitkan kepada penggugat oleh BPN antara 1996-2004, hanya 1 hektar dari sekitar 152 hektar yang dimanfaatkan.

Hakim mempertimbangkan: “tidaklah dapat diartikan bahwa tanah tersebut telah dimanfaatkan secara wajar”, sehingga sangat beralasan Tergugat I dan Tergugat II menerbitkan objek sengketa karena “termohon kasasi telah menelantarkan tanah yang diberikan HGB kepadanya”.

  1. Penetapan Tanah Terlantar Harus Sesuai Prosedur

Pemerintah tidak dapat melakukan penertiban tanah terlantar secara melanggar prosedur yang sudah ditetapkan (Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 2010). Apabila sesuai prosedur, maka penetapan status tanah terlantar dapat dibenarkan secara hukum. Sebaliknya, apabila tidak memenuhi prosedur, maka keputusan tata usaha negara berisi penetapan tanah terlantar itu dapat dibatalkan.

Dalam putusan Mahkamah Agung No. 138 PK/TUN/2014 tanggal 14 April 2015, majelis menolak permohonan PK yang diajukan Kantor Pertanahan Kota Cilegon. Sebelumnya, pengadilan telah membatalkan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) berisi penetapan status terlantar lahan yang diberikan HGB-nya kepada suatu korporasi. Dalam pertimbangannya majelis menyebutkan: KTUN in litis diterbitkan dengan menyalahi prosedur formal tentang pentahapan inventarisasi tanah terlantar sebagaimana dipersyaratkan Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 2010.

Sebaliknya, dalam putusan Mahkamah Agung No. 137 PK/TUN/2016 tanggal 2 November 2016, majelis hakim menolak permohonan PK yang diajukan suatu korporasi di Pontianak Kalimantan Barat bukan saja karena novum yang diajukan tidak bersifat menentukan, tetapi juga karena perusahaan tidak memenuhi persyaratan sebagai pemegang HGU meskipun secara prosedural, BPN sudah memberikan tiga kali surat peringatan agar memanfaatkan tanah terlantar di perkebunan sawit.

  1. Penggarap telah mengusahakan lahan

Upaya hukum luar biasa (peninjauan kembali) yang dilakukan PT Perkebunan Nusantara VIII (PTPN) dengan mengajukan intervensi gugatan warga terhadap BPN Kabupaten Bogor kandas. BPN menerbitkan HGU kepada perusahaan pada 2008 di atas lahan eks perkebunan teh. Penggugat (dua orang) menggugat KTUN pemberian HGU itu karena sudah menggarap lahan eks perkebunan teh itu pada 1998. Para penggugat sudah menggarap lahan dengan cara menanam tanaman dan mendirikan bangunan di lokasi. Penguasaan para penggugat juga didasarkan antara lain pada surat pernyataan pelepasan hak tanah garapan di atas tanah negara eks perkebunan teh di Cisarua, Kabupaten Bogor.

Penggugat juga mengajukan bukti pajak bumi dan bangunan. PTUN Bandung menepis eksepsi yang diajukan BPN Bogor dan PT Perkebunan baik mengenai kompetensi pengadilan maupun error in objecto. Majelis hakim membatalkan sertifikat HGU sepanjang mengenai tanah garapan objek sengketa. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara menguatkan putusan tersebut. Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi BPN dan PTPN.

Di tingkat PK, majelis juga menolak permohonan PTPN. “Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan, karena putusan judex juris sudah tepat dan benar serta tidak terbukti adanya kekeliruan atau kekhilafan yang nyata”. Alasannya, penggugat sejak 1998 telah menggarap tanah yang telah diterbitkan sertifikat objek sengketa dengan menanam pisang dan ubi kayu serta telah mendirikan bangunan rumah dari kayu, sehingga tindakan tergugat yang menerbitkan sertifikat objek sengketa pada 2008 telah mengandung cacat yuridis (Putusan MA No. 129 PK/TUN/2012 tanggal 12 Februari 2013). 

  1. Alas Hukum Penggarapan Tanah

Penggarapan yang menggarap lahan yang dilekati HGU harus memiliki alas hukum yang kuat. Jika tidak, gugatan baik melalui Pengadilan Negeri maupun PTUN tidak akan berhasil. Putusan Mahkamah Agung No. 123 PK/TUN/2011 dapat dijadikan contoh. Seorang penggugat, mengaku sudah menggarap lahan sejak 1963 semak belukar, yang oleh PTPN II diklaim sebagai bagian dari HGU-nya. Pengadilan telah menyetujui eksepsi yang diajukan PTPN.

Dalam jalur perdata, pengadilan telah menolak gugatan penggugat. Lewat jalur PTUN, gugatan penggarap juga dinyatakan tidak dapat diterima, dan permohonan PK-nya ditolak. Majelis PK mempertimbangkan: Pemohon Peninjauan Kembali telah bersengketa di peradilan umum selaku penggugat dan telah diputus dengan menolak gugatan penggugat (pemohon PK) dan putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap, sehingga secara yuridis Pemohon PK tidak mempunyai kepentingan yang dirugikan dengan terbitnya surat keputusan objek sengketa. Jika dibaca putusan-putusan PTUN dalam perkara ini, alas hukum bagi penggugat sebagai penggarap untuk mengajukan gugatan menjadi bagian dari perhatian hakim.

Tags:

Berita Terkait