Telaah Eksistensi Peradi Pasca Putusan Mahkamah Agung
Kolom

Telaah Eksistensi Peradi Pasca Putusan Mahkamah Agung

Eksistensi keorganisasian Peradi inilah yang agaknya masih mengandung sesuatu yang belum tuntas didamaikan ketika pendekatan litigatif senantiasa dikemukakan.

Bacaan 7 Menit
Shalih Mangara Sitompul. Foto: Istimewa
Shalih Mangara Sitompul. Foto: Istimewa

Mencermati berakhirnya langkah litigatif pada gugatan Perbuatan Melawan Hukum yang diajukan Fauzie Yusuf Hasibuan-Thomas E. Tampubolon terhadap kubu Luhut MP Pangaribuan, memunculkan beberapa implikasi yuridis berkaitan dengan eksistensialisme Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi). Sebagaimana diketahui, gugatan Fauzi-Thomas tersebut telah diputus oleh Mahkamah Agung dengan Putusan Nomor 3085 K/PDT/2021 tanggal 4 November 2021 yang amar putusannya menyatakan mengabulkan gugatan Penggugat Sebagian serta menyatakan sah Penggugat sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal DPN Peradi Periode 201502020 berdasarkan Munas II Peradi di Pekanbaru tertanggal 12-13 Juni 2015.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mau dibawa kemana (quo vadis) eksistensi Peradi demikian? Apakah eksistensi Peradi akan menyatukan seluruh kekuatan dan potensi officium nobile para advokat dalam kebersamaan single bar system?

Atau, eksistensi Peradi demikian akan terus menjadi sumber swing society yang menampilkan konflik yang tidak berkesudahan dengan gugatan demi gugatan yang dimunculkan selanjutnya oleh siapapun dalam konteks apapun? Beberapa pertanyaan retoris inilah yang perlu ditemukan solusinya dengan menjawab dengan tepat quo vadis Peradi selanjutnya. Inilah poin penting yang selanjutnya harus ditemukan susur galurnya pada tulisan ini.

Eksistensialisme Peradi, Sebuah Telaah Teoritis

Sebagai sebuah organisasi yang dijalankan oleh orang-orang yang sangat paham mengenai bekerjanya organisasi, bahkan diperkuat dengan setiap personilnya yang mumpuni di segala aspek hukum, eksistensi Peradi tentu merupakan sebuah organisasi profesi atau bahkan kelembagaan besar yang harus dijalankan dengan penuh sinergi oleh setiap orang yang terhimpun di dalamnya. Pada poin inilah eksistensialisme merupakan kata kunci untuk menelaah kondisi Peradi pasca Putusan Mahkamah Agung Nomor 3085 K/PDT/2021 tanggal 4 November 2021.

Sebagaimana dipahami, pada optik teoritik, eksistensialisme merupakan gerakan filosofis yang menganut paham bahwa setiap orang harus menciptakan makna di alam semesta yang tidak jelas, kacau (chaos), dan tampak hampa. Eksistensialisme berasal dari kata "eksistensi" dengan akar kata eks "keluar" dan sistensi "berdiri" atau “menempatkan” yang diturunkan dari kata kerja sisto. Oleh karena itu, kata "eksistensi" diartikan bahwa manusia berdiri sebagai diri sendiri dengan keluar dari dirinya. Pada konsep demikian, manusia sadar bahwa dirinya ada.

Pada poin ini, pokok-pokok filsafat eksistensialisme menganggap bahwa hanya manusialah yang bereksistensi. Eksistensi merupakan cara khas manusia untuk tetap ada. Perhatian utama diarahkan pada manusia dan oleh karena itu, filsafat ini bersifat humanistis, oleh sebab itu bereksistensi harus diartikan secara dinamis. Pengertian bereksistensi berarti bahwa manusia menciptakan dirinya secara aktif, berbuat, menjadi dan merencanakan.

Pada konteks kelembagaan Peradi yang dipenuhi oleh pengemban hukum praktis yang ahli di bidang hukumnya masing-masing, tentu berlaku pula prinsip dasar eksistensialisme. Peradi yang dijalankan oleh para pengurus organisasi harus memahami benar mengenai eksistensialisme Peradi yang merupakan organisasi besar yang juga mengandung tanggung jawab gerakan filosofis yang menganut paham bahwa tiap orang yang mengusung Peradi harus menciptakan makna di kehidupan hukum di Indonesia maupun global yang acapkali tidak jelas, kacau (chaos), dan menampilkan banyak ruang kosong perebutan pengaruh dan kekuasaan yang sejatinya hampa.

Tags:

Berita Terkait