Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Kepailitan Akibat Akad Murabahah, di Pengadilan Agama atau Pengadilan Niaga?

Share
copy-paste Share Icon
Bisnis

Kepailitan Akibat Akad Murabahah, di Pengadilan Agama atau Pengadilan Niaga?

Kepailitan Akibat Akad Murabahah, di Pengadilan Agama atau Pengadilan Niaga?
Vidya Nuchaliza, S.H.Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LKIHI FHUI)
Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LKIHI FHUI)
Bacaan 10 Menit
Kepailitan Akibat Akad Murabahah, di Pengadilan Agama atau Pengadilan Niaga?

PERTANYAAN

Saya ingin bertanya, bagaimana ketentuan hukumnya, apabila ada bank yang mempailitkan nasabahnya dalam perjanjian pembiayaan akad murabahah? Kewenangan pengadilan manakah yang berwenang mengadili kepailitan yang terkait dengan bank syariah yang mempailitkan nasabahnya, pengadilan agama atau pengadilan niaga?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Sebelum melangkah ke upaya kepailitan, sebaiknya bank syariah mencari penyelesaian perkara akad murabahah terlebih dahulu, antara lain, dengan cara rescheduling dan penjualan objek murabahah.  
     
    Secara normatif, penyelesaian sengketa kepailitan tentang perkara ekonomi syariah sepatutnya berada pada Pengadilan Agama sebagaimana amanah Pasal 49 huruf i Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo. Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
     
    Akan tetapi, hingga saat ini bank syariah di Indonesia melaksanakan sengketa kepailitan di Pengadilan Niaga. Hal ini karena Peraturan Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah disetujui dengan menunda satu pasal yaitu taflis/kepailitan, sehingga belum ada aturan khusus yang mengatur kepailitan pada perkara ekonomi syariah.
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Ulasan:
     
    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Akad Murabahah dan Penyelesaiannya
    Berdasarkan penjelasan Pasal 19 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (“UU Perbankan Syariah”) akad murabahah adalah akad pembiayaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang disepakati.
     
    Berkaitan dengan pertanyaan Anda, sebelum mengambil langkah untuk mempailitkan nasabah, alangkah baiknya bank syariah mencari cara penyelesaian lain terlebih dahulu dalam hal nasabah tidak membayar harga beli dalam akad murabahah. Penyelesaian tersebut telah diatur dalam sejumlah fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI).
     
    Jika nasabah tidak mampu membayar, merujuk kepada ketentuan pada bagian Pertama Fatwa DSN-MUI Nomor 48/DSN-MUI/II/2005 tentang Penjadwalan Kembali Tagihan Murabahah, dalam akad murabahah dapat dilakukan penjadwalan kembali (rescheduling) dengan ketentuan:
    1. Tidak menambah jumlah tagihan yang tersisa;
    2. Pembebanan biaya dalam proses penjadwalan kembali adalah biaya riil;
    3. Perpanjangan masa pembayaran harus berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.
     
    Lebih lanjut dalam ketentuan bagian Pertama Fatwa DSN-MUI Nomor 47/DSN-MUI/III/2005 tentang Penyelesaian Piutang Murabahah Bagi Nasabah Tidak Mampu Membayar disebutkan bahwa lembaga keuangan syariah (LKS) boleh melakukan penyelesaian (settlement) murabahah bagi nasabah yang tidak bisa menyelesaikan/melunasi pembiayaannya sesuai jumlah dan waktu yang telah disepakati, dengan ketentuan:
     
    1. Obyek murabahah atau jaminan lainnya dijual oleh nasabah kepada atau melalui LKS dengan harga pasar yang disepakati;
    2. Nasabah melunasi sisa utangnya kepada LKS dari hasil penjualan;
    3. Apabila hasil penjualan melebihi sisa utang maka LKS mengembalikan sisanya kepada nasabah;
    4. Apabila hasil penjualan lebih kecil dari sisa utang maka sisa utang tetap menjadi utang nasabah;
    5. Apabila nasabah tidak mampu membayar sisa utangnya, maka LKS dapat membebaskannya.
     
    Berbeda halnya jika nasabah sengaja tidak membayar angsuran sebagaimana diatur pada bagian Pertama Fatwa DSN-MUI Nomor 17/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi Atas Nasabah Mampu Yang Menunda-Nunda Pembayaran. Bagian tersebut menjelaskan bahwa apabila nasabah dengan sengaja tidak membayar utang-utangnya padahal ia mampu, maka nasabah dapat dihukum dengan memberikan denda yang besarnya ditentukan atas dasar kesepakatan dan dibuat saat akad ditandatangani.
     
    Kepailitan dalam Perkara Ekonomi Syariah
    Berkaitan dengan upaya mempailitkan nasabah, sayangnya dalam fatwa-fatwa DSN-MUI yang kami jelaskan sebelumnya, tidak terdapat aturan spesifik tentang tata cara penyelesaian perkara ekonomi syariah mengenai subjek hukum yang dinyatakan pailit, begitu juga dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (“KHES”) maupun Peraturan Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah (“Perma 14/2016”).
     
    Secara normatif, penyelesaian sengketa kepailitan tentang perkara ekonomi syariah sepatutnya berada pada Pengadilan Agama sebagaimana amanah Pasal 49 huruf i Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo. Pasal 55 ayat (1) UU Perbankan Syariah.
     
    Akan tetapi, hingga saat ini bank syariah di Indonesia menyelesaikan sengketa kepailitan di Pengadilan Niaga. Hal ini karena Perma 14/2016 disetujui dengan menunda satu pasal yaitu tentang taflis/kepailitan.[1] Sehingga saat ini belum ada aturan khusus yang mengatur tentang penyelesaian kepailitan dalam bidang ekonomi syariah termasuk perkara kepailitan yang melibatkan bank syariah.
     
    Ketentuan pada perkara kepailitan ekonomi syariah dari proses pendaftaran perkara sampai diputusnya pailit debitor oleh Pengadilan Niaga sama dengan perkara kepailitan pada umumnya. Karena proses penyelesaian perkara kepailitan pada keduanya berlandaskan pada peraturan perundang-undangan yang sama yaitu Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU Kepailitan dan PKPU”).
     
    UU Kepailitan dan PKPU sendiri tidak bertentangan dengan prinsip ekonomi Islam karena asas-asas dibentuknya undang-undang ini sama dengan asas-asas dalam prinsip ekonomi Islam antara lain asas keseimbangan, asas keadilan, dan asas kelangsungan usaha.[2]
     
    Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Undang-Undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah sebagaimana dicabut sebagian oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang–Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan;
     

    [1] Paparan PERMA Nomor 14 Tahun 2016 Dalam Rakor Badilag, diakses pada 1 Oktober 2020, pukul 11.46 WIB.
    [2] Penjelasan Umum UU Kepailitan dan PKPU

    Tags

    jasa keuangan

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Pemindahan Kepemilikan Perusahaan (Akuisisi) oleh Pemegang Saham

    23 Jun 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!