Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Apakah Impor Paralel Dikenal dalam Sistem Hukum Indonesia?

Share
copy-paste Share Icon
Kekayaan Intelektual

Apakah Impor Paralel Dikenal dalam Sistem Hukum Indonesia?

Apakah Impor Paralel Dikenal dalam Sistem Hukum Indonesia?
Ardianti KoentjoroGlobomark
Globomark
Bacaan 10 Menit
Apakah Impor Paralel Dikenal dalam Sistem Hukum Indonesia?

PERTANYAAN

Dalam teori hukum mengenai HKI di negara-negara Anglo Saxon, saya mendengar ada istilah "Parallel Importation". Apa yang dimaksud dengan "Parallel Importation" dan apakah sistem hukum HKI kita mengenal "Parallel Importation"?

 

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    Secara sederhana, parallel import atau impor paralel dapat dijelaskan sebagai aktivitas penjualan produk bermuatan hak kekayaan intelektual (“HKI”), tetapi terjadi di luar kontrol dari pemilik HKI-nya, utamanya karena dilakukan dari negara yang berbeda. Obyek impornya sendiri bukanlah barang bajakan.

     

    Sekadar gambaran dapat dijelaskan, antara lain, sebagai berikut. A sebagai pemilik HKI memberikan izin (lisensi) kepada perusahaan A di Negara Y, perusahaan B di Negara X, dan perusahaan C di Negara Z untuk memproduksi dan/ataupun mengimpor produk yang memiliki muatan HKI miliknya. Selanjutnya, importir dari Negara Z, yaitu C lebih memilih untuk mengimpor produk yang sama dari Negara X, di mana B sebagai pemegang lisensi yang sama. Hal ini dilakukan C dengan pertimbangan komparatif dari sisi harga, bahwa jika diimpor langsung dari perusahaan A di Negara Y akan lebih mahal. Strategi ini umum dilakukan dalam bisnis, salah satunya karena pertimbangan jalur distribusi yang lebih murah. Ihwal semacam inilah yang menjadikan impor paralel menjadi lekat dengan ranah pelindungan HKI.

     

    Kedekatan permasalahan impor paralel dengan HKI, sering dikaitkan dengan tersebutnya ihwal exhaution dalam Pasal 6 Perjanjian TRIPs (Agreement On Trade-Related Aspects Of Intellectual Property Rights):

    KLINIK TERKAIT

    Hukumnya Penggunaan Lambang Garuda Pancasila pada Produk Komersial

    Hukumnya Penggunaan Lambang Garuda Pancasila pada Produk Komersial
     

    For the purpose of dispute settlement under this Agreement, subject to the provision of Article 3 and 4, nothing in this Agreement shall be used to address the issue of the exhaustion.”

     

    Tersedianya barang bermuatan HKI yang sah di pasar internasional, melalui doktrin exhaustion dianggap sudah selesai dari keterkaitannya dengan pemilik/pemegang HKI setelah dilakukannya penjualan (first sale). Hak eksklusif yang dinikmati pemegang HKI hanya sampai pada penjualan produk itu sendiri. Si pemegang hak tidak memiliki kontrol lagi terhadap jalur distribusi yang ditempuh konsumen, kecuali apabila ditentukan lain dalam perjanjian lisensinya. Tidak semua perjanjian lisensi, baik eksklusif maupun non-eksklusif, mensyaratkan adanya kontrol distribusi ini. Permasalahan timbul karena adanya variasi harga terhadap barang yang sama di beberapa negara dalam perdagangan internasional. Namun, permasalahan pilihan konsumen ini tidak terkait sama sekali dengan issue diskriminasi dalam National Treatment dan Most Favored Nations, seperti dirumuskan dalam ketentuan TRIPs di atas.

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
     

    Impor paralel menjadi topik kajian dalam kerangka HKI karena beberapa issue menarik, di antaranya: ketersediaan obat murah dalam kerangka perlindungan Paten, adanya istilah “black market” dalam kerangka perlindungan Merek maupun Hak Cipta.

     

    Aturan mengenai impor paralel tentunya memperhatikan azas teritorial dalam perlindungan HKI. Setiap Negara memiliki aturannya masing-masing dalam mengamankan praktik impor paralel dari pelanggaran HKI. Tidak heran pula jika terjadi perbedaan pandangan antara Negara Maju dan Negara Berkembang mengenai masalah ini.

     

    Pengaturan Impor Paralel di Indonesia

    Pada dasarnya, impor paralel tidak diperkenankan dalam kerangka perlindungan HKI di Indonesia karena adanya sejumlah hak yang diberikan Negara dan hanya bisa dinikmati oleh pemilik HKI, termasuk di antaranya hak importasi. Namun dimungkinkan adanya pengecualian, sepanjang impor khusus tersebut dilakukan dengan prosedur yang tidak bertentangan dengan hukum dan memperhatikan kepentingan yang sah dari pemilik/pemegang HKI. Ini dimungkinkan melalui pemanfaatan ketentuan safeguard dalam Perjanjian TRIPs sendiri.

     

    Penertiban soal impor paralel ini, misalnya, dapat disandarkan pada ketentuan Pasal 43 ayat (3) UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek. Ketentuan ini mensyaratkan adanya pendaftaran perjanjian-perjanjian lisensi Merek. Bidang Hak Cipta mensyaratkan hal yang sama dalam menertibkan perjanjian lisensi melalui Pasal 47 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.

     

    Bagi Negara Berkembang, aturan impor paralel menjadi penting diperhatikan karena tingkat perkembangan ekonomi dan posisi relatifnya dalam persaingan internasional. Contohnya di Indonesia, merujuk Pasal 135 huruf a UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten, impor paralel atas produk farmasi yang dilindungi Paten dapat dianggap sebagai perbuatan yang legal, dengan pembatasan tertentu. Pasal ini merupakan salah satu bentuk pembatasan hak monopoli dari pemilik HKI dalam singgungannya dengan kepentingan umum (public order). Adanya kebutuhan akan obat murah dan terjangkau, dikaitkan dengan kesehatan masyarakat, maka impor paralel kemudian diperkenankan sepanjang dilakukan dengan prosedur yang sah dan adanya pembuktian bahwa target impor paralel bersangkutan harganya relatif mahal dibandingkan dengan produk yang sama di pasar internasional.

     

    Tentunya contoh obat yang dipatenkan dan dipasarkan di negara lain tersebut di atas, berbeda dengan ihwal impor paralel yang terjadi dalam kaitan dengan black market atau produk BM. Sebagai ilustrasi, bukan hal yang asing apabila mencari produk ponsel dengan merek tertentu di pasaran, ditemukan pula produk yang sama dengan indikasi buatan negara berbeda dan harga yang lebih murah. Produk yang sama ini bukan barang bajakan. Akan tetapi, produk BM umumnya tidak memiliki garansi atau support dari distributor pemegang lisensi merek yang bersangkutan. Tentu saja hal ini terjadi karena tindakan impor yang dilakukan atas barang-barang tersebut tidak melalui jalur yang legal. Barang ini sudah tentu bukan barang palsu, tetapi issue pelanggaran HKI yang mengemuka adalah tidak adanya izin mengimpor yang sah dari pemilik merek yang sah ataupun dari pemberi/penerima lisensi. Sejauh mana si pemilik asal HKI ini berhak mengatur dan mempersoalkan pendistribusian barang dengan muatan HKI-nya, masih menimbulkan perdebatan, utamanya dalam singgungannya dengan pasar bebas dan ketentuan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

     

    Impor Paralel Persoalan Negara Anglo Saxon?

    Jadi persoalan mengenai impor paralel ini, bukan semata persoalan negara-negara Anglo Saxon. Namun issue ini merupakan praktik dagang yang terjadi dan berkembang dalam perdagangan internasional dan rentan terhadap pelanggaran HKI. Oleh karenanya, masing-masing Negara peserta Persetujuan TRIPs menetapkan aturannya masing-masing untuk mengamankan praktik dagang ini dari pelanggaran HKI, baik pidana maupun perdata.

     

    Yang mungkin terjadi adalah pembedaan penerapan teori exhaustion yang menimbulkan perbedaan sikap dalam mengatur impor paralel pada sistem hukum Common Law dan sistim hukum Continental Law. Dalam sistem hukum di Inggris misalnya, pemberi paten (patentee) dapat mengeksplotasi haknya sampai pada penetapan persyaratan tertentu setelah penjualan pertama (first sale). Sementara, dalam sistem hukum Jerman terdapat ketentuan paten yang berkaitan dengan prinsip exhaustion, yaitu pada Reichgericht 1902:

     

    if the patentee has marketed his products under the protection of a right that excludes others, he has enjoyed the benefits that a paten right confers in him and thereby consumed his right.”

     

    Pemilik paten hanya menikmati hak eksklusifnya sehubungan dengan kepemilikan HKI yang dimilikinya sampai pada tindakan penjualan pertama saja (first sale), setelah itu haknya habis (exhaust) dan tidak memiliki hak untuk mencegah atau menghalangi aktivitas penjualan selanjutnya (re-sale).

     

    Pengamanan HKI dari praktik impor paralel di Indonesia, dapat ditemukan dalam beberapa ketentuan undang-undang yang mengatur persoalan HKI di ranahnya masing-masing, seperti yang telah diuraikan di atas. Hanya saja aturan yang memuat pedoman aktivitas yang diperbolehkan berikut ihwal perizinannya dalam impor paralel ini masih belum begitu terinci dengan jelas dalam peraturan perundangan HKI di Indonesia. 

     
    Dasar hukum:

    1.      Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten

    2.      Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek

    3.     Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

      

    Tags


    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara Upload Terjemahan Novel Agar Tak Langgar Hak Cipta

    20 Okt 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!