Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul
Perbuatan Pidana dalam Cyberspace yang dibuat oleh
Bung Pokrol dan pertama kali dipublikasikan pada Jumat, 05 Mei 2006
Intisari:
Istilah cyberspace awalnya dipopulerkan oleh William Gibson, seorang novelis science fiction dalam karyanya Neuromancer (hal. 128), cyberspace didefinisikan sebagai: A consensual hallucination experienced daily by billions of legitimate operators, in every nation, by children being taught mathematical concepts... A graphical representation of data abstracted from the banks of every computer in the human system. Unthinkable complexity. Lines of light ranged in the non-space of the mind, clusters and constellations of data. Perlu diingat bahwa terdapat asas lex specialis derogat legi generalis adalah salah satu asas hukum, yang mengandung makna bahwa aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang umum. Jadi dalam hal ini dapat dipahami bahwa aturan yang ada dalam UU ITE dan perubahannya yang merupakan aturan yang lebih khusus akan mengesampingkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang merupakan aturan yang lebih umum. Tetapi jika terdapat ketentuan pidana yang tidak diatur dalam UU ITE dan perubahannya tetapi terdapat di KUHP, maka aturan di KUHP tersebut masih tetap berlaku. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. |
Ulasan:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Sebelum menjawab pertanyaan Anda, sebaiknya kita lihat dulu fenomena yang ada, tentang bagaimana para ahli hukum melihat hubungan antara kejahatan komputer dan
cyber dengan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) (hukum pidana konvensional).
Ada dua kelompok ahli yang saling bertentangan untuk melihat apakah perlu untuk membuat/ merumuskan perbuatan/tindak pidana atas kejahatan komputer dan cyber. Yang tidak setuju akan perumusan baru terhadap kejahatan komputer dan cyber ini berpendapat bahwa perkembangan teknologi yang ada dan sedemikian cepatnya akan selalu berada di depan perumusan kejahatan itu sendiri. Peraturan yang ada (hukum pidana konvensional) masih dapat dipergunakan untuk mengatur tentang kejahatan komputer dan cyber ini. Para ahli yang berpendapat seperti ini, di antaranya adalah Prof. Dr. Muladi, S.H. dan Himawan, S.H.
Sedangkan, kelompok yang beranggapan sebaliknya, mempunyai alasan bahwa hukum pidana yang ada tidak siap dalam menghadapi kejahatan komputer dan cyber. Sehingga diperlukan pengaturan yang lebih khusus dalam hukum pidana yang mengatur tentang kejahatan ini. Pendapat ini didukung oleh, diantaranya Teuku M. Radhie, S.H., Prof. Dr. J.E. Sahetapy, S.H., Dr. Mulya Lubis, S.H., J. Sudama Sastroandjojo.
Salah satu ahli hukum, Prof. Dr. H. Heru Soepraptomo, S.H., S.E., dalam salah satu makalahnya Kejahatan Komputer dan Siber serta Antisipasi Pengaturan Pencegahannya di Indonesia mencoba memberikan pembagian yang cukup menarik terhadap kejahatan jenis ini. Pembagiannya sebagai berikut:
Penipuan komputer (computer fraud) yang mencakup:
Bentuk dan jenis penipuan adalah berupa pencurian uang atau harta benda dengan menggunakan sarana komputer/siber dengan melawan hukum, ialah dalam bentuk penipuan data dan penipuan program, dengan cara:
Memasukkan instruksi yang tidak sah, yang dilakukan oleh seorang yang berwenang (atau tidak), yang dapat mengakses suatu sistem dan memasukkan instruksi untuk keuntungan sendiri dengan melawan hukum (misalnya melakukan transfer sejumlah uang).
Mengubah data input; yang dilakukan dengan cara memasukkan data untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan cara melawan hukum (misalnya memasukkan data gaji pegawai melebihi yang seharusnya).
Merusak data; dilakukan seseorang dengan merusak print out atau out put dengan maksud untuk mengaburkan, menyembunyikan data atau informasi untuk maksud yang tidak baik.
Penggunaan komputer untuk sarana melakukan perbuatan pidana, misalnya dalam pemecahan informasi /kode lewat komputer yang hasilnya digunakan untuk melakukan kejahatan, atau mengubah program.
Perbuatan pidana penipuan, yang didalamnya termasuk unsur perbuatan lain,seperti menghindarkan diri dari kewajiban (misalnya pajak) atau untuk memperoleh sesuatu yang bukan hak/miliknya melalui sarana komputer.
Perbuatan curang untuk memperoleh secara tidak sah harta benda milik orang lain, misalnya seseorang dapat mengakses komputer mentransfer rekening orang ke rekeningnya sendiri.
Konspirasi penipuan, ialah perbuatan pidana yang dilakukan beberapa orang bersama-sama untuk melakukan penipuan dengan sarana komputer.
Perbuatan pidana penggelapan, pemalsuan pemberian informasi melalui komputer yang merugikan pihak lain dan menguntungkan diri sendiri.
Perbuatan pidana komunikasi, ialah hacking yang dapat membobol sistem on-line komputer yang menggunakan sistem komunikasi. Hacking, ialah melakukan akses terhadap sistem komputer tanpa seizin atau dengan melawan hukum sehingga dapat menembus sistem pengamanan komputer yang dapat mengancam berbagai kepentingan.
Perbuatan pidana perusakan sistem komputer, baik merusak data atau menghapus kode-kode yang menimbulkan kerusakan dan kerugian. Contohnya adalah berupa penambahan atau perubahan program, informasi, media, sehingga merusak sistem; atau dengan sengaja menyebarkan virus yang dapat merusak program dan sistem komputer; atau pemerasan dengan menggunakan sarana komputer/ telekomunikasi.
Perbuatan pidana yang berkaitan dengan hak milik intelektual, hak cipta, dan hak paten, ialah berupa pembajakan dengan memproduksi barang-barang tiruan untuk mendapatkan keuntungan melalui perdagangan.
Bila kita lihat pembagian yang dipakai oleh Prof. Dr. H. Heru Soepraptomo, S.H., S.E., untuk menelaah pertanyaan Anda, maka bisa saja pasal-pasal (tentang penipuan, kecurangan, pencurian dan perusakan) yang Anda sebutkan dalam KUHP di atas dapat dipakai.
Istilah cyberspace awalnya dipopulerkan oleh William Gibson, seorang novelis science fiction dalam karyanya yang berjudul Neuromancer (hal. 128), cyberspace didefinisikan sebagai:
A consensual hallucination experienced daily by billions of legitimate operators, in every nation, by children being taught mathematical concepts... A graphical representation of data abstracted from the banks of every computer in the human system. Unthinkable complexity. Lines of light ranged in the non-space of the mind, clusters and constellations of data
Selanjutnya, istilah cyberspace oleh William Gibson tersebut dikomentari oleh Dr. Edmon Makarim, S.Kom., S.H., LL.M. dalam Disertasi Doktornya Tanggung Jawab Penyelenggara terhadap Tata Kelola yang Baik dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik (Good Electronic Governance), sebagai berikut:
Dapat dilihat bahwa sebenarnya istilah tersebut dimaksudkan untuk memperlihatkan suatu bentuk halusinasi virtual. Ia menguraikan seakan-akan adanya suatu ruang baru (space) yang lahir akibat terhubungnya medium kawat penghantar listrik (cyber) yang mempertemukan sistem komputer dengan sistem telekomunikasi dalam suatu penyelenggaraan sistem elektronik. Istilah tersebut bergulir terus sebagai istilah populer dari keberadaan suatu komunikasi virtual melalui jaringan komputer (the net), yang selanjutnya berwujud menjadi jaringan sistem komputer global (internet). Keberadaan kata ‘space’ dalam istilah ‘cyberspace’ secara teknis adalah berbeda sifatnya dengan kata ‘space’ dalam ‘aerospace’, karena makna space pada ‘aerospace’ adalah ruang semesta yang tak terbatas yang diciptakan oleh sang pencipta, sementara space pada ‘cyberspace’ adalah ruang komunikasi ciptaan manusia yang bersifat terbatas meskipun jumlah penggunanya akan bertambah terus dari waktu ke waktu sesuai dinamika masyarakat.
Perlu diingat bahwa terdapat asas lex specialis derogat legi generalis adalah salah satu asas hukum, yang mengandung makna bahwa aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang umum.
Menurut Bagir Manan dalam bukunya
Hukum Positif Indonesia (hal. 56), sebagaimana kami kutip dari artikel yang ditulis A.A. Oka Mahendra berjudul
Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan, ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam asas
lex specialis derogat legi generalis, yaitu:
Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut;
Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-ketentuan lex generalis (undang-undang dengan undang-undang);
Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum (rezim) yang sama dengan lex generalis. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sama-sama termasuk lingkungan hukum keperdataan.
Jadi dalam hal ini dapat dipahami bahwa aturan yang ada dalam UU ITE dan perubahannya yang merupakan aturan yang lebih khusus akan mengesampingkan KUHP yang merupakan aturan yang lebih umum. Tetapi jika terdapat ketentuan pidana yang tidak diatur dalam UU ITE dan perubahannya tetapi terdapat di KUHP, maka aturan di KUHP tersebut masih tetap berlaku.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Referensi:
Bagir Manan. Hukum Positif Indonesia: Satu Kajian Teoritik. Yogyakarta: FH UII Press, 2004.
Edmon Makarim. Tanggung Jawab Penyelenggara terhadap Tata Kelola yang Baik dalam Penyelenggaraan Sistem Elektronik (Good Electronic Governance), Disertasi Doktor Universitas Indonesia, Jakarta, 2009.
William Gibson. Neuromancer. New York: Berkley Publishing Group, 1989.