Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Pencatatan Perkawinan
Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang ditegaskan dalam Pasal 1
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”).
Agar suatu perkawinan dinyatakan sah, maka perkawinan harus dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
[1]
Ini berarti bahwa jika suatu perkawinan yang dilakukan oleh umat Islam telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau ijab kabul telah dilaksanakan, maka perkawinan tersebut dinyatakan sah.
Begitu pula suatu perkawinan yang sudah mendapat pemberkatan dari pendeta/pastor atau telah menjalani ritual-ritual keagamaan lainnya, maka perkawinan tersebut adalah sah, terutama di mata agama.
Namun demikian, Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hal ini diperjelas kembali dalam Penjelasan Umum UU Perkawinan, bahwa tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
[2]
Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran atau kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan atau suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.
Maka, ketentuan Pasal 2 UU Perkawinan di atas merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Apabila hanya memenuhi salah satu ketentuan saja, maka peristiwa perkawinan tersebut belum memenuhi unsur hukum yang ditentukan oleh UU Perkawinan.
Terlebih, pencatatan perkawinan ini telah ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan.
pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat di Kantor Urusan Agama (“KUA”);
pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan.
Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat;
Pencatatan perkawinan dilakukan oleh pegawai pencatat nikah di KUA.
Dengan demikian, hanya terdapat dua lembaga yang memiliki kewenangan untuk melakukan pencatatan perkawinan, yakni KUA dan kantor catatan sipil.
Perkawinan Beda Agama
Mengenai pertanyaan Anda, pencatatan di KUA diberlakukan terhadap perkawinan, di mana calon suami istri beragama sama. Lain halnya jika terhadap perkawinan beda agama, yakni perkawinan antara dua orang yang berbeda agama dan keyakinan dengan masing-masing tetap mempertahankan agama dan kepercayaan yang dianutnya sebagaimana dikemukakan oleh O. S. Eoh dalam buku Perkawinan antar Agama dalam Teori dan Praktek (hal. 35).
Menurut Hilman Hadikusuma dalam buku Hukum Perkawinan Indonesia, termasuk dalam pengertian ini di mana agamanya satu kiblat, tetapi berbeda dalam pelaksanaan upacara-upacara agamanya (hal. 18).
Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berlaku pula bagi:
- perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan; dan
- perkawinan Warga Negara Asing yang dilakukan di Indonesia atas permintaan Warga Negara Asing yang bersangkutan.
Ketentuan Pasal 34 UU Adminduk yang dimaksud menegaskan bahwa perkawinan yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan wajib dilaporkan oleh penduduk, sehingga pejabat pencatatan sipil mencatat pada register akta perkawinan dan menerbitkan kutipan akta perkawinan.
[4]
Lalu apa yang dimaksud dengan "perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan"? Perkawinan tersebut adalah perkawinan yang dilakukan antar umat yang berbeda agama.
[5]
Mengenai pertanyaan Anda, terhadap perkawinan beda agama yang telah dinyatakan sah dan dicatatkan di kantor catatan sipil, maka perkawinan tersebut sudah memiliki kedudukan hukum yang legal dan akta perkawinannya sudah autentik sebagai alat bukti adanya perbuatan hukum bernama perkawinan.
Status Perkawinan Ketika Suami Pindah Agama
Jika saat ini suami dan istri telah sama-sama memeluk agama Islam, maka upaya yang dapat dilakukan untuk memantapkan pernikahan secara Islam adalah dengan melakukan tajdiidun nikah atau pembaruan akad nikah.
Dalam hal ini, suami istri tersebut bisa berkonsultasi dengan KUA setempat. Namun demikian, KUA tidak bisa mencatat pernikahan tersebut dan menerbitkan buku nikah yang baru, dikarenakan pencatatan perkawinan hanya dilakukan sekali saja, sehingga bukti pencatatan nikah yang dikeluarkan oleh catatan sipil sebelumnya masih berlaku dan tidak perlu Anda mencatatkannya untuk kedua kali sebagai perkawinan Islam.
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Referensi:
Hilman Hadikusuma. Hukum Perkawinan Indonesia. Bandung: Mandar Maju, 1990;
O. S. Eoh. Perkawinan antar Agama dalam Teori dan Praktek. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996.
[1] Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan
[2] Penjelasan Umum angka 4 huruf b UU Perkawinan
[4] Pasal 34 ayat (1) dan (2) UU Adminduk
[5] Pasal 35 huruf a UU Adminduk