Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Bisakah Menggugat Janji Politik Capres yang Tidak Dipenuhi?

Share
copy-paste Share Icon
Kenegaraan

Bisakah Menggugat Janji Politik Capres yang Tidak Dipenuhi?

Bisakah Menggugat Janji Politik Capres yang Tidak Dipenuhi?
Nafiatul Munawaroh, S.H., M.HSi Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Bisakah Menggugat Janji Politik Capres yang Tidak Dipenuhi?

PERTANYAAN

Tahun ini merupakan tahun pemilu, banyak capres yang berkampanye dengan menyampaikan janji politik yang disampaikan di dalam berbagai forum kampanye. Jika di kemudian hari capres terpilih menjadi presiden atau anggota legislatif, bisakah konstituen atau masyarakat menggugat janji politik mereka ke ranah hukum jika janjinya tidak dilaksanakan?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Janji politik yang disampaikan oleh calon presiden (“capres”) dalam kampanye tidak dapat dikatakan sebagai janji dalam konteks hukum perdata; dimana jika diingkari dapat digugat karena wanprestasi. Apa alasannya? Lalu, adakah upaya lain untuk menagih janji politik capres yang telah terpilih?

     

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

     

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Bisakah Menggugat Janji Politik Caleg/Capres yang Tidak Terealisasi yang dibuat oleh Sovia Hasanah, S.H., dan pertama kali dipublikasikan pada 24 Januari 2019.

    KLINIK TERKAIT

    Pengecualian Batas Usia Capres dan Cawapres, Ini Alasan MK

    Pengecualian Batas Usia Capres dan Cawapres, Ini Alasan MK

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

     

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Janji Politik Melalui Kampanye Pemilu

    Perlu diketahui bahwa janji politik umumnya berupa visi misi dan program calon presiden (“capres”) yang disampaikan pada masa kampanye pemilihan umum (“pemilu.”) Kampanye pemilu adalah kegiatan peserta pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh peserta pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri peserta pemilu.[1] Selain itu, kampanye pemilu merupakan bagian dari pendidikan politik masyarakat dan dilaksanakan secara bertanggung jawab.[2]

    Adapun, materi kampanye meliputi:[3]

    1. visi, misi, dan program pasangan calon untuk kampanye pemilu presiden dan wakil presiden,
    2. visi, misi, dan program partai politik untuk partai politik peserta Pemilu yang dilaksanakan oleh calon anggota DPR, anggota DPRD provinsi, dan anggota DPRD kabupaten/kota; dan
    3. visi, misi, dan program yang bersangkutan untuk kampanye perseorangan yang dilaksanakan oleh calon anggota DPD.

     

    Bisakah Menggugat Janji Politik yang Tidak Dipenuhi?

    Menjawab pertanyaan Anda, apakah bisa menggugat janji politik capres yang tidak melaksanakan janjinya ketika terpilih?

    Sebagaimana telah dijelaskan di atas, kampanye adalah kegiatan peserta pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh peserta pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri peserta pemilu.

    Secara eksplisit dalam masa kampanye capres tidak menyampaikan janji-janji, melainkan menyampaikan visi-misi, program dan/atau citra diri dengan tujuan agar menarik pemilih untuk memilihnya. Namun demikian, menurut pendapat kami, janji politik tersebut dapat pula berbentuk visi misi maupun program yang disampaikan semasa kampanye pemilu.

    Lalu, bisakah janji politik digugat secara hukum jika tidak dilaksanakan? Sepanjang penelusuran kami, tidak ada aturan yang mengatur bahwa janji politik dapat digugat.

    Lantas, apakah janji politik (visi, misi, dan program) yang disampaikan pada masa kampanye dapat dipadankan dengan janji dalam konteks hukum perdata, sehingga jika tidak dilaksanakan dapat digugat atas perbuatan wanprestasi?

    Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mama perlu diketahui dulu apa itu perjanjian menurut hukum perdata. Menurut Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian (hal. 1), perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.

    Lebih lanjut, Subekti mengatakan bahwa dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu.

    Jadi dapat disimpulkan bahwa perjanjian tersebut adalah persetujuan antara dua orang atau lebih untuk melakukan sesuatu hal (adanya prestasi pada kedua belah pihak). Itu artinya hubungan hukum yang timbul dari perjanjian adalah hubungan timbal balik dari pihak yang berjanji untuk melakukan suatu hal.

    Berdasarkan hal tersebut, menurut hemat kami, janji politik tidak termasuk perjanjian yang dimaksud dalam hukum perdata. Hal ini karena janji politik hanya diucapkan oleh capres pada masa kampanye, sementara pemilih tidak mengikatkan diri untuk melakukan suatu prestasi dari ‘janji politik’ tersebut.

    Hal senada dengan pendapat Makmun Masduki sebagaimana disampaikan dalam artikel Janji Politik Pejabat Tak Bisa Digugat Secara Perdata. Menurut Makmun, yang merupakan anggota majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memutus gugatan citizen lawsuit yang diajukan Boni Hargens dan 71 orang lain terhadap SBY-JK karena tidak memenuhi janji politiknya, kegagalan SBY-JK dalam memenuhi janji kampanye bukan wanprestasi. Ketidakberhasilan janji politik itu bukan karena kesengajaan sehingga tidak bisa menjadi sengketa hukum. Lebih lanjut majelis hakim dalam pertimbangannya menyatakan bahwa janji politik bukan janji dalam konteks hukum perdata. Janji dalam hukum perdata biasanya dituangkan dalam kontrak dimana satu pihak berjanji untuk melakukan sesuatu dan pihak lain menerima janji. Harus ada komunikasi antara dua belah pihak tentang apa yang dijanjikan dan pihak lain menerima janji yang akan direalisasikan.

    Jadi menjawab pertanyaan Anda, ‘janji politik’ yang disampaikan oleh capres dalam kampanye tidak dapat dikatakan sebagai janji dalam konteks hukum perdata dan jika ada keingkaran, maka tidak dapat dilakukan gugatan terhadap capres, karena keingkaran tersebut tidak dapat dikatakan sebagai sebuah wanprestasi janji.

     

    Menagih Janji Politik Capres

    Janji politik berupa visi, misi, dan program capres yang telah terpilih menjadi presiden, dituangkan dalam suatu kebijakan pemerintah berupa rencana pembangunan jangka menengah (“RPJM”) nasional. Contohnya dalam Pasal 2 ayat (1) Perpres 18/2020 yang menyatakan bahwa RPJM nasional merupakan penjabaran visi, misi, dan program presiden hasil pemilihan umum tahun 2019. RPJM nasional sendiri adalah dokumen perencanaan pembangunan nasional untuk periode 5 tahun.[4]

    Dengan adanya prinsip saling mengimbangi atau checks and balances[5] antara kekuasaan legislatif dan eksekutif dalam sistem pemerintahan Indonesia, maka menurut hemat kami dapat menjadi sarana untuk “menagih” janji politik presiden ketika kampanye.

    Hal ini dapat dilakukan melalui Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”) yang mempunyai fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.[6] Dalam melakukan fungsi pengawasan, DPR bertugas melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, APBN, dan kebijakan pemerintah.[7]

    DPR melalui komisi melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, termasuk APBN, serta peraturan pelaksanaannya yang termasuk dalam ruang lingkup tugasnya dan melakukan pengawasan terhadap kebijakan pemerintah.[8]

    Untuk menjalankan tugas pengawasan tersebut, komisi di DPR dapat mengadakan:[9]

    1. rapat kerja dengan pemerintah yang diwakili oleh menteri/pimpinan lembaga;
    2. konsultasi dengan Dewan Perwakilan Daerah;
    3. rapat dengar pendapat dengan pejabat pemerintah yang mewakili instansinya;
    4. rapat dengar pendapat umum, baik atas permintaan komisi maupun atas permintaan pihak lain;
    5. rapat kerja dengan menteri atau rapat dengar pendapat dengan pejabat pemerintah yang mewakili instansinya yang tidak termasuk dalam ruang lingkup tugasnya apabila diperlukan; dan/atau
    6. kunjungan kerja.

    Sebagai masyarakat atau konstituen, Anda dapat menyampaikan aspirasi dalam hal menagih janji politik presiden tersebut kepada DPR. Sebab, hal ini merupakan kewajiban bagi setiap anggota DPR untuk menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui kunjungan kerja berkala, dimana anggota DPR wajib bertemu dengan konstituen secara rutin pada setiap masa reses dan hasil pertemuannya dilaporkan secara tertulis kepada partai politik melalui fraksinya di DPR.[10]

    Selanjutnya, DPR berhak memberikan rekomendasi kepada setiap orang demi kepentingan bangsa dan negara yang wajib ditindaklanjuti oleh setiap orang[11] yang dimaksud, misalnya oleh presiden. Jika rekomendasi DPR tersebut tidak dilaksanakan, maka DPR dapat menggunakan hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat, atau hak anggota DPR mengajukan pertanyaan.[12]

    Dengan demikian, masyarakat dapat menagih janji politik capres yang telah terpilih menjadi presiden yang disampaikan melalui DPR salah satunya ketika masa reses. Selanjutnya DPR akan menyerap aspirasi tersebut dan diwujudkan dengan melaksanakan fungsi pengawasan, seperti melakukan rapat dengar pendapat dengan pemerintah terkait dengan program yang belum terealisasi.

     

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     

    Dasar Hukum:

    1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang telah ditetapkan sebagai undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2023;
    2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan diubah ketiga kalinya dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
    3. Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Jangka Menengah Nasional Tahun 2020 – 2024.

     

    Referensi:

    Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta: PT. Intermasa, 1990.

     


    [1] Pasal 1 angka 35 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (“UU Pemilu”)

    [2] Pasal 267 ayat (1) UU Pemilu

    [3] Pasal 274 ayat (1) UU Pemilu

    [4] Pasal 1 angka 2 Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2020 tentang Rencana Jangka Menengah Nasional Tahun 2020 – 2024

    [5] Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (“UU MD3”)

    [6] Pasal 69 ayat (1) UU MD3

    [7] Pasal 72 huruf d UU MD3

    [8] Pasal 98 ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (“UU 42/2014”)

    [9] Pasal 98 ayat (4) UU 42/2014

    [10] Pasal 81 huruf i UU MD3 dan penjelasannya

    [11] Pasal 74 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (“UU 2/2018”)

    [12] Pasal 74 ayat (3) UU 2/2018

    Tags

    caleg
    pilpres

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Ingin Rujuk, Begini Cara Cabut Gugatan Cerai di Pengadilan

    1 Sep 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!