KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Obat Reject Sebagai Limbah B3

Share
copy-paste Share Icon
Bisnis

Obat Reject Sebagai Limbah B3

Obat <i>Reject</i> Sebagai Limbah B3
Sigar Aji Poerana, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Obat <i>Reject</i> Sebagai Limbah B3

PERTANYAAN

Kami ingin menanyakan terkait izin B3, dimana kondisi perusaan kami saat ini adalah: Bidang Usaha: Pedagang Besar Farmasi. Tempat penyimpanan: Area Reject Gudang Obat. Pembuangan: Vendor khusus yang memiliki Izin B3. Dengan kondisi ini, apakah kami harus tetap memiliki Izin B3? Mohon penjelasannya dan konsekuensinya apabila kami tidak memiliki Izin tersebut.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Industri Farmasi adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki izin untuk melakukan kegiatan produksi atau pemanfaatan sumber daya produksi, penyaluran obat, bahan obat, dan fitofarmaka, melaksanakan pendidikan dan pelatihan, dan/atau penelitian dan pengembangan. Izin tersebut adalah izin usaha industri farmasi.
     
    Namun, untuk menyimpan, mengumpulkan, dan/atau mengangkut obat sebagai produk yang ditolak, usaha tersebut juga membutuhkan izin pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun. Hal ini dikarenakan obat yang demikian itu termasuk sebagai limbah bahan berbahaya dan beracun kategori 1.
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Izin Industri Farmasi
    Berdasarkan keterangan Anda, kami asumsikan usaha Anda adalah industri farmasi, yaitu badan usaha yang memiliki izin dari Menteri Kesehatan untuk melakukan kegiatan pembuatan obat atau bahan obat.[1]
     
    Pasal 1 angka 13 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 26 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik Sektor Kesehatan (“Permenkes 26/2018”) kemudian juga memberikan definisi industri farmasi secara lebih luas:
     
    Industri Farmasi adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang memiliki izin untuk melakukan kegiatan produksi atau pemanfaatan sumber daya produksi, penyaluran obat, bahan obat, dan fitofarmaka, melaksanakan pendidikan dan pelatihan, dan/atau penelitian dan pengembangan.  
     
    Pembuatan/produksi obat adalah seluruh tahapan kegiatan dalam menghasilkan obat, yang meliputi pengadaan bahan awal dan bahan pengemas, produksi, pengemasan, pengawasan mutu, dan pemastian mutu sampai diperoleh obat untuk didistribusikan.[2]
     
    Industri Farmasi dan Industri Farmasi Bahan Obat diselenggarakan oleh Pelaku Usaha nonperseorangan berupa perseroan terbatas. Persyaratan untuk memperoleh Izin Usaha Industri Farmasi dan Izin Usaha Industri Farmasi Bahan Obat yaitu Sertifikat Produksi Industri Farmasi atau Sertifikat Produksi Industri Farmasi Bahan Obat.[3]
     
    Industri farmasi yang menghasilkan obat dapat mendistribusikan atau menyalurkan hasil produksinya langsung kepada pedagang besar farmasi, apotek, instalasi farmasi rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, klinik, dan toko obat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[4]
     
    Berdasarkan uraian itu, kami asumsikan Anda berusaha dalam pembuatan obat dan pendistribusiannya.
     
    Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik
    Sebagai industri pembuat obat, maka Anda juga berpedoman pada pedoman cara pembuatan obat yang baik yang merujuk pada Peraturan Badan Pengawas Obat Dan Makanan Nomor 34 Tahun 2018 tentang Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik (“Peraturan BPOM 34/2018”).
     
    Bahan dan produk yang ditolak hendaklah diberi penandaan yang jelas dan disimpan terpisah di “area terlarang” (restricted area). Bahan atau produk tersebut hendaklah dikembalikan kepada pemasoknya atau, bila dianggap perlu, diolah ulang atau dimusnahkan. Langkah apa pun yang diambil hendaklah lebih dulu disetujui oleh kepala bagian manajemen mutu (pemastian mutu) dan dicatat.[5]
     
    Pengolahan ulang produk yang ditolak hendaklah merupakan suatu kekecualian. Hal ini hanya diperbolehkan jika mutu produk akhirnya tidak terpengaruh, bila spesifikasinya dipenuhi dan prosesnya dikerjakan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan dan disetujui setelah dilakukan evaluasi terhadap risiko yang mungkin timbul. Catatan pengolahan ulang hendaklah disimpan.[6]
     
    Oleh karena Anda merupakan pemasok atau pembuat yang dimaksud, maka terhadap bahan dan produk yang ditolak, Anda dapat melakukan pengolahan ulang atau pemusnahan.
     
    Obat Reject Termasuk Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)
    Dalam Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (“PP 101/2014”), diterangkan bahwa bahan atau produk yang tidak memenuhi spesifikasi teknis, kedaluwarsa, dan sisa yang bersumber dari manufakturing, formulasi, produksi, dan distribusi produk farmasi dan instalasi pengolahan air limbah yang mengolah efluen proses manufaktur dan produksi farmasi termasuk limbah B3 dari sumber spesifik umum kategori bahaya 1 (hal. 55).
     
    Dalam artikel KLHK Tangani Limbah Bahan Beracun Berbahaya di Cirebon dari laman Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, diterangkan bahwa obat kedaluwarsa adalah salah satu limbah B3.
     
    Dalam Lampiran I Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 7 Tahun 2019 tentang Kesehatan Lingkungan Rumah Sakit (hal. 50), meskipun dalam cakupan yang dihasilkan di rumah sakit, namun obat dan bahan farmasi kedaluwarsa dikategorikan sebagai limbah B3.
     
    Penyimpanan Limbah B3
    Menjawab pertanyaan Anda, Anda sebagai penghasil limbah B3 wajib melakukan penyimpanan limbah B3.[7]
     
    Penyimpanan limbah B3 adalah kegiatan menyimpan limbah B3 yang dilakukan oleh penghasil limbah B3 dengan maksud menyimpan sementara limbah B3 yang dihasilkannya.[8]
     
    Untuk dapat melakukan penyimpanan limbah B3, setiap orang wajib memiliki izin pengelolaan limbah B3 untuk kegiatan penyimpanan limbah B3.[9]
     
    Untuk dapat memperoleh izin pengelolaan limbah B3 untuk kegiatan penyimpanan limbah B3, setiap orang yang menghasilkan limbah B3:[10]
    1. wajib memiliki izin lingkungan; dan
    2. harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada bupati/wali kota dan melampirkan persyaratan izin.
     
    Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 yang tidak memenuhi atau melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 12 ayat (3) PP 101/2014, dikenai sanksi administratif, berupa:[11]
    1. teguran tertulis;
    2. paksaan pemerintah; atau
    3. pembekuan izin pengelolaan limbah B3 untuk kegiatan penyimpanan limbah B3.
     
    Pengumpulan Limbah B3
    Anda juga wajib melakukan pengumpulan limbah B3 yang dihasilkan.[12]
     
    Pengumpulan limbah B3 adalah kegiatan mengumpulkan limbah B3 dari penghasil limbah B3 sebelum diserahkan kepada pemanfaat limbah B3, pengolah limbah B3, dan/atau penimbun limbah B3.[13]
     
    Untuk dapat melakukan pengumpulan limbah B3, pengumpul limbah B3 wajib memiliki izin pengelolaan limbah B3 untuk pengumpulan limbah B3.[14]
     
    Pengumpul limbah B3 untuk memperoleh izin pengelolaan limbah B3 untuk kegiatan pengumpulan limbah B3 harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada:[15]
    1. bupati/wali kota, untuk pengumpulan limbah B3 skala kabupaten/kota;
    2. gubernur, untuk pengumpulan limbah B3 skala provinsi; atau
    3. Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, untuk pengumpulan limbah B3 skala nasional.
     
    Permohonan izin pengelolaan limbah B3 untuk kegiatan pengumpulan limbah B3 dilengkapi dengan persyaratan yang meliputi:[16]
    1. identitas pemohon;
    2. akta pendirian badan usaha;
    3. nama, sumber, dan karakteristik limbah B3 yang akan dikumpulkan;
    4. dokumen yang menjelaskan tentang tempat penyimpanan limbah B3 sesuai dengan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 sampai dengan pasal 18;
    5. dokumen yang menjelaskan tentang pengemasan limbah B3 sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 19;
    6. prosedur pengumpulan limbah B3;
    7. bukti kepemilikan atas dana penanggulangan pencemaran lingkungan hidup dan/atau kerusakan lingkungan hidup dan dana penjaminan pemulihan fungsi lingkungan hidup; dan
    8. dokumen lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
    Menjawab pertanyaan Anda lainnya soal konsekuensi, pengumpul limbah B3 yang tidak memenuhi atau melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 33 ayat (1) PP 101/2014, dikenai sanksi administratif berupa:[17]
    1. teguran tertulis;
    2. paksaan pemerintah;
    3. pembekuan izin pengelolaan limbah B3 untuk kegiatan pengumpulan limbah B3; atau
    4. pencabutan izin pengelolaan limbah B3 untuk kegiatan pengumpulan limbah B3.
     
    Paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud pada huruf b meliputi:[18]
    1. penghentian sementara kegiatan;
    2. pemindahan sarana kegiatan;
    3. penutupan saluran drainase;
    4. pembongkaran;
    5. penyitaan barang atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran; dan/atau
    6. tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan memulihkan fungsi lingkungan hidup
     
    Pengangkutan Limbah B3
    Kami asumsikan, karena ada pihak ketiga dalam pengelolaan limbah B3 Anda, maka terjadi pengangkutan limbah B3 yang wajib dilakukan dengan menggunakan alat angkut yang tertutup untuk limbah B3 kategori 1.[19] Soal pengangkutan ini, kami perlu asumsikan bahwa perusahan Andalah yang mengangkut limbah B3 ke vendor/pihak ketiga, melihat vendor yang memiliki izin B3 yang Anda terangkan hanyalah melakukan kegiatan pembuangan.
     
    Pengangkutan limbah B3 wajib memiliki:[20]
    1. rekomendasi pengangkutan limbah B3; dan
    2. izin pengelolaan limbah B3 untuk kegiatan pengangkutan limbah B3
     
    Untuk memperoleh rekomendasi pengangkutan limbah B3, pengangkut limbah B3 harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan dilengkapi dengan persyaratan yang meliputi:[21]
    1. identitas pemohon;
    2. akta pendirian badan usaha;
    3. bukti kepemilikan atas dana penanggulangan pencemaran lingkungan hidup dan/atau kerusakan lingkungan hidup dan dana penjaminan pemulihan fungsi lingkungan hidup;
    4. bukti kepemilikan alat angkut;
    5. dokumen pengangkutan limbah B3; dan
    6. kontrak kerjasama antara penghasil limbah B3 dengan pengumpul limbah B3, pemanfaat limbah B3, pengolah limbah B3, dan/atau penimbun limbah B3 yang telah memiliki izin.
     
    Dokumen pengangkutan limbah B3 paling sedikit memuat:[22]
    1. jenis dan jumlah alat angkut;
    2. sumber, nama, dan karakteristik limbah B3 yang diangkut;
    3. prosedur penanganan limbah B3 pada kondisi darurat;
    4. peralatan untuk penanganan limbah B3; dan
    5. prosedur bongkar muat limbah B3.
     
    Izin pengelolaan limbah B3 untuk kegiatan pengangkutan limbah B3 diterbitkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan.[23]
     
    Pengangkut limbah B3 yang tidak memenuhi atau melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 47 ayat (1) dan/atau Pasal 48 ayat (1) PP 101/2014 dikenakan sanksi administratif, berupa:[24]
    1. teguran tertulis;
    2. paksaan pemerintah;
     
    Berdasarkan uraian di atas, untuk menyimpan, mengumpulkan, dan/atau mengangkut limbah B3 berupa obat reject, Anda harus memiliki izin pengelolaan limbah B3. Jika tidak berizin, maka dapat dikenai sanksi administratif.
     
    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
     
    Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun;
     
    Referensi:
    KLHK Tangani Limbah Bahan Beracun Berbahaya di Cirebon, diakses pada 15 Juli 2020, pukul 18.28 WIB.
     

    [1] Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1799/MENKES/PER/XII/2010 Tahun 2010 tentang Industri Farmasi (“Permenkes 1799/2010”)
    [2] Pasal 1 angka 4 Permenkes 1799/2010
    [3] Pasal 5 ayat (3)
    [4] Pasal 20 ayat (1) Permenkes 1799/2010
    [5] Lampiran Peraturan BPOM 34/2018, poin 5.167
    [6] Lampiran Peraturan BPOM 34/2018, poin 5.168
    [7] Pasal 12 ayat (1) PP 101/2014
    [8] Pasal 1 angka 20 PP 101/2014
    [9] Pasal 12 ayat (3) PP 101/2014
    [10] Pasal 12 ayat (4) PP 101/2014
    [11] Pasal 243 ayat (1) dan (2) PP 101/2014
    [12] Pasal 31 ayat (1) PP 101/2014
    [13] Pasal 1 angka 21 PP 101/2014
    [14] Pasal 33 ayat (1) PP 101/2014
    [15] Pasal 34 ayat (1) PP 101/2014
    [16] Pasal 34 ayat (2) PP 101/2014
    [17] Pasal 245 ayat (1) dan (2) PP 101/2014
    [18] Pasal 245 ayat (3) PP 101/2014
    [19] Pasal 47 ayat (1) PP 101/2014
    [20] Pasal 48 ayat (1) PP 101/2014
    [21] Pasal 48 ayat (3) PP 101/2014
    [22] Pasal 48 ayat (4) PP 101/2014
    [23] Pasal 51 ayat (2) PP 101/2014
    [24] Pasal 246 ayat (1) dan (2) PP 101/2014

    Tags

    kesehatan
    pabrik

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Syarat dan Prosedur Hibah Saham

    11 Okt 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!