Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Pencantuman Dasar Hukum dalam Perancangan Peraturan Desa

Share
copy-paste Share Icon
Ilmu Hukum

Pencantuman Dasar Hukum dalam Perancangan Peraturan Desa

Pencantuman Dasar Hukum dalam Perancangan Peraturan Desa
Arasy Pradana A. Azis, S.H., M.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Pencantuman Dasar Hukum dalam Perancangan Peraturan Desa

PERTANYAAN

Saya sebagai anggota BPD, berencana membuat sebuah rancangan peraturan desa tentang pemanfaatan teknologi informasi dalam ruang lingkup kerja desa. Peraturan desa tersebut mengatur agar dapat melegalkan surat undangan elektronik melalui whatsapp dan lain sebagainya yang bersifat elektronik dalam ruang lingkup kerja di desa. Pertanyaan saya, apa dasar hukum yang pas untuk rancangan peraturan desa tersebut? Yang kedua, boleh kah membuat sebuah peraturan desa tanpa memuat dasar hukum di atasnya?

 

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Peraturan desa pada dasarnya harus memuat dasar hukum dari peraturan yang lebih tinggi sebagai landasan yuridisnya. Beberapa undang-undang yang dapat menjadi rujukan dalam penyusunan peraturan desa terkait penggunaan undangan elektronik adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, serta Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

     

    Penjelasan selengkapnya silakan klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Peraturan Desa
    Sebelum membahas pertanyaan tersebut lebih jauh, kami akan menguraikan seluk-beluk peraturan desa terlebih dahulu, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (“UU Desa”). Peraturan desa adalah peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Kepala Desa setelah dibahas dan disepakati bersama Badan Permusyawaratan Desa (“BPD”).[1]
     
    Peraturan desa merupakan kerangka hukum dan kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa dan pembangunan desa. Penetapan peraturan desa merupakan penjabaran atas berbagai kewenangan yang dimiliki desa mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Sebagai sebuah produk hukum, peraturan desa tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan tidak boleh merugikan kepentingan umum, yaitu:[2]
    1. terganggunya kerukunan antarwarga masyarakat;
    2. terganggunya akses terhadap pelayanan publik;
    3. terganggunya ketenteraman dan ketertiban umum;
    4. terganggunya kegiatan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa; dan
    5. diskriminasi terhadap suku, agama dan kepercayaan, ras, antargolongan, serta gender.
     
    Lebih lanjut, sebagai sebuah produk politik, peraturan desa diproses secara demokratis dan partisipatif, yakni proses penyusunannya mengikutsertakan partisipasi masyarakat desa. Masyarakat desa mempunyai hak untuk mengusulkan atau memberikan masukan kepada kepala desa dan badan permusyawaratan desa dalam proses penyusunan peraturan desa. Peraturan desa yang mengatur kewenangan desa berdasarkan hak asal usul dan kewenangan berskala lokal desa pelaksanaannya diawasi oleh masyarakat desa dan badan permusyawaratan desa. Hal itu dimaksudkan agar pelaksanaan peraturan desa senantiasa dapat diawasi secara berkelanjutan oleh warga masyarakat desa setempat mengingat peraturan desa ditetapkan untuk kepentingan masyarakat desa. Apabila terjadi pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan desa yang telah ditetapkan, BPD berkewajiban mengingatkan dan menindaklanjuti pelanggaran dimaksud sesuai dengan kewenangan yang dimiliki.[3]
     
    Rancangan peraturan desa tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, pungutan, tata ruang, dan organisasi pemerintah desa harus mendapatkan evaluasi dari Bupati/Walikota sebelum ditetapkan menjadi Peraturan Desa. Rancangan peraturan desa wajib dikonsultasikan kepada masyarakat desa. Masyarakat desa berhak memberikan masukan terhadap rancangan peraturan desa. Peraturan desa dan peraturan kepala desa diundangkan dalam lembaran desa dan berita desa oleh sekretaris desa.[4]
     
    Pencantuman Dasar Hukum di Dalam Peraturan Desa
    UU Desa telah menyatakan bahwa peraturan desa dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.[5] Teknik penyusunan peraturan desa pun tunduk pada kaidah penyusunan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (“UU 12/2011”).[6]
     
    Peraturan desa sendiri memang tidak tercantum di dalam hierarki peraturan perundang-undangan sesuai Pasal 7 ayat (1) UU 12/2011. Namun Pasal 8 ayat (1) UU 12/2011 kemudian menyatakan bahwa:
     
    Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
     
    Peraturan perundang-undangan perlu memuat pertimbangan yuridis di dalam penyusunannya.[7] Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.[8]
     
    Keberadaan landasan yuridis kembali ditekankan dalam pembahasan mengenai konsiderans. Bagian konsiderans suatu peraturan perundang-undangan memuat uraian singkat mengenai pokok pikiran yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukan peraturan perundang–undangan. Pokok pikiran pada konsiderans Undang–Undang, Peraturan Daerah Provinsi, atau Peraturan Daerah Kabupaten/Kota memuat unsur filosofis, sosiologis, dan yuridis yang menjadi pertimbangan dan alasan pembentukannya yang penulisannya ditempatkan secara berurutan dari filosofis, sosiologis, dan yuridis.[9]
     
    Sementara itu, dasar hukum suatu peraturan perundang-undangan diawali dengan kata Mengingat. Dasar hukum memuat:[10]
    1. Dasar kewenangan pembentukan peraturan perundangundangan; dan 
    2. Peraturan perundang-undangan yang memerintahkan pembentukan peraturan perundang-undangan.
     
    Peraturan perundang–undangan yang digunakan sebagai dasar hukum hanya peraturan perundang–undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi. Jika jumlah peraturan perundang–undangan yang dijadikan dasar hukum lebih dari satu, urutan pencantuman perlu memperhatikan tata urutan peraturan perundang–undangan dan jika tingkatannya sama disusun secara kronologis berdasarkan saat pengundangan atau penetapannya.[11]
     
    Dasar Hukum Bagi Penggunaan Undangan Elektronik di Desa
    Berdasarkan penelusuran kami, terdapat beberapa dasar hukum yang dapat dirujuk dalam penyusunan peraturan desa yang membolehkan penggunaan undangan elektronik bagi kegiatan desa. Dua di antaranya adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”), serta Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (“UU 25/2009”).
     
    Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU ITE menyebutkan bahwa:
     
    1. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetakannya rnerupakan alat bukti hukum yang sah.
    2. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. 
     
    Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016 memberikan catatan bahwa frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 44 huruf b bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang–undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) UU ITE.
     
    Ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU ITE sendiri tidak berlaku untuk:[12]
    1. surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis; dan
    2. surat beserta dokumennya yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notaril atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
     
    Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) di atas yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan.[13]
     
    Selama ini bentuk tertulis identik dengan informasi dan/atau dokumen yang tertuang di atas kertas semata, padahal pada hakikatnya informasi dan/atau dokumen dapat dituangkan ke dalam media apa saja, termasuk medial elektronik. Dalam lingkup Sistem Elektronik, informasi yang asli dengan salinannya tidak relevan lagi untuk dibedakan sebab Sistem Elektronik pada dasarnya beroperasi dengan cara penggandaan yang mengakibatkan informasi yang asli tidak dapat dibedakan lagi dari salinannya.[14]
     
    Sementara itu, Pasal 24 UU 25/2009 menyatakan bahwa:
     
    Dokumen, akta, dan sejenisnya yang berupa produk elektronik atau nonelektronik dalam penyelenggaraan pelayanan publik dinyatakan sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
     
    Dengan demikian, sampai sejauh penelusuran kami, pengaturan mengenai penggunaan undangan elektronik pada dasarnya tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
     
    Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
     
     

    [1] Pasal 1 angka 7 UU Desa
    [2] Bagian Tujuh Penjelasan Umum UU Desa
    [3] Bagian Tujuh Penjelasan Umum UU Desa
    [4] Pasal 69 ayat (4), (9), (10), dan (11) UU Desa
    [5] Pasal 69 ayat (2) UU Desa
    [6] Pasal 32 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 111 Tahun 2014 tentang Pedoman Teknis Peraturan di Desa
    [7] Lampiran I UU 12/2011, hal. 2
    [8] Lampiran I UU 12/2011, hal. 6
    [9] Lampiran II UU 12/2011, hal. 11
    [10] Lampiran II UU 12/2011, hal. 16
    [11] Lampiran II UU 12/2011, hal. 19
    [12] Pasal 5 ayat (4) UU ITE
    [13] Pasal 6 UU ITE
    [14] Penjelasan Pasal 6 UU ITE

    Tags

    bpd
    bukti elektronik

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara Upload Terjemahan Novel Agar Tak Langgar Hak Cipta

    20 Okt 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!