Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Bisakah Bercerai Karena Suami Selalu Membanting Pintu?

Share
copy-paste Share Icon
Keluarga

Bisakah Bercerai Karena Suami Selalu Membanting Pintu?

Bisakah Bercerai Karena Suami Selalu Membanting Pintu?
Dimas Hutomo, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Bisakah Bercerai Karena Suami Selalu Membanting Pintu?

PERTANYAAN

Saya punya suami suka marah-marah, saya udah gakuat karena ia suka membanting pintu kalo lagi marah. Mukul sih enggak, tapi ya marah-marah terus. Bisakah saya menggugat cerai karena alasan itu?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Untuk bercerai harus terdapat alasan-alasan sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
     
    Pada dasarnya bisa saja jika istri ingin bercerai karena suami selalu emosi dan membanting pintu, yang berakibat selalu terjadi perselisihan dan pertengkaran sehingga rumah tangga tidak rukun karena pertengkaran yang terus menerus merupakan salah satu alasan yang disebeutkan.
     
    Tetapi sebaiknya sebelum memutuskan untuk bercerai ada baiknya mengupayakan perdamaian.
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Ulasan:
     
    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Alasan Perceraian Menurut Hukum
    Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan (Pengadilan Negeri untuk yang beragama selain Islam dan Pengadilan Agama untuk yang beragama Islam) yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan (mediasi) kedua belah pihak, yang mengacu ke Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) dan khusus yang beragama Islam mengacu kepada Kompilasi Hukum Islam (“KHI”).[1]
     
    Adanya upaya sungguh-sungguh untuk berdamai diperlukan dalam permasalahan ini, karena perceraian hakikatnya adalah upaya terakhir jika memang suatu rumah tangga tidak dapat dipertahankan dan sulit untuk rukun kembali.
     
    Pada dasarnya, suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Isteri pun wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.[2]
     
    Berkaitan dengan pertanyaan Anda, mengenai bisakah menggugat cerai suami karena sering marah-marah dan membanting pintu?
     
    Pelu diketahui bahwa berdasarkan Pasal 39 UU Perkawinan diatur bahwa untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
     
    Sedangkan, mengenai apa saja yang merupakan alasan-alasan perceraian, dapat dilihat pada Penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan dan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“PP 9/1975”), yang bunyinya:
     
    Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
    1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
    2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
    3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
    4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;
    5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
    6. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukunlagi dalam rumah tangga.
     
    Alasaan tersebut juga diatur dalam Pasal 116 KHI, berbunyi:
     
    Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:
    1. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
    2. salah satu pihak mninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
    3. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
    4. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
    5. sakah satu pihak mendapat cacat badab atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;
    6. antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
    7. Suami menlanggar taklik talak;
    8. peralihan agama tau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.
     
    Kemudian, dalam Pasal 16 PP Perkawinan dikatakan bahwa Pengadilan hanya memutuskan untuk mengadakan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian apabila memang terdapat alasan-alasan seperti yang dimaksud dalam Pasal 19 PP Perkawinan dan Pengadilan berpendapat bahwa antara suami isteri yang bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
     
    Jadi berdasarkan penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk bercerai harus terdapat alasan-alasan sebagaimana dijelaskan.
     
    Menjawab pertanyaan Anda, pada dasarnya bisa saja jika istri ingin bercerai karena suami selalu emosi dan membanting pintu, yang berakibat pada perselisihan dan pertengkaran secara sehingga rumah tangga tidak rukun. Tentunya alasan tersebut diajukan bersamaan dengan gugatan perceraian yang diajukan istri.
     
    Ulasan selengkapnya mengenai istri menggugat suami silakan baca artikel Bisakah Istri Diam-Diam Menggugat Cerai Suami?.
     
    Contoh Kasus
    Sebagai contoh kasus dapat kita lihat pada Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor 0018/Pdt.G/2014/PAJT yang menjadi penggugat adalah istri. Dalam gugatannya mengatakan bahwa tergugat (suami) mempunyai sifat cemburuan, kasar kepada penggugat, dan tergugat selalu membanting pintu apabila terjadi pertengkaran. penggugat dan tergugat pun telah pisah ranjang.Keluarga telah pernah mengupayakan agar berdamai dan dapat rukun kembali, akan tetapi tidak berhasil.
     
    Pada pertimbangannya, Hakim menyatakan bahwa alasan tersebut telah memenuhi ketentuan sebagai tersebut dalam Pasal 19 huruf f PP 9/1975 jo. Pasal 116 huruf f KHI jo. Pasal 33 dan 34 UU Perkawinan, dan telah melanggar Pasal 2 dan 4 perjanjian sighat ta’lik thalak, oleh karenanya gugatan penggugat tersebut patut dipertimbangkan dan dikabulkan.
    Tergugat telah melanggar pasal 2 perjanjian sighat ta’lik thalak, berdasarkan sesuai dengan pasal 119 KHI, maka Hakim mengabulkan gugatan penggugat dengan thalak satu bain sughro.
     
    Talak Ba`in Shughraa adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan
    bekas suaminya meskipun dalam iddah.[3]
     
    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
    Putusan:
    Putusan Pengadilan Agama Jakarta Timur Nomor 0018/Pdt.G/2014/PAJT.
     

    [1] Pasal 39 ayat (1) UU Perkawinan jo. Pasal 115 KHI
    [2] Pasal 34 UU Perkawinan
    [3] Pasal 119 ayat (1) KHI

    Tags

    hukumonline
    perdata

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Persyaratan Pemberhentian Direksi dan Komisaris PT PMA

    17 Mei 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!