KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Pengawasan Konten YouTube oleh Komisi Penyiaran Indonesia

Share
copy-paste Share Icon
Teknologi

Pengawasan Konten YouTube oleh Komisi Penyiaran Indonesia

Pengawasan Konten <i>YouTube</i> oleh Komisi Penyiaran Indonesia
Arasy Pradana A. Azis, S.H., M.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Pengawasan Konten <i>YouTube</i> oleh Komisi Penyiaran Indonesia

PERTANYAAN

Akhir-akhir ini ramai diberitakan bahwa Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) akan mengawasi YouTube. Apakah lembaga tersebut memang berwenang? Sebagai pengguna YouTube, saya cukup concern dengan masalah ini. Terima kasih.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Karena tidak dikategorikan sebagai layanan jasa penyiaran radio dan televisi, serta tidak menggunakan spektrum frekuensi radio, Komisi Penyiaran Indonesia (“KPI”) pada dasarnya tidak berwenang untuk mengawasi konten YouTube.
     
    Selain itu, dengan atau tanpa penambahan kewenangan baru bagi KPI dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran pun, pengaturan Kebijakan dan Keamanan internal YouTube dan berbagai aturan hukum mengenai informasi elektronik seperti dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan perubahannya dapat digunakan untuk menjaga konten YouTube.
     
    Penjelasan selengkapnya dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Pengaturan tentang tugas dan wewenang Komisi Penyiaran Indonesia (“KPI”) dapat Anda temukan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (“UU 32/2002”). Namun sebelumnya, Anda perlu mengetahui hal-hal umum mengenai penyiaran berikut.
     
    Sistem Penyiaran Nasional
    Dalam UU 32/2002 diatur bahwa penyiaran diselenggarakan dalam satu sistem penyiaran nasional.[1] Yang dimaksud sebagai penyiaran sendiri adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.[2] Sementara siaran adalah pesan atau rangkaian pesan dalam bentuk suara, gambar, atau suara dan gambar atau yang berbentuk grafis, karakter, baik yang bersifat interaktif maupun tidak, yang dapat diterima melalui perangkat penerima siaran.[3]
     
    Dalam sistem penyiaran nasional, Negara menguasai spektrum frekuensi radio yang digunakan untuk penyelenggaraan penyiaran guna sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam sistem penyiaran nasional terdapat lembaga penyiaran dan pola jaringan yang adil dan terpadu yang dikembangkan dengan membentuk stasiun jaringan dan stasiun lokal. Untuk penyelenggaraan penyiaran, dibentuk sebuah komisi penyiaran.[4]
     
    Komisi penyiaran tersebut yang kemudian dinamakan sebagai KPI. KPI sebagai lembaga negara yang bersifat independen mengatur hal-hal mengenai penyiaran. KPI terdiri atas KPI Pusat dibentuk di tingkat pusat dan KPI Daerah dibentuk di tingkat provinsi. Dalam menjalankan fungsi, tugas, wewenang dan kewajibannya, KPI Pusat diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan KPI Daerah diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi.[5]
     
    Wewenang KPI
    KPI sebagai wujud peran serta masyarakat berfungsi mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran. Dalam menjalankan fungsinya, KPI mempunyai wewenang:[6]
    1. Menetapkan standar program siaran;
    2. Menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran;
    3. Mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran;
    4. Memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran;
    5. Melakukan koordinasi dan/atau kerja sama dengan Pemerintah, lembaga penyiaran, dan masyarakat.
     
    Batasan mengenai objek wewenang-wewenang KPI di atas sendiri telah diatur cukup jelas di dalam UU 32/2002. Hal ini tersurat dalam pengaturan mengenai jasa penyiaran, yang terdiri atas jasa penyiaran radio dan jasa penyiaran televisi. Jasa penyiaran diselenggarakan oleh lembaga penyiaran publik, lembaga penyiaran swasta, lembaga penyiaran komunitas, dan lembaga penyiaran berlangganan.[7] Dengan demikian, kewenangan-kewenangan KPI sebagai penyelenggara penyiaran sejatinya terbatas pada konten radio dan televisi, serta lembaga penyiarannya. Dengan kata lain, KPI pada dasarnya tidak berwenang untuk mengawasi konten YouTube.
     
    Penambahan wewenang KPI untuk mengawasi konten YouTube adalah wacana yang sedang berkembang belakangan. Sebagaimana diuraikan Ketua KPI Pusat Agung Suprio dalam artikel KPI Ingin Awasi Konten Digital, Kominfo: Belum Ada Aturannya, pengawasan tersebut dilakukan agar konten-konten yang berada di media digital memang layak ditonton serta memiliki nilai edukasi, juga menjauhkan masyarakat dari konten berkualitas rendah. Perlunya pengawasan media YouTube, Netflix, Facebook atau media sejenis menimbang sebagian besar masyarakat sudah beralih dari media konvensional televisi dan radio. KPI sendiri mengupayakan agar penambahan wewenang tersebut dapat masuk dalam revisi UU 32/2002.
     
    Pengawasan Internal Konten YouTube
    Sejatinya menurut hemat kami, tanpa keterlibatan KPI pun, telah terdapat beberapa metode atau proses hukum yang dapat digunakan untuk menyaring konten YouTube. Sebagai bentuk pengawasan internalnya, YouTube memiliki ketentuan mengenai Kebijakan dan Keamanan. Mengacu pada ketentuan tersebut, beberapa konten yang dilarang untuk diunggah ke YouTube di antaranya adalah:
    1. Konten seksual atau ketelanjangan;
    2. Konten yang merugikan atau berbahaya;
    3. Konten yang mengandung kebencian;
    4. Konten kekerasan atau vulgar;
    5. Pelecehan dan cyberbullying;
    6. Spam, metadata yang menyesatkan, dan scam;
    7. Ancaman;
    8. Hak cipta;
    9. Privasi;
    10. Peniruan identitas; dan
    11. Keselamatan anak.
     
    Dalam hal ini, kami akan mencontohkan kebijakan YouTube atas konten seksual atau ketelanjangan yang masih dirujuk dari laman Kebijakan terkait konten ketelanjangan dan seksual. Konten vulgar yang dimaksudkan untuk memberi kepuasan seksual (seperti pornografi) tidak diizinkan di YouTube. Video yang berisi konten obsesi seksual akan dihapus atau dikenai pembatasan usia. Dalam sebagian besar kasus, obsesi seksual yang bernuansa kekerasan, terang-terangan, atau memalukan tidak diizinkan di YouTube.
     
    YouTube memungkinkan penggunanya untuk melaporkan temuan konten yang melanggar kebijakan ini. Petunjuk cara melaporkan pelanggaran Pedoman Komunitas dapat dilihat pada laman Melaporkan konten tidak pantas. Dengan demikian, masyarakat sendiri dapat berpartisipasi dalam proses pengawasan konten YouTube, tanpa perlu melibatkan KPI.
     
    Sanksi Atas Konten YouTube yang Dilarang
    Selain itu, konten-konten bermasalah di YouTube juga dapat dijerat dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”).
     
    Konten YouTube sendiri dapat dikategorikan sebagai informasi elektronik. Informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.[8]
     
    Lebih lanjut, Pasal 27 UU ITE melarang beberapa hal berikut ini:
     
    1. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
    2. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan perjudian.
    3. Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
    4. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.
     
    Selain itu, Pasal 28 UU ITE juga melarang hal-hal sebagai berikut:
     
    1. Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik.
    2. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).
     
    Adapun Pasal 29 UU ITE melarang:
     
    Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.
     
    Pelanggaran-pelanggaran atas ketentuan-ketentuan di atas dapat dikenai sejumlah sanksi. Sebagai contoh, setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1 miliar rupiah.[9]
     
    Tugas, Wewenang, dan Kewajiban KPI Lainnya
    Selain wewenang dan usulan wewenang baru yang menjadi polemik di atas, KPI juga mempunyai sejumlah tugas dan kewajiban lainnya. Tugas dan kewajiban tersebut adalah:[10]
    1. Menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia;
    2. Ikut membantu pengaturan infrastruktur bidang penyiaran;
    3. Ikut membangun iklim persaingan yang sehat antarlembaga penyiaran dan industri terkait;
    4. Memelihara tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang;
    5. Menampung, meneliti, dan menindaklanjuti aduan, sanggahan, serta kritik dan apresiasi masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran; dan
    6. Menyusun perencanaan pengembangan sumber daya manusia yang menjamin profesionalitas di bidang penyiaran.
     
    KPI juga menyandang wewenang untuk menyusun regulasi, sebagaimana diatur dalam berbagai bagian UU 32/2002. Umumnya, wewenang tersebut dibagi KPI bersama dengan Pemerintah. Sebagai contoh, KPI bersama Pemerintah berwenang untuk menyusun ketentuan lebih lanjut mengenai Lembaga Penyiaran Publik.[11] Lembaga Penyiaran Publik sendiri adalah lembaga penyiaran yang berbentuk badan hukum yang didirikan oleh Negara, bersifat independen, netral, tidak komersial, dan berfungsi memberikan layanan untuk kepentingan masyarakat.[12]
     
    Selain itu, KPI bersama Pemerintah juga berwenang menyusun pengaturan jumlah dan cakupan wilayah siaran lokal, regional, dan nasional, baik untuk jasa penyiaran radio maupun jasa penyiaran televisi.[13]
     
    KPI juga terlibat dalam proses perizinan penyelenggaraan penyiaran. Sebelum menyelenggarakan kegiatannya, lembaga penyiaran wajib memperoleh izin penyelenggaraan penyiaran. Pemohon izin wajib mencantumkan nama, visi, misi, dan format siaran yang akan diselenggarakan serta memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan undang-undang ini. Pemberian izin penyelenggaraan penyiaran berdasarkan minat, kepentingan dan kenyamanan publik. Izin dan perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh Negara setelah memperoleh:[14]
    1. Masukan dan hasil evaluasi dengar pendapat antara pemohon dan KPI;
    2. Rekomendasi kelayakan penyelenggaraan penyiaran dari KPI;
    3. Hasil kesepakatan dalam forum rapat bersama yang diadakan khusus untuk perizinan antara KPI dan Pemerintah; dan
    4. Izin alokasi dan penggunaan spektrum frekuensi radio oleh Pemerintah atas usul KPI. 
     
    Atas dasar hasil kesepakatan antara KPI dan Pemerintah, secara administratif izin penyelenggaraan penyiaran diberikan oleh Negara melalui KPI. Izin penyelenggaraan dan perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran wajib diterbitkan paling lambat 30 hari kerja setelah ada kesepakatan dari forum rapat bersama bersama yang diadakan khusus untuk perizinan antara KPI dan Pemerintah.[15]
     
    KPI juga berwenang untuk menetapkan pedoman perilaku penyiaran. Pedoman perilaku penyiaran disusun dan bersumber pada nilai-nilai agama, moral dan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan norma-norma lain yang berlaku dan diterima oleh masyarakat umum dan lembaga penyiaran. KPI wajib menerbitkan dan menyosialisasikan pedoman perilaku penyiaran kepada lembaga penyiaran dan masyarakat umum. Pedoman perilaku penyiaran menentukan standar isi siaran yang sekurang-kurangnya berkaitan dengan:[16]
    1. Rasa hormat terhadap pandangan keagamaan;
    2. Rasa hormat terhadap hal pribadi;
    3. Kesopanan dan kesusilaan;
    4. Pembatasan adegan seks, kekerasan, dan sadisme;
    5. Perlindungan terhadap anak-anak, remaja, dan perempuan;
    6. Penggolongan program dilakukan menurut usia khalayak;
    7. Penyiaran program dalam bahasa asing;
    8. Ketepatan dan kenetralan program berita;
    9. Siaran langsung; dan
    10. Siaran iklan.
     
    Sebagai tindak lanjut atas pedoman perilaku penyiaran, KPI juga wajib: [17]
    1. Mengawasi pelaksanaan pedoman perilaku penyiaran;
    2. Menerima aduan dari setiap orang atau kelompok yang mengetahui adanya pelanggaran terhadap pedoman perilaku penyiaran;
    3. Menindaklanjuti aduan resmi mengenai hal-hal yang bersifat mendasar;
    4. Meneruskan aduan kepada lembaga penyiaran yang bersangkutan dan memberikan kesempatan hak jawab; serta
    5. Menyampaikan secara tertulis hasil evaluasi dan penilaian kepada pihak yang mengajukan aduan dan lembaga penyiaran yang terkait.
     
    Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
             
    Dasar Hukum:
    1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran;
     
    Referensi:
    1. Kebijakan dan Keamanan, diakses pada 14 Agustus 2019, pukul 09.40;
    2. Kebijakan terkait konten ketelanjangan dan seksual, diakses pada 16 Agustus 2019, pukul 14.29 WIB.
    3. Melaporkan konten tidak pantas, diakses pada 16 Agustus 2019, pukul 14.32 WIB.

    [1] Pasal 6 ayat (1) UU 32/2002
    [2] Pasal 1 angka 2 UU 32/2002
    [3] Pasal 1 angka 1 UU 32/2002
    [4] Pasal 6 ayat (2), (3), dan (4) UU 32/2002
    [5] Pasal 7 UU 32/2002
    [6] Pasal 8 ayat (1) dan (2) UU 32/2002
    [7] Pasal 13 UU 32/2002
    [8] Pasal 1 angka 1 UU 19/2016
    [9] Pasal 45 ayat (1) UU 19/2016 jo. Pasal 27 ayat (1) UU ITE
    [10] Pasal 8 ayat (3) UU 32/2002
    [11] Pasal 14 ayat (10) UU 32/2002
    [12] Pasal 14 ayat (1) UU 32/2002
    [13] Pasal 18 ayat (3) UU 32/2002
    [14] Pasal 33 ayat (1), (2), (3) dan (4) UU 32/2002
    [15] Pasal 33 ayat (5) dan (6) UU 32/2002
    [16] Pasal 48 ayat (1), (2), (3), dan (4) UU 32/2002
    [17] Pasal 50 UU 32/2002

    Tags

    media
    hukumonline

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Catat! Ini 3 Aspek Hukum untuk Mendirikan Startup

    9 Mei 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!