Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Pembuktian Pemberian Kuasa Secara Lisan

Share
copy-paste Share Icon
Perdata

Pembuktian Pemberian Kuasa Secara Lisan

Pembuktian Pemberian Kuasa Secara Lisan
Bernadetha Aurelia Oktavira, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Pembuktian Pemberian Kuasa Secara Lisan

PERTANYAAN

Tahun 2017, ibu dan ayah menjadikan sertifikat rumah sebagai jaminan ke bank agar bisa meminjam uang di bank untuk keperluan modal usaha saat keduanya belum bercerai. Tahun 2021, saat keduanya telah bercerai, rumah tersebut akan disita oleh bank. Agar tidak disita, ibu saya menjual rumah tersebut. Dalam jual beli tersebut bank meminta anak dan mantan suami sebagai saksi. Secara lisan ayah menyetujui penjualan rumah tersebut dan menyerahkan kewenangan kepada anaknya (saya dan dua saudara saya). Dikarenakan saat penandatangan jual beli tersebut ayah tidak hadir (namun ayah mengetahui hari itu akan dilakukan penandatanganan), ketika dihubungi via telepon, beliau mengatakan menyerahkan kuasa lisan untuk menandatangani sepenuhnya kepada saya dan dua saudara saya. Oleh karena itu kami memberanikan diri untuk menandatangani atas nama bapak. Sekarang, ayah menuntut kami atas pemalsuan tanda tangan. Mohon arahan apa yang harus saya lakukan terkait hal ini. Sebagai informasi tambahan, sebelum jual beli rumah tersebut, telah dilakukan persidangan di kantor urusan agama terkait harta gono gini. Pengadilan menyatakan harta tersebut sepenuhnya milik ibu.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Perbuatan Anda atau saudara, yang menandatangani dokumen dengan tanda tangan sendiri atas nama ayah Anda, menurut hemat kami, tidak dapat dipandang sebagai pemalsuan tanda tangan.

    Dalam hukum perdata, perbuatan ayah Anda yang menyerahkan pembubuhan tanda tangan sebagai saksi dalam jual beli tanah dapat dianggap sebagai perjanjian pemberian kuasa. Meski kuasa yang diberikan adalah kuasa lisan, pemberian kuasa itu sah sepanjang memenuhi syarat sahnya perjanjian. Namun, karena kuasa diberikan secara lisan, bagaimanakah pembuktiannya?

     

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

     

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Sigar Aji Poerana, S.H dan pertama kali dipublikasikan pada Selasa, 12 Mei 2020.

    KLINIK TERKAIT

    Bisakah Kuasa Mencabut Laporan di Polisi Tanpa Izin Korban?

    Bisakah Kuasa Mencabut Laporan di Polisi Tanpa Izin Korban?

     

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Dalam menjawab pertanyaan yang diajukan, kami akan berfokus pada masalah keabsahan perbuatan Anda dan saudara dalam menandatangani dokumen mewakili ayah serta kuasa lisan yang diberikan.

     

    Perbuatan Pemalsuan Surat

    Perbuatan yang Anda terangkan diatur dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP yang mana ketentuannya menerangkan bahwa barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan utang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama 6 tahun.

    Lebih lanjut, terkait Pasal 263 KUHP, dalam buku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal (hal. 195 – 196) R. Soesilo menerangkan sejumlah hal:

    1. Surat adalah segala surat baik yang ditulis dengan tangan, dicetak, maupun ditulis memakai mesin tik dan lain-lainnya, termasuk kuitansi;
    2. Memalsukan surat diartikan sebagai mengubah surat sedemikian rupa, sehingga isinya menjadi lain dari isi yang asli atau sehingga surat itu menjadi lain dari yang asli. Caranya bermacam-macam, termasuk mengurangi, menambah, mengubah sesuatu dari surat itu, atau memalsu tanda tangan;
    3. Perbuatan memalsukan surat tersebut harus dengan maksud akan menggunakan atau menyuruh orang lain menggunakan surat itu seolah-olah asli dan tidak dipalsu;
    4. Penggunaan surat palsu itu harus mendatangkan kerugian, namun kerugian yang dimaksud tidak perlu sudah ada, sehingga baru kemungkinan saja akan adanya kerugian sudah cukup diartikan sebagai kerugian; dan
    5. Yang dihukum tidak hanya memalsukan surat, namun juga secara sengaja menggunakan surat palsu. “Sengaja” berarti orang yang menggunakan harus mengetahui benar bahwa surat yang ia gunakan adalah palsu.

     

    Pemalsuan Tanda Tangan

    Perihal pemalsuan tanda tangan, dalam Putusan MA No. 1619K/PID/2006, terdapat preseden di mana pemalsuan tanda tangan dapat dilakukan dengan meniru atau mencontoh dan membubuhkan tanda tangan sejumlah pejabat agar sebuah dokumen seolah-olah asli (hal. 8-9).

    Selain itu, dalam Putusan PN Bangil No. 260/PID.B/2014/PN.BIL, diterangkan pula bahwa pemalsuan surat juga dilakukan dengan, salah satunya, memindai tanda tangan dari surat yang telah terbit sebelumnya, lalu dicetak di surat baru (hal. 68-69).

    Berdasarkan keterangan Anda, Anda atau saudara kandung Anda yang menandatangani akta jual beli tersebut atas nama ayah Anda yang berperan sebagai salah satu saksi dalam akta. Dengan demikian, kami asumsikan berarti tanda tangan itu adalah tanda tangan Anda atau saudara kandung Anda sendiri, namun mengatasnamakan ayah Anda.

    Berdasarkan uraian di atas, sepanjang Anda atau saudara kandung Anda menandatangani dokumen tersebut dengan tanda tangan sendiri, namun atas nama ayah Anda, menurut hemat kami, perbuatan Anda tidak memenuhi unsur tindak pidana pemalsuan surat.

     

    Pemberian Kuasa Lisan

    Adapun terkait pemberian kuasa secara perdata, Pasal 1792 KUH Perdata mengatur ketentuan bahwa pemberian kuasa ialah suatu persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberikan kuasa.

    Patut diperhatikan bahwa pemberian kuasa adalah salah satu jenis persetujuan/perjanjian.

    Terkait hal ini, untuk sahnya pemberian kuasa itu juga harus memenuhi syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu:

    1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
    2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
    3. suatu pokok persoalan tertentu;
    4. suatu sebab yang tidak terlarang.

    Selanjutnya, Pasal 1793 KUH Perdata menerangkan ketentuan bahwa kuasa dapat diberikan dan diterima dengan suatu akta umum, dengan suatu surat di bawah tangan bahkan dengan sepucuk surat ataupun dengan lisan. Penerimaan suatu kuasa dapat pula terjadi secara diam-diam dan disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu oleh yang diberi kuasa.

    Dikarenakan tidak ada ketentuan yang mewajibkan pemberian kuasa untuk dilakukan secara tertulis, maka sekalipun ayah Anda memberikan kuasa lisan, pemberian kuasa tersebut tetap sah.

    Tentu dalam hal ini tetap perlu diperhatikan pemenuhan syarat sahnya perjanjian dalam pemberian kuasa. Berdasarkan uraian yang disampaikan, penandatanganan itu telah dilakukan oleh pihak yang berwenang, sepanjang ayah Anda memang memberikan kuasa secara lisan kepada Anda atau saudara kandung Anda untuk itu.

     

    Pembuktian Pemberian Kuasa Lisan

    Tentunya yang menjadi perhatian adalah bagaimana pembuktian pemberian kuasa lisan yang disampaikan ayah Anda. Dalam perkara perdata, pemberian kuasa lisan masih dapat dibuktikan melalui alat bukti lain.

    Adapun alat bukti (selain bukti tertulis) sebagaimana diterangkan dalam ketentuan Pasal 1866 KUH Perdata adalah melalui bukti saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah.

    Selain itu, alat bukti yang sah dalam perkara pidana menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah:

    1. keterangan saksi;
    2. keterangan ahli;
    3. surat;
    4. petunjuk;
    5. keterangan terdakwa.

    Sebelumnya, keterangan saksi hanya terbatas pada orang yang mendengar sendiri, melihat sendiri, dan mengalami sendiri, sehingga dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana.[1]

    Akan tetapi, setelah dikeluarkannya Putusan MK No. 65/PUU-VIII/2010 (hal. 92), pengertian saksi telah diperluas menjadi orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.

    Untuk membuktikan keabsahan pemberian kuasa dan/atau membuktikan tidak terpenuhinya unsur perbuatan tindak pidana pemalsuan tanda tangan, Anda dapat menggunakan alat bukti lain selain alat bukti tertulis, seperti keterangan saksi atau alat bukti lain yang sah bergantung pada perkara yang sedang Anda hadapi (perdata/pidana).

    Patut dipahami juga bahwa Pasal 1905 KUH Perdata menegaskan bahwa keterangan seorang saksi saja tanpa alat pembuktian lain, dalam pengadilan tidak boleh dipercaya. Selain itu, Pasal 185 ayat (2) KUHAP juga turut menyatakan bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.

    Dengan kata lain, keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk melakukan pembuktian, harus ada keterangan dari beberapa orang saksi dan/atau alat bukti lain untuk menjadi alat bukti yang sah.

     

    Demikian jawaban dari kami terkait permasalahan kuasa lisan dan pembuktiannya sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat.

     

    Dasar Hukum:

    1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
    2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
    3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

     

    Putusan:

    1. Putusan Mahkamah Agung Nomor 1619 K/PID/2006;
    2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010;
    3. Putusan Pengadilan Negeri Bangil Nomor 260/Pid.B/2014/PN Bil;
    4. Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta Nomor 44/PDT.G/2015/PN.YYK;

     

    Referensi:

    R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal. Bogor: Politeia, 1991.


    [1] Pasal 1 Angka 26 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

    Tags

    hukum pidana
    kuasa

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Pasal Penipuan Online untuk Menjerat Pelaku

    27 Des 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!