Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Ini Alasan Mengapa Ada Daluwarsa Penuntutan dalam Hukum Pidana

Share
copy-paste Share Icon
Pidana

Ini Alasan Mengapa Ada Daluwarsa Penuntutan dalam Hukum Pidana

Ini Alasan Mengapa Ada Daluwarsa Penuntutan dalam Hukum Pidana
Prof. Dr. Topo Santoso, S.H., M.H.Seleb Jurist
Seleb Jurist
Bacaan 10 Menit
Ini Alasan Mengapa Ada Daluwarsa Penuntutan dalam Hukum Pidana

PERTANYAAN

Mengapa dalam hukum pidana dikenal daluwarsa penuntutan? Jika pelaku baru ditemukan setelah masa daluwarsa berakhir, bagaimana hukum melindungi korban?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Daluwarsa penuntutan diatur dalam hukum pidana demi tercapainya kepastian hukum dalam proses penuntutan. Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan ingatan akan kejadian yang telah hilang karena sudah terjadi lama, termasuk semakin sulitnya menemukan alat bukti yang bahkan telah lenyap seiring berlalunya waktu.

    Jika pelaku baru ditemukan setelah masa daluwarsa berakhir, maka ia tidak dapat lagi dituntut ke hadapan pengadilan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan pidananya yang dilakukan pada masa lalu.

    Adapun korban tetap memperoleh perlindungan hukum sejak awal pelaporan polisi, sebagaimana adanya hak-hak korban yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana serta Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban dan perubahannya.

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

     

    Alasan Adanya Daluwarsa Penuntutan

    KLINIK TERKAIT

    WNA Bisa Punya KTP Elektronik, Ini Bedanya dengan Milik WNI

    WNA Bisa Punya KTP Elektronik, Ini Bedanya dengan Milik WNI

    Menjawab pokok pertanyaan Anda, daluwarsa penuntutan diatur dalam hukum pidana dengan dasar atau alasan-alasan sebagai berikut:

    1. Dengan berlalunya waktu yang agak lama, ingatan akan kejadian yang ada telah hilang, sehingga kemungkinan pembuktiannya menjadi rumit bahkan bukti kemungkinan telah lenyap.[1]
    2. Semakin kaburnya kebutuhan untuk terus menerus mengejar/menuntut tersangka karena telah terlalu lamanya berlalu kejadian/delik itu dan ingatan manusia terhadapnya juga semakin menipis.[2]
    3. Semakin sukarnya menemukan alat pembuktian terhadap delik.[3]

    Adapun ketentuan mengenai daluwarsa penuntutan diatur dalam Pasal 78 s.d Pasal 80 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) sebagai berikut:

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Pasal 78 KUHP

    1. Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa:
    1. terhadap semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan, sesudah satu tahun;
    2. terhadap kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun;
    3. terhadap kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, sesudah dua belas tahun;
    4. terhadap kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun.
    1. Bagi orang yang pada saat melakukan perbuatan umurnya belum delapan belas tahun, masing-masing tenggang daluwarsa di atas dikurangi menjadi sepertiga.

     

    Pasal 79 KUHP

    Tenggang daluwarsa mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan, kecuali dalam hal-hal berikut:

    1. terhadap pemalsuan atau perusakan mata uang, tenggang daluwarsa itu mulai berlaku pada hari sesudah barang yang dipalsukan atau mata uang yang dirusak digunakan;
    2. terhadap kejahatan dalam pasal 328, 329, 330, dan 333, tenggang daluwarsa itu dimulai pada hari sesudah orang yang langsung terkena oleh kejahatan dibebaskan atau meninggal dunia;
    3. terhadap pelanggaran dalam pasal 556 sampai dengaii pasal 558a, tenggang daluwarsa itu dimulai pada hari sesudah daftar-daftar yang memuat pelanggaran-pelanggaran itu dipindah ke kantor panitera suatu pengadilan, menurut aturan-aturan umum yang menentukan bahwa register-register catatan sipil harus dipindah ke kantor tersebut.

     

    Pasal 80 KUHP

      1. Setiap tindakan penuntutan menghentikan daluwarsa, asal tindakan itu diketahui oleh orang yang dituntut, atau telah diberitahukan kepadanya menurut cara yang ditentukan dalam aturan-aturan umum.
      2. Sesudah dihentikan, dimulai lagi tenggang daluwarsa yang baru.

     

    Jadi jika pelaku baru ditemukan setelah masa daluwarsa berakhir, maka ia memang tidak dapat lagi dituntut ke hadapan pengadilan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan pidananya yang dilakukan pada masa lalu. Hal ini tentu akan dirasakan adanya ketidakadilan bagi korban, namun tetap perlu diatur demi tercapainya kepastian hukum dalam proses penuntutan. Bagi tersangka sendiri, tidaklah mudah juga untuk menjalani hidup dan melarikan diri selama bertahun-tahun dengan perasaan takut tertangkap. Sehingga hal ini sudah dianggap sebagai hukuman dan penderitaan tersendiri bagi tersangka selama dalam masa pelariannya.

     

    Perlindungan Hukum Bagi Korban

    Namun di sisi lain, terhadap korban, negara tetap memberikan perlindungan hukum dengan mengatur adanya hak-hak korban, walaupun memang tidak banyak ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Namun setidaknya aturan yang menjadi dasar perlindungan hukum bagi korban antara lain terdapat dalam ketentuan sebagai berikut:

    1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”)
    1. Mengatur adanya hak korban untuk mengajukan keberatan dalam bentuk upaya hukum praperadilan terhadap tindakan penghentian penyidikan atau penuntutan.[4]
    2. Mengatur adanya hak keluarga korban untuk menolak dilakukannya otopsi atau penggalian kubur.[5]
    3. Hak untuk menuntut ganti kerugian atas terjadinya tindak pidana.[6]

    Namun hak-hak ini tentu gugur dengan sendirinya jika masa penuntutan terhadap tindak pidana tersebut telah daluwarsa sebagaimana diatur dalam Pasal 78 KUHP.

     

    1. Pasal 5 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (“UU 31/2014”) mengatur sebagai berikut:

    (1) Saksi dan Korban berhak:

    1. mendapat pendampingan.
    2. memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu Perlindungan berakhir; dan/atau
    3. mendapat nasihat hukum;
    4. memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
    5. mendapat tempat kediaman baru;
    6. mendapat tempat kediaman sementara;
    7. mendapat identitas baru;
    8. dirahasiakan identitasnya;
    9. mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan;
    10. mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;
    11. mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;
    12. bebas dari pertanyaan yang menjerat;
    13. mendapat penerjemah;
    14. memberikan keterangan tanpa tekanan;
    15. ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;
    16. memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, Keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;

    (2)  Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Saksi dan/atau Korban tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan Keputusan LPSK.

    Berdasarkan penjelasan Pasal 5 ayat (2) UU 31/2014, yang dimaksud dengan "tindak pidana dalam kasus tertentu" antara lain tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana terorisme, tindak pidana perdagangan orang, tindak pidana narkotika, tindak pidana psikotropika, tindak pidana seksual terhadap anak, dan tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi saksi dan/atau korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya.

    Menurut Arif Gosita, hak-hak korban yang dapat diberikan setidaknya mencakup:[7]

    1. Korban berhak mendapatkan kompensasi atas penderitaannya sesuai dengan kemampuan memberi kompensasi si pembuat korban dan taraf keterlibatan/partisipasi/peranan si korban dalam terjadinya kejahatan, dengan linkuensi dan penyimpangan tersebut.
    2. Berhak menolak kompensasi untuk kepentingan pembuat korban (tidak mau diberi kompensasi karena tidak memerlukannya).
    3. Berhak mendapat kompensasi untuk ahli warisnya bila si korban meninggal dunia karena tindakan tersebut.
    4. Berhak mendapat pembinaan dan rehabilitasi.
    5. Berhak mendapat kembali hak miliknya.
    6. Berhak mendapatkan perlindungan dari ancaman pihak pembuat korban bila melapor dan menjadi saksi.
    7. Berhak mendapatkan bantuan penasihat hukum.
    8. Berhak mempergunakan upaya hukum (recht middelen).

    Selanjutnya menurut J.E Sahetapy, hak-hak korban juga meliputi hal-hal sebagai berikut:[8]

    1. mendapat pelayanan (bantuan, restitusi, kompensasi).
    2. menolak pelayanan untuk ahli warisnya.
    3. mendapat kembali hak miliknya.
    4. menolak menjadi saksi apabila tidak ada perlindungan terhadap dirinya.
    5. mendapat perlindungan terhadap ancaman pihak pelaku apabila pelapor menjadi saksi.
    6. mendapat informasi mengenai permasalahan yang dihadapinya.
    7. dapat melangsungkan pekerjaannya.
    8. mendapat pelayanan yang layak sewaktu sebelum persidangan, selama persidangan, dan setelah persidangan.
    9. mendapat bantuan penasihat hukum.
    10. menggunakan upaya hukum.

    Sehingga demi tercapainya keadilan sekaligus kepastian hukum, sangat penting bagi korban untuk mengetahui adanya masa daluwarsa penuntutan sambil tetap mempertahankan dipenuhinya hak-haknya sebagai korban.

     

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     

    Dasar Hukum:

    1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
    2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
    3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

     

    Referensi:

    1. EY Kanter dan SR Sianturi. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta: Storia Grafika, 2002;
    2. Leden Marpaung. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika, 2008;
    3. Lilik Mulyadi. Upaya Hukum yang Dilakukan Korban Kejahatan Dikaji dari Perspektif Sistem Peradilan Pidana dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, yang diakses pada 30 Agustus 2021 pukul 14.00 WIB.

    [1] Leden Marpaung. Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hal. 102

    [2] EY Kanter dan SR Sianturi. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta: Storia Grafika, 2002, hal. 437

    [3] EY Kanter dan SR Sianturi. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Jakarta: Storia Grafika, 2002, hal. 437

    [4] Pasal 109 ayat (2) jo. Pasal 140 ayat (2) KUHAP

    [5] Pasal 134 s.d Pasal 136 KUHAP

    [6] Pasal 98 s.d Pasal 101 KUHAP

    [7] Lilik Mulyadi. Upaya Hukum yang Dilakukan Korban Kejahatan Dikaji dari Perspektif Sistem Peradilan Pidana dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, hal. 7, yang mengutip dari Arif Gosita dalam buku yang berjudul Masalah Perlindungan Anak (Kumpulan Karangan). Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, 2004, hal. 97

    [8] Lilik Mulyadi. Upaya Hukum yang Dilakukan Korban Kejahatan Dikaji dari Perspektif Sistem Peradilan Pidana dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, hal 7-8, yang mengutip dari J.E. Sahetapy dalam buku yang berjudul Victimologi Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987, hal. 189

    Tags

    pidana

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Tips Agar Terhindar dari Jebakan Saham Gorengan

    15 Agu 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!