Baru-baru ini, saya melihat sebuah iklan yang menawarkan jasa bully di media sosial, yang katanya akan dilakukan oleh buzzer profesional dengan menyerang psikis targetnya. Saya ingin bertanya, sebenarnya bagaimana buzzer menurut hukum? Lalu, bisakah si penyedia jasa dan buzzer ini dipidana karena mem-bully di media sosial?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Buzzer adalah orang yang memanfaatkan akun media sosial miliknya guna menyebarluaskan informasi, atau dengan kata lain, melakukan promosi, baik iklan dari suatu produk maupun jasa pada perusahaan tertentu.
Umumnya, buzzer memakai akun palsu untuk melancarkan aksinya di media sosial. Oleh karena itu, baik setiap orang termasuk buzzeryang menggunakan ruang media sosial di internet tetap tunduk pada UU ITE. Lalu, apa jerat hukumnya bagi buzzeryang melakukan cyberbullyingdi media sosial?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Buzzer Bisa Dijerat UU ITE, Ini Penjelasannya yang dibuat oleh Erizka Permatasari, S.H. dan dipublikasikan pada 29 Oktober 2021.
Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Buzzer
Cambridge Academic Content Dictionary mendefinisikan buzzer sebagai “an electronic device that makes a buzzing sound”. Jika diterjemahkan secara bebas, buzzer dapat diartikan sebagai perangkat elektronik yang mengeluarkan suara mendengung.
Adapun dalam konteks media sosial, buzzer adalah orang yang memanfaatkan akun media sosial miliknya guna menyebarluaskan informasi, atau dengan kata lain, melakukan promosi, baik iklan dari suatu produk maupun jasa pada perusahaan tertentu, demikian yang diterangkan oleh Dista Davilla L dalam artikel “Pengaruh Buzzer dalam Pilpres 2019” yang dimuat dalam buku Media Kiblat Baru Politik Indonesia (hal. 31).
Rieka Yulita Widaswara, dkk dalam artikel “Tantangan Pers di Era Digital” yang dimuat dalam buku Book Series Jurnalisme Kontemporer:Etika dan Bisnis dalam Jurnalisme (hal. 196) menerangkan, pada umumnya, buzzermemiliki akun media sosial palsu yang bertujuan untuk membantu kegiatan kampanye.
Melalui akun tersebut, buzzer mempromosikan suatu produk atau isu tertentu ke publik dengan tujuan agar followers (pengikut) terpengaruh, atau setidaknya mengetahui informasi tertentu. Biasanya, buzzer akan mempublikasikan konten yang mirip selama periode tertentu sesuai dengan kesepakatan dengan pihak pengguna jasanya (hal. 196).
Buzzer Bisa Dijerat UU ITE
Kemudian, menjawab pertanyaan Anda, bagaimana hukum memandang profesi buzzer ini?
Meskipun tidak ada peraturan yang melarang secara tegas keberadaan buzzer, menurut hemat kami, setiap perbuatan buzzer yang dilakukan melalui internet atau media sosial tunduk pada ketentuan dalam UU ITEdan perubahannya.
Berikut ini beberapa tindakan buzzer yang berpotensi melanggar hukum, jika melakukan di antaranya:
Menyebarkan konten bermuatan melanggar kesusilaan
Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyiarkan, mempertunjukan, mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan untuk diketahui umum dipidana penjara maksimal 6 tahun dan/atau denda maksimal Rp1 miliar.[1]
Menyebarkan konten bermuatan penghinaan/pencemaran nama baik
Setiap orang yang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilakukan melalui sistem elektronik dipidana penjara maksimal 2 tahun dan/atau denda maksimal Rp400 juta.[2]
Menyebarkan informasi yang menimbulkan permusuhan individu/kelompok berdasarkan SARA
Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang sifatnya menghasut, mengajak, atau memengaruhi orang lain sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik.[3] Jika dilanggar, yang bersangkutan berpotensi dipidana penjara maksimal 6 tahun dan/atau denda maksimal Rp1 miliar.[4]
Mengirimkan informasi berisi ancaman kekerasan dan/atau menakut-nakuti
Setiap orang, termasuk buzzer, dengan sengaja dan tanpa hak dilarang mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik secara langsung kepada korban yang berisi ancaman kekerasan dan/atau menakut-nakuti.[5] Jika dilanggar, pelaku dipidana penjara maksimal 4 tahun dan/atau denda maksimal Rp750 juta.[6]
Menyebarkan berita bohong atau menyesatkan yang mengakibatkan kerugian materiel bagi konsumen
Setiap orang, termasuk buzzer,dilarang dengan sengaja mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang berisi pemberitahuan bohong atau informasi menyesatkan yang mengakibatkan kerugian materiel bagi konsumen dalam transaksi elektronik.[7] Jika dilanggar, pelaku diancam pidana penjara maksimal 6 tahun dan/atau denda maksimal Rp1 miliar.[8]
Menyebarkan informasi pribadi pihak lain tanpa izin
Pada dasarnya, penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan.[9]
Sehingga, buzzer tidak dibenarkan menggunakan informasi yang menyangkut data pribadi orang lain tanpa izin orang tersebut. Jika terjadi penggunaan data pribadi seseorang tanpa izin, orang yang dilanggar haknya itu dapat mengajukan gugatan atas kerugian yang ditimbulkan.[10]
Menyebarkan berita bohong (hoaks) yang membuat onar
Buzzer yang menyebarkan berita bohong (hoaks) yang menerbitkan keonaran di kalangan rakyat dapat dijerat Pasal 14 ayat (1) UU 1/1946dengan ancaman pidana penjara maksimal 10 tahun.
Menyiarkan kabar tidak pasti, berlebihan, atau tidak lengkap
Kemudian bila buzzermenyiarkan kabar yang tidak pasti, berlebihan, atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti, setidak-tidaknya patut dapat menduga bahwa kabar demikian akan atau sudah dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dapat dipidana penjara maksimal 2 tahun.[11]
Membuat akun palsu (fake account)
Selain itu, buzzer umumnya membuat dan memakai banyak akun palsu (fake account), serta menggunakan foto orang lain sebagai foto profil pada akun palsu tersebut.
Pembuatan akun palsu berpotensi dijerat Pasal 35 jo. Pasal 51 ayat (1) UU ITE yang melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak memanipulasi informasi dan/atau dokumen elektronik dengan tujuan agar dianggap seolah-olah data otentik, diancam pidana penjara maksimal 12 tahun dan/atau denda maksimal Rp12 miliar.
Jerat Hukum Buzzer yang Mem-bully di Sosmed
Selanjutnya menjawab pertanyaan Anda, apa jerat hukum bagi buzzer dan penyedia jasa buzzer yang mem-bully target yang diminta oleh klien di media sosial? Pada dasarnya, perbuatan bullying (perundungan) di dunia internet dapat dikategorikan sebagai cyberbullying.
Disarikan dari Jerat Hukum Pelaku Cyberbullying, cyberbullying merupakan bentuk intimidasi yang menggunakan teknologi informasi dan komunikasi untuk keperluan yang disengaja, dilakukan terus-menerus, dengan tujuan untuk merugikan orang lain dengan cara mengintimidasi, mengancam, menyakiti atau menghina harga diri orang lain, hingga menimbulkan permusuhan oleh seorang individu atau kelompok.
Cyberbullying ini menimbulkan dampak yang signifikan bagi korban. Ditinjau dari perspektif psikologi, Wirdatul Anisa, seorang psikolog menerangkan, orang yang mengalami cyberbullying akan merasa gelisah, takut, tidak berdaya, malu, marah, serta mengembangkan pikiran negatif tentang diri sendiri atau lingkungan di sekitarnya, sehingga korban menarik diri dari lingkungan sosialnya.
Kondisi tertekan yang dialami akibat perundungan tersebut juga dapat menyebabkan hilangnya nafsu makan, menurunnya kualitas tidur, serta gejala sakit fisik. Hal tersebut juga berdampak ke produktivitas dan pemenuhan peran sehari-hari, prestasi akademik atau performa kerja menurun, serta korban tidak dapat menjalankan fungsi sehari-harinya dengan baik. Selain itu, cyberbullying juga dapat mendorong korban untuk melukai diri, bahkan berusaha bunuh diri.
Dari perspektif hukum sendiri, cyberbullying dipidana sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan. Misalnya bila melakukan penghinaan/pencemaran nama baik, maka dapat berlaku Pasal 27A jo. Pasal 45 ayat (4) UU 1/2024 sebagaimana telah kami sebutkan di atas.
Di sisi lain baik para buzzer, penyedia jasa buzzer, serta klien yang memerintahkan cyberbullying, menurut Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPatau Pasal 20 UU 1/2023yang menyatakan bahwa baik orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan dipidana sebagai pelaku tindak pidana, maka buzzer, penyedia jasa buzzer, dan klien yang memerintahkan cyberbullying dipidana sebagai pelaku tindak pidana.
Media Kiblat Baru Politik Indonesia. Malang: Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang bekerjasama dengan Inteligensia Media (Intrans Publishing Group), 2020;
Book Series Jurnalisme Kontemporer:Etika dan Bisnis dalam Jurnalisme. Aceh: Syiah Kuala University Press, 2021;