Apa perbedaan pra rekonstruksi dan rekonstruksi dalam sebuah tindak pidana pembunuhan? Dan apa perlu metode konfrontasi dalam sebuah kasus pembunuhan tanpa saksi mata?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Baik rekonstruksi maupun konfrontasi merupakan teknik dalam metode pemeriksaan yang dilaksanakan penyidik dalam proses penyidikan.
Rekonstruksi dilakukan dengan memperagakan kembali cara tersangka melakukan tindak pidana atau pengetahuan saksi. Sedangkan pra rekonstruksi dilakukan sebelum konstruksi, dan sifatnya tertutup serta dilakukan di tempat pemeriksaan.
Baik rekonstruksi dan konfrontasi tidak wajib dilakukan oleh penyidik dalam pemeriksaan, dan pelaksanaannya dikembalikan kepada kewenangan penyidik yang memeriksa perkara a quo.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Pra Rekonstruksi dan Rekonstruksi Tindak Pidana
Sepanjang penelusuran kami, istilah pra rekonstruksi tidak ditemukan di dalam peraturan perundang-undangan. Adapun rekonstruksi, sebagaimana yang dijelaskan dalam Dasar Hukum Pelaksanaan Rekonstruksi oleh Penyidik, dasar hukumnya dalam suatu tindak pidana hanya diatur dalam SK Kapolri 1205/2000. Dalam Bab III angka 8.3.dSK Kapolri 1205/2000 diatur bahwa bahwa:
Berdasarkan ketentuan di atas, rekonstruksi merupakan salah satu teknik dalam metode pemeriksaan yang dilaksanakan penyidik dalam proses penyidikan.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Selain itu rekonstruksi juga diatur dalam Pasal 24 ayat (3) Perkap 6/2019yang secara lengkap menyatakan:
Dalam hal menguji persesuaian keterangan para saksi atau tersangka, Penyidik/Penyidik Pembantu dapat melakukan rekonstruksi.
Dengan demikian menjawab pertanyaan Anda maka rekonstruksi dalam tindak pidana pembunuhan bertujuan untuk menguji keterangan para saksi atau tersangka. Adanya kata “dapat” menunjukkan bahwa tidak menjadi kewajiban penyidik untuk melakukan rekonstruksi. Hal ini tergantung kerumitan kasus yang ditangani oleh penyidik.
Lebih jelasnya, Merry Chrystin Silaen dalam artikel Eksistensi Rekonstruksi dalam Pembuktian Perkara Pidana menjelaskan bahwa rekonstruksi adalah salah satu teknik pemeriksaan dalam rangka penyidikan, dengan jalan memperagakan kembali cara tersangka melakukan tindak pidana atau pengetahuan saksi, dengan tujuan untuk mendapat gambaran yang jelas tentang terjadinya tindak pidana tersebut dan untuk menguji kebenaran keterangan atau saksi sehingga dengan demikian dapat diketahui benar tidaknya tersangka tersebut sebagai pelaku (hal. 200).
Kemudian, sebagai gambaran tentang pra rekonstruksi, Juda Trisno Tampubolon dalam artikel Pengaturan Rekonstruksi Sebagai Alat Bukti dalam Proses Penyidikan (Studi di Wilayah Hukum Polresta Pontianak) menerangkan, sebelum dilangsungkannya rekonstruksi perkara pidana yang dihadiri oleh jaksa penuntut umum serta penasihat hukum dari tersangka pihak penyidik telah melakukan pra rekonstruksi yangsifatnya tertutup dan dilakukan di tempat pemeriksaan pada saat tersangka maupun saksi memberikan keterangannya (hal. 12).
Konfrontasi dalam Penyidikan
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, Bab III angka 8.3.dSK Kapolri 1205/2000 juga menyatakan konfrontasi juga merupakan salah satu teknik yang digunakan penyidik dalam melakukan pemeriksaan. Ketentuan mengenai konfrontasi dalam penyidikan juga diatur dalam Pasal 24 ayat (1) dan (2) Perkap 6/2019 yang mengatur bahwa:
Untuk kepentingan pembuktian dapat dilakukan pemeriksaan konfrontasi dengan mempertemukan saksi dengan saksi atau saksi dengan tersangka.
Berdasarkan ketentuan pasal di atas, maka konfrontasi dapat dilakukan antara saksi dengan saksi, atau saksi dengan tersangka.
Adanya kata “dapat” dalam pasal di atas menunjukkan konfrontasi tidak wajib dilakukan oleh penyidik. Hal ini disebabkan ketentuan tersebut bersifat fakultatif. Sepanjang menurut penyidik diperlukan untuk kepentingan pembuktian maka dilaksanakan konfrontasi.
Menjawab pertanyaan Anda, apakah dalam suatu tindak pidana pembunuhan tanpa saksi mata harus dilakukan konfrontasi maka kembali merujuk pada dasar hukum dan penjelasan di atas, hal tersebut dikembalikan kepada kewenangan penyidik yang memeriksa perkara a quo apakah kepentingan pemeriksaan telah tercapai dan perlu melakukan konfrontasi atau tidak.
Surat Keputusan Kepala Kepolisian Republik Indonesia No. Pol. Skep/1205/2000 tentang Revisi Himpunan Juklak dan Juknis Proses Penyidikan Tindak Pidana.
Referensi:
Juda Trisno Tampubolon, Pengaturan Rekonstruksi Sebagai Alat Bukti dalam Proses Penyidikan (Studi di Wilayah Hukum Polresta Pontianak), Jurnal Nestor Magister Hukum, Vo. 4 No. 4. 2015;
Merry Chrystin Silaen, Eksistensi Rekonstruksi dalam Pembuktian Perkara Pidana, e-Jurnal Katalogis, Volume 3 Nomor 10, Oktober 2015.