Genap seminggu sudah Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak putusan ini diucapkan”.
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro yang juga Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kemenkumham, Prof. Benny Riyanto menyebutkan frasa “tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat” memiliki makna yang sama dengan inkonstitusional bersyarat sebagaimana yang telah ramai dikenal oleh publik.
Sejak putusan yang diwarnai dengan perbedaan pendapat antara para hakim MK ini, timbul banyak pertanyaan di khalayak publik mengenai sejumlah hal. Mulai dari tafsir yang tepat terhadap putusan, terutama amar putusan nomor 7 yang menangguhkan segala tindakan/kebijakan pemerintah yang bersifat strategis dan berdampak luas terkait penerapan undang-undang ini, hingga mekanisme perbaikan yang harus ditempuh oleh para pembuat Undang-Undang.
Hal lain yang juga menjadi pertanyaan akibat amar putusan nomor 7 ini adalah terkait kepastian hukum implementasi dari 47 Peraturan Pemerintah (PP) dan empat Peraturan Presiden (Perpres) yang telah diterbitkan sebagai peraturan pelaksana UU Cipta Kerja. Sebagaimana diketahui, seluruh peraturan pelaksana dari UU Cipta kerja dibuat dalam rangka implementasi dan percepatan gerak perekonomian dalam negeri.