Kalau ingin melihat dinamika politik hukum dalam penerapan sanksi pidana, terutama terhadap wajib pajak, barangkali kebijakan sandera badan yang sangat pas. Pengaturannya beberapa kali berubah, dan studi akademik menyimpulkan sandera badan tidak otomatis membangun budaya hukum sadar pajak. Kebutuhan dan pandangan hukum pada saat itu turut menciptakan dinamika politik hukum sandera badan.
Lembaga sandera badan, atau lazim juga disebut paksa badan, sudah lama dikenal dalam hukum Indonesia. Sudah diatur sejak era Hindia Belanda, dan tetap dipertahankan ketika terjadi penyederhanaan hukum pajak melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Pasal 20A ayat (8) menyatakan bahwa klaim pajak merupakan dasar penagihan pajak yang dilakukan dengan surat paksa sesuai perundang-undangan di bidang perpajakan yang berlaku mutatis mutandis dengan ketentuan penagihan pajak yang berlaku di negara mitra atau yurisdiksi mitra. Penjelasan pasal ini menyinggung ihwal penyanderaan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 209 ayat (HIR) dan Pasal 242 ayat (1) RBg menyebutkan jika tidak ada atau tidak cukup barang untuk memenuhi putusan, maka atas permintaan pihak yang menang perkara, entah permintaan lisan atau permintaan tertulis, ketua akan memberikan perintah tertulis kepada pihak berwenang untuk menjalankan surat sita, supaya debitor itu disandera.
Lembaga sandera badan sebenarnya tidak hanya diatur dalam bidang perpajakan dan penagihan piutang negara, tetapi juga kepailitan. Terkait yang disebutkan terakhir, biasanya merujuk pada Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. (Baca juga: Mekanisme dan Dalil Penyanderaan Debitor Nakal dalam Kepailitan).