5 Catatan Perludem Terhadap Putusan PHPU Pilpres 2024
Terbaru

5 Catatan Perludem Terhadap Putusan PHPU Pilpres 2024

Putusan MK walau menolak permohonan seluruhnya tapi dalam pertimbangan hukum dan pendapat berbeda memberikan rekomendasi perbaikan penyelenggaraan pemilu.

Ady Thea DA
Bacaan 4 Menit
 Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati. Foto: Tangkapan layar zoom
Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati. Foto: Tangkapan layar zoom

Proses penyelesaian perselisihan hasil pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden (PHPU Pilpres) tahun 2024 telah usai setelah Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan putusan perkara No.1/PHPU.PRES-XXII/2024 dan No.2/PHPU.PRES-XXII/2024, Senin (22/04/2024) lalu. Perkara yang dimohonkan Anies Rasyid Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Moch Mahfud MD itu kandas. Tak ada satu pun dalil para pemohon yang dikabulkan Mahkamah.

Direktur Eksekutif Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati mencatat sedikitnya 5 hal yang perlu dicermati dalam putusan MK tersebut. Pertama, amar putusan PHPU Pilpres tahun 2024 sejak awal sudah diprediksi sejumlah pakar. Intinya, MK tidak akan menerbitkan putusan yang relatif ekstrem. Putusan bisa diprediksi karena dalam perkara PHPU Pilpres, Mahkamah cenderung mengaitkan apa  yang didalilkan dengan perolehan suara pihak pemohon dan pihak terkait apakah signifikan atau tidak.

“Apakah terjadi pelanggaran yang sifatnya terstruktur, sistematis, dan masif (TSM)? MK biasanya begitu melihat PHPU Pilpres,” ujarnya dalam diskusi bertema bedah Putusan MK:Perselisihan Hasil Pemilu Presiden, Selasa (23/4/2024).

Sejak awal MK menangani PHPU Pilpres sampai saat ini belum pernah ada putusan yang mendiskualifikasi pasangan calon. Berbeda dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada) dimana MK beberapa kali mendiskualifikasi calon. Salah satu hal yang membedakan antara PHPU Pilpres dan Pilkada yakni cakupan penyelenggaraan kegiatan, di mana Pilpres dilakukan secara nasional tapi Pilkada hanya di daerah yang bersangkutan.

Baca juga:

Kedua, PHPU Pilpres kali kelima yang ditangani MK ini menurut perempuan biasa disapa Ninis itu, mengukir sejarah, karena putusan tak bulat mengingat ada 3 hakim konstitusi menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion). Artinya dari 8 hakim konstitusi yang memutus, 5 menolak perkara dan 3 pendapat berbeda. Komposisi sikap majelis konstitusi yang memutus perkara itu signifikan, andai ada 1 hakim yang sikapnya bergeser apalagi Ketua, putusan MK hasilnya akan berbeda.

Ketiga, kontradiksi dalam putusan. Ninis melihat hakim MK menilai semua dalil pemohon tidak cukup meyakinkan sehingga dianggap tidak beralasan menurut hukum. Tapi dalam bagian lain di pertimbangan putusan disebut MK hanya punya waktu 14 hari kerja untuk memeriksa perkara. Dengan begitu, proses pemeriksaan dibatasi misalnya mendengarkan keterangan saksi dan ahli hanya satu hari. Intinya jangka waktu 14 hari kerja itu tidak cukup untuk membuktikan dalil kecurangan pemilu yang bersifat TSM.

Tags:

Berita Terkait