Akademisi Hukum Dukung KPK Abaikan Panitia Angket
Berita

Akademisi Hukum Dukung KPK Abaikan Panitia Angket

Pembentukan Panitia Angket DPR dianggap menyalahi ketentuan perundang-undangan.

Oleh:
NORMAN EDWIN ELNIZAR
Bacaan 2 Menit
Gerakan Indonesia waras tolak hak angket. Foto: RES
Gerakan Indonesia waras tolak hak angket. Foto: RES
Sejumlah akademisi fakultas hukum yang tergabung dalam Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APTHN-HAN) menilai proses hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuju ke arah inkonstitusional. Sebab, DPR merasa berhak melakukan penyelidikan terhadap KPK beserta seluruh proses hukum yang tengah dikerjakan KPK. APTHTN-HAN menilai ada cacat objek dan cacat subjek yang diselidiki DPR terhadap KPK. Asosiasi para pengajar menyarankan KPK tidak mengikuti kehendak Panitia Angket.

Sikap akademik ini disampaikan dalam diskusi APTHTN-HAN bersama FH UNIKA Atma Jaya Rabu (14/6) sore. “KPK datang saja (penuhi panggilan), cuma kalau diminta dokumen yang terkait penegakan hukum, nggak boleh,” kata Bivitri Susanti, Ketua APT HTN-HAN Wilayah Jakarta.

Dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera ini berpendapat dalam rangka menghormati DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat, KPK tetap perlu datang memenuhi undangan hadir di DPR. Namun ia mengingatkan apapun yang diperintahkan oleh Panitia Angket tidak memiliki implikasi hukum jika tidak dijalankan. Apalagi Panitia Angket yang dibentuk pun cacat hukum. Sebagai contoh, rekomendasi Panitia Angket Pelindo II agar Presiden memecat Menteri BUMN Rini Sumarno. Terbukti, hingga kini rekomendasi itu diabaikan.

Berdasarkan Undang-Undang No. 17 Tahun 2014  tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (UU MD3), ada prosedur yang harus dipenuhi agar Panitia Angket bisa terbentuk. Usulan hak angket harus disetujui dan disahkan dalam rapat paripurna DPR.

Kenyataannya, meskipun usulan hak angket seolah telah disetujui dan disahkan dalam rapat paripurna  DPR, ternyata kuorum  pengambilan keputusan dari jumlah anggota DPR yang hadir tidak terpenuhi. DPR sendiri berpendapat bahwa pembentukan Panitia Angket adalah bentuk pengawasan terhadap KPK. (Baca juga: DPR: Penggunaan Hak Angket Bentuk Pengawasan).

Berdasarkan pasal 199 ayat (3) UU MD3, untuk dapat disahkannya hak angket, ada syarat kuorum kehadiran dan kuorum pengambilan keputusan yang harus terpenuhi. Anggota DPR yang hadir harus paling sedikit sejumlah 1/2 dari jumlah keseluruhan, dalam hal ini paling sedikit 280+n orang (dari 560) anggota. Setelah itu, untuk pengesahannya masih harus melalui kuorum pengambilan keputusan dengan voting dimana dari kuorum 280 anggota yang telah hadir, harus disetujui lebih dari 1/2 atau 140+n. Setelah itu barulah Panitia Angket dapat dibentuk dengan harus terdiri dari perwakilan seluruh fraksi di DPR yan diatur pasal 201 ayat (2) UU MD3.

Faktanya, pada tahapan kuorum voting pengesahan tidak dipenuhi dalam Rapat Paripurna DPR. Jumlah yang setuju atas hak angket tidak mencapai lebih dari 140 anggota. Setelah itupun tidak seluruh fraksi mengirimkan perwakilan karena ada beberapa fraksi yang tidak setuju dengan hak angket. “Nalar kita kayak diacak-acak ya, DPR undang-undangnya dibikin sendiri, dilanggar sendiri, tatib (tata tertib) dibikin sendiri dilanggar sendiri,” tegas Bivitri yang juga peneliti senior di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK).

Terlebih lagi, Bivitri mempermasalahkan status pimpinan DPR yang mengetuk palu rapat paripurna saat itu, Fahri Hamzah. Politisi yang oleh PKS sudah tak diakui sebagai anggota partainya. (Baca juga: KPK Minta Masukan Ahli Terkait Pansus Hak Angket).

Dalam kaitan mengenai objek yang diselidiki, berdasarkan Pasal 79 ayat (3) UU MD3 disebutkan bahwa objek yang dapat diselidiki oleh DPR yaitu dugaan pelanggaran atas pelaksanaan undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah dengan syarat kumulatif memenuhi tiga kondisi: penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

APTHTN-HAN bersama dengan Pusat Studi Konstitusi (Pusako) berpendapat tidak ada penjelasan signifikan akan hal penting, strategis, dan berdampak luas apa yang tengah diperjuangkan DPR. Secara tegas kedua lembaga ini menilai hak angket ini lebih merupakan upaya intervensi kepentingan partai politik yang anggotanya terlibat perkara KTP Elektronik yang sedang ditangani KPK.

Mengenai subjek yang diselidiki, masih dalam Pasal 79 ayat (3) UU MD3, subjek yang bisa diselidiki adalah tindakan Pemerintah. Tafsirannya yang paling relevan adalah tindakan Presiden dan bawahannya dalam menjalankan undang-undang dan/atau kebijakan. DPR salah memahami konsep kata “alternatif-kumulatif” dalam rumusan peraturan perundang-undangan.  Meskipun KPK juga melaksanakan undang-undang, KPK adalah lembaga negara independen yang tidak berada di bawah komando Presiden sehingga bukan bawahan dari Presiden.

Jika DPR memaksa menafsirkan bahwa KPK juga subjek yang dimaksud pasal tersebut, tentu Kekuasaan Kehakiman mulai dari MK, MA beserta peradilan di bawahnya juga dapat dipanggil untuk diselidiki DPR. Padahal lembaga kekuasaan kehakiman memiliki kemerdekaan dalam menjalankan fungsinya berdasarkan undang-undang.

Daniel Yusmic, dosen di Fakultas Hukum Unika Atma Jaya Jakarta juga menegaskan hak angket sebenarnya difokuskan kepada Presiden. Hhak angket, tegasnya, bahkan memiliki pembatasan lebih spesifik untuk diajukan kepada Presiden dalam rangka upaya pemakzulan. Jadi, menurut dia, apa yang dilakukan DPR saat ini adalah sebuah kesewenang-wenangan penggunaan hak konstitusionalnya yang tidak pada tempatnya.
Tags:

Berita Terkait