Mengingatkan Kembali Batasan Hak Imunitas Advokat dalam Putusan MK
Terbaru

Mengingatkan Kembali Batasan Hak Imunitas Advokat dalam Putusan MK

Hak imunitas advokat berlaku selama dengan iktikad baik, tidak melanggar Kode Etik Advokat Indonesia, dan tidak melanggar peraturan perundang-undangan saat menjalankan tugas profesi di dalam maupun luar sidang persidangan.

Agus Sahbani
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi advokat: BAS
Ilustrasi advokat: BAS

Dalam sejumlah penanganan kasus hukum, tak jarang profesi advokat ikut terseret dalam pusaran kasus pidana baik pidana umum sebagai diatur Pasal 211-233 KUHP maupun pidana khusus (korupsi) saat membela kepentingan kliennya. Sebagian dari mereka ada yang berlindung di balik hak imunitas advokat sebagaimana diatur Pasal 16 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat.     

Misalnya, pada awal 2018 lalu, kasus Advokat Fredrich Yunadi, mantan penasihat hukum Setya Novanto, pernah dijadikan tersangka/terdakwa, karena dianggap menghalangi proses penyidikan (obstruction of justice) mantan kliennya itu dalam kasus korupsi proyek KTP elektronik (e-KTP).

Fredrich menganggap apa yang dilakukan KPK bentuk krimininalisasi terhadap profesi advokat. Alasannya merujuk pada Pasal 16 UU Advokat dan Putusan MK Nomor 26/PUU-XI/2013 yang menyatakan Pasal 16 UU Advokat inkonstitusional bersyarat. Sebelumnya, Pasal 16 UU Advokat menyebutkan “Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan.” 

Namun, pasca terbitnya putusan MK tersebut, perlindungan atau hak imunitas advokat saat menjalankan tugas profesinya diperluas hingga di luar sidang pengadilan. Artinya, advokat tidak bisa dituntut secara pidana atau perdata dalam rangka kepentingan pembelaan klien baik di dalam maupun di luar persidangan. (Baca Juga: Akhirnya, Advokat Dapat Perlindungan di Luar Sidang)  

“Pasal 16 UU Advokat bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, ‘advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan klien di dalam maupun di luar sidang pengadilan’,” ujar Ketua Majelis MK, Hamdan Zoelva saat membacakan putusan bernomor 26/PUU-XI/2013, Rabu (14/5/2014) silam.

Kasus Fredrich sebenarnya bukan kasus pertama yang menjerat advokat dengan sangkaan/dakwaan “setiap orang menghalang-halangi proses penyidikan, penuntutan, sidang pengadilan dalam perkara korupsi” sebagaimana diatur Pasal 21 UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebelumnya, pada 2010 silam, Advokat bernama Manatap Ambarita pernah diganjar hukuman 3 tahun penjara dan denda Rp150 juta hingga tingkat kasasi di MA. (Baca Juga: Sembunyikan Klien, Advokat Dihukum Tiga Tahun)

Selain itu, Advokat Lucas pernah dijerat Pasal 21 UU Pemberantasan Korupsi saat menangani kasus korupsi dengan tersangka/terdakwa Eddy Sindoro yang menyuap Panitera PN Jakarta Pusat. Hingga putusan kasasi di MA, Lucas mendapat “korting” hukuman menjadi 3 tahun penjara. Sebelumnya putusan pengadilan tingkat pertama dan banding, Lucas diganjar hukuman 7 tahun dan 5 tahun penjara.      

Dalam pertimbangan Putusan MK No.26/PUU-XI/2013 itu, Mahkamah menilai mengacu Pasal 1 angka 1 UU Advokat, tugas dan peran advokat untuk kepentingan klien dapat dilakukan baik di dalam maupun di luar persidangan. Hal ini juga ditegaskan dalam Pasal 11 UU No. 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum yang menyebut pemberi bantuan hukum tidak dapat dituntut perdata maupun pidana dalam memberikan bantuan hukum dengan iktikad baik, baik di dalam maupun di luar sidang.

“Hal ini telah dipertimbangkan (pula, red) melalui Putusan MK No.88/PUU-X/2012 yang menyebut pemberi bantuan hukum baik advokat maupun bukan advokat dalam menjalankan tugasnya dapat dengan bebas tanpa ketakutan dan kekhawatiran,” demikian bunyi pertimbangan Mahkamah.

Karena itu, terdapat perbedaan antara UU Advokat dan UU Bantuan Hukum mengenai perlindungan advokat dan pemberi bantuan hukum dalam menjalankan tugas profesinya. Perbedaan ini menimbulkan perlakuan yang berbeda antara advokat dan pemberi bantuan hukum yang menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil terhadap kedua profesi itu. Keadaan ini dinilai bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, sehingga Pasal 16 UU Advokat harus dimaknai seperti itu.   

Hanya saja, patut diingat meski advokat memiliki hak imunitas atau perlindungan di dalam ataupun di luar persidangan saat menjalankan profesinya, tapi memiliki batasan, sehingga sejatinya advokat tidak kebal hukum. Pengertian iktikad baik sendiri tetap merujuk pada Penjelasan Pasal 16 UU Advokat yakni “menjalankan tugas profesi (advokat) demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk membela kepentingan kliennya.”  

Artinya, hak imunitas advokat berlaku selama dilakukan dengan iktikad baik, tidak melanggar Kode Etik Advokat Indonesia, dan tidak melanggar peraturan perundang-undangan saat menjalankan tugas profesi di dalam maupun luar sidang persidangan. Sebaliknya, jika terbukti advokat saat membela kepentingan klien tidak menunjukkan iktikad baik, melanggar kode etik, hingga melanggar hukum tentu hak imunitas ini tidak berlaku atau gugur, sehingga advokat bisa dituntut pidana atau digugat perdata.

Tags:

Berita Terkait