Begini Reformasi Perizinan Usaha Bidang Kesehatan dalam UU Cipta Kerja
Berita

Begini Reformasi Perizinan Usaha Bidang Kesehatan dalam UU Cipta Kerja

Terdapat lima UU bidang kesehatan yang diubah setelah kehadiran UU Cipta Kerja.

Mochammad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit
Acara Serap Aspirasi Implementasi UU Cipta Kerja Sektor Proyek Startegis Nasional, Kawasan Ekonomi Khusus, Perhubungan dan Kesehatan di Semarang, Jumat (5/11). Foto: Kemenko Perekonomian
Acara Serap Aspirasi Implementasi UU Cipta Kerja Sektor Proyek Startegis Nasional, Kawasan Ekonomi Khusus, Perhubungan dan Kesehatan di Semarang, Jumat (5/11). Foto: Kemenko Perekonomian

Kesehatan menjadi salah satu bab yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Terdapat lima UU bidang kesehatan yang diubah setelah kehadiran UU Cipta Kerja. Kelima UU tersebut yaitu UU 36/2009 tentang Kesehatan, UU 44/2009 tentang Rumah Sakit, UU 5/1997 tentang Psikotoprika, UU 35/2009 tentang Narkotika dan UU 18/2012 tentang Pangan.

Kepala Bagian Hukum dan Organisasi Kementerian Kesehatan, Sundoyo, menjelaskan berbagai perubahan tersebut sebagian mengenai perizinan usaha bidang kesehatan. Dia mengatakan dalam salah satu rancangan peraturan pemerintah (RPP) yang mengatur pendirian rumah sakit terdapat kemudahan dibandingkan regulasi sebelumnya. Pelaku usaha dapat mendirikan rumah sakit tidak lagi mengacu pada jumlah ketersediaan sumber daya manusia.

“Ini sebenarnya reformasi regulasi di bidang perumahsakitan, ini dulu pasal 24 (UU Rumah Sakit) diatur detail. Misalnya, ketika RS kelas C syaratnya ketat paling tidak ada 2 dari spesialis dasar, RS kelas  D ada 4 spesialis dasar ketika RS kelas B ada 4 spesialis dasar, 8 spesialis lain dan 2 sub spesialis, ini tidak mudah bagi pelaku usaha, akhirnya daerah tidak penuhi karena syarat berat sekali,” jelas Sundoyo dalam acara Serap Aspirasi Implementasi UU Cipta Kerja Sektor Proyek Startegis Nasional, Kawasan Ekonomi Khusus, Perhubungan dan Kesehatan di Semarang, Jumat (5/11).

Sundoyo mengatakan secara umum RPP sebagai aturan pelaksana UU Cipta Kerja akan mengatur mengenai defenisi, klasifikasi, kewajiban, akreditasi, pembinaan dan pengawasan termasuk sanksi administrasi. Sehubungan dengan sanksi, Sundoyo menjelaskan pelaku usaha tidak dapat dikenakan pidana saat pendirian rumah sakit tidak mengantongi izin. (Baca: Reformasi Perizinan Usaha Jadi Inti Pelaksanaan UU Cipta Kerja)

“Ini luar biasa, karena dulu rumah sakit tidak punya izin kena pidana, sekarang ketika tidak punya izin sepanjang tidak ada akibat maka administrasi kecuali ada akibat pidananya,” jelas Sundoyo.

Sehubungan klasifikasi rumah sakit, RPP tersebut membedakan menjadi dua jenis yaitu rumah sakit umum dan khusus. Rumah sakit umum memberi pelayanan pada semua bidang dan jenis penyakit. Sedangkan rumah sakit khusus memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ, jenis penyakit atau kekhususan lainnya. Rumah sakit khusus dapat menyelenggarakan pelayanan lain di luar kekhususannya paling banyak 40 persen dari seluruh jumlah tempat tidur.

“Masalah di lapangan apakah rumah sakit ini dapat memberi layanan sesuai kekhusannya atau boleh umum ini terkait mitra dengan BPJS. Di sini kita buka walau khusus tetap boleh umum maksimal 40 persen yang ditunjukan lewat jumlah tempat tidur. Artinya, rumah sakit khusus boleh merawat sampai 40 persen pasien layanan umum dari jumlah total pasien,” kata Sundoyo.

Selanjutnya, Sundoyo juga mengatakan masih terdapat berbagai pemangkasan perizinan usaha bidang kesehatan. Dia mencontohkan pendirian bangunan rumah sakit tidak perlu lagi melewati perizinan berlapis. “Dulu untuk mendirikan rumah sakit itu perlu izin mendirikan bangunan. Ini kata orang sunda pabaliut. Dulu izin anak beranak,” jelas Sundoyo.

Terdapat tantangan dalam pengaturan aturan pelaksana UU Cipta Kerja bidang kesehatan ini. Menurut Sundoyo, pihaknya berhati-hati agar aturan pelaksana UU Cipta Kerja tidak berbenturang dengan peraturan lainnya yang sudah ada. “Kami hati-hati betul agar tidak tumpang tindih antara PP Rumah Sakit dan PP Periznan yang di dalamnya juga ada perizinan tentang rumah sakit,” jelas Sundoyo.

Sebelumnya, Staf Ahli Bidang Pengembangan Produktivitas dan Daya Saing Ekonomi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Lestari Indah, menjelaskan reformasi perizinan tersebut meliputi berbagai sektor usaha. Reformasi dilakukan dengan mengubah konsep menjadi berbasis risiko. Pendekatan tersebut nantinya membagi tiga jenis usaha yaitu risiko rendah, menengah dan tinggi.

Menurut Lestari, izin usaha saat ini masih bersifat kompleks karena terdapat perbedaan antara kementerian dan lembaga dan tingkat daerah. “Semua kegiatan usaha harus ada izin, banyak sekali izin-izin untuk kegiatan usaha, kompleks. Setiap kementerian dan lembaga punya pola sendiri-sendiri,” jelas Lestari dalam kegiatan Serap Aspirasi Implementasi UU Cipta Kerja Klaster Tata Ruang, Pertanahan, Proyek Strategis Nasional, Kawasan Ekonomi Khusus, Perizinan Berusaha Berbasis Risiko dan Informasi Geospasial di Yogyakarta, Rabu (2/12).

Lestari menambahkan konsep perizinan berbasis risiko tersebut tidak melemahkan pengawasan pemerintah terhadap kegiatan berusaha. Dia menjelaskan saat izin mendirikan bangunan pengawasan dilakukan secara bersamaan dengan proses pengerjaan gedung. Berbeda dibandingkan konsep perizinan sebelumnya yang standarnya hanya di awal saja namun saat pengerjaan tidak memenuhi kriteria.

“Kita alihkan komptensi pemerintah pada pengawasannya, untuk dorong pelaku usaha sesuai standar. Dulu standar hanya saat mau urus izin, habis itu lepas,” jelas Lestari.

Tags:

Berita Terkait