Berharap Wewenang Pengangkatan Hakim Ad Hoc MA Tetap Konstitusional
Terbaru

Berharap Wewenang Pengangkatan Hakim Ad Hoc MA Tetap Konstitusional

KY tetap optimis pengujian UU KY ini bakal ditolak atas dasar argumentasi hukum yang telah disampaikan para ahli dalam persidangan.

Agus Sahbani
Bacaan 4 Menit

Dia mengutip inti pandangan beberapa ahli yang telah disampaikan dalam persidangan di MK. Misalnya, pandangan Prof Ni’matul Huda yang menilai Pasal 25 UUD Tahun 1945 secara atributif memberi kewenangan kepada pembentuk UU untuk mengatur rekrutmen dan pemberhentian hakim termasuk hakim ad hoc MA.  Seperti termuat dalam Pasal 13 huruf a UU KY yang berbunyi, “Komisi Yudisial mempunyai wewenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan hakim ad hoc di Mahkamah Agung kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan”. 

Ni’matul mengakui dalil permohonan yang menyebut kewenangan KY terkait pengangkatan hakim ad hoc MA tidak diatur secara tegas dalam Pasal 24B UUD Tahun 1945, tapi bukan berarti menjadi belenggu bagi pembentuk undang-undang untuk mengaturnya. Menurutnya, cara pandang yang terlalu sempit ini akan menimbulkan kemacetan penyelenggaraan pemerintahan negara, pelayanan publik, atau penegakan hukum di masyarakat karena harus menunggu adanya amendemen UUD Tahun 1945. 

Menurutnya, frasa “mempunyai wewenang lain” dalam Pasal 24B ayat (1) UUD Tahun 1945 itu yang memungkinkan KY dapat melakukan tugas dan kewenangan lain yang ditentukan oleh UU. Dalam hal ini melakukan seleksi hakim ad hoc di MA sebagaimana yang ditentukan Pasal 13 huruf a UU KY itu. Kehadiran KY dalam sistem seleksi hakim ad hoc di MA sudah ditentukan legalitasnya melalui UU No.18 Tahun 2011, bukan kreasi kebijakan KY sendiri.

Binziad juga mengutip pandangan Benny K Harman yang menilai kewenangan KY melakukan seleksi hakim ad hoc pada MA tidak berasal dari perluasan makna frasa “hakim agung”, tapi muncul dari frasa “memiliki wewenang lain” dalam Pasal 24B ayat (1) UUD Tahun 1945. Pembentuk undang-undang bisa menentukan ruang lingkup wewenang lain tersebut selama norma yang ingin dicapai dalam rangka menjaga dan menegakkan keluhuran martabat hakim serta perilaku hakim.          

Selain itu, frasa “seleksi hakim” dalam Pasal 25 UUD Tahun 1945 yang ditentukan oleh pembentuk undang-undang. Hal ini sebagai open legal policy (kebijakan hukum terbuka) yang memberi kewenangan kepada pembentuk UU. Menurutnya, pembentuk UU tidak membedakan fungsi hakim agung dan hakim ad hoc.

Keduanya mempunyai fungsi yang sama dalam memeriksa dan memutus perkara bersama-sama dan equal dalam satu majelis. Jadi, fungsi hakim ad hoc tidak ada perbedaan dengan hakim agung. Perbedaannya hanya berkaitan dengan urusan administrasi, masa jabatan, dan tentu kekhususan dari kasus yang diperiksa dan diputus.

Untuk itu, KY berharap MK menolak semua dalil permohonan, sehingga keberadaan Pasal 13 huruf a UU KY tetap konstitusional dan tidak bertentangan dengan UUD Tahun 1945. “Tentunya, kita tetap optimis bahwa pengujian UU KY ini bakal ditolak atas dasar argumentasi hukum yang telah disampaikan para ahli dalam persidangan.”          

Dalam permohonannya, Pemohon Burhanuddin merasa hak konstitusionalnya dirugikan oleh Pasal 13 huruf a UU KY, khususnya mempersoalkan frasa “dan hakim ad hoc”. Bagi pemohon, menyamakan hakim ad hoc dengan hakim agung merupakan pelanggaran konstitusional terhadap Pasal 24B ayat (1) UUD 1945. Ketentuan hakim ad hoc bagian yang tidak terpisahkan dari kewenangan MA baik yang ditentukan dalam UUD 1945 maupun UU Kekuasaan Kehakiman.

Menurutnya, berlakunya Pasal 13 huruf a UU KY, telah memperluas kewenangan KY yang semula hanya mengusulkan pengangkatan hakim agung, tapi juga mengusulkan pengangkatan hakim ad hoc di MA. Memperlakukan seleksi yang sama antara calon hakim agung dengan hakim ad hoc di MA yang memiliki perbedaan baik secara struktural, status, bentuk pelanggaran terhadap nilai-nilai keadilan. Karena itu, pemohon meminta agar Pasal 13 huruf a UU KY dinyatakan bertentangan dengan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945.

Tags:

Berita Terkait