Catatan dan Refleksi Kritis Akademisi STH Indonesia Jentera atas Putusan PHPU Pilpres 2024
Melek Pemilu 2024

Catatan dan Refleksi Kritis Akademisi STH Indonesia Jentera atas Putusan PHPU Pilpres 2024

Pasca putusan MK terkait PHPU Pilpres 2024, semua pihak diminta untuk terus mengkritisi kebijakan dan keputusan para pemimpin. Hal ini bertujuan untuk membangun demokrasi dan negara hukum. Dan yang tak kalah penting adalah memperbaiki MK.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 3 Menit

“Nah sehingga sekarang bisa keluar dissenting opinion sampai tiga hakim MK berarti ada yang tidak bisa dimusyawarhkan secara bulat. Ini pertama kali terjadi dan menandakan bahwa ada pertentangan pendapat yang cukup keras dari tiga dari delapan hakim MK itu,” ujar akademisi Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera.

Selain catatan kritis, Bivitri juga memberikan pandangannya terkait refleksi atas putusan MK. Dengan ditolaknya permohonan PHPU seluruhnya, membuktikan bahwa MK tidak mampu keluar dari kerangka hukum yang memang didesain untuk melanggengkan kekuasaan. Hal tersebut dapat dilihat dari keputusan pemerintah dan DPR yang tidak melakukan revisi terhadap UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu, pasca Pilpres 2019.

Menurut Bivitri, UU Pemilu biasanya akan direvisi setelah adanya evaluasi dalam proses penyelenggaraan pemilu sebelumnya.

Bivitri menduga ketiadaan revisi UU Pemilu disebabkan karena kerangka hukumnya menguntungkan, sehingga disepakati itu tidak diubah. Bukan hanya itu, catatan lainya seperti UU ASN kemudian juga peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pejabat kepala daerah seakan-akan memang didesain untuk melanggengkan kekuasaan. Sehingga jika MK bergerak hanya dalam kerangka itu maka MK tidak akan bisa keluar.

“Mereka harus loncat sedikit ke konstruksi konstitusionalisme yang mana bisa dilakukan oleh MK. Tadinya saya dan juga banyak orang lainnya punya harapan MK bisa keluar dr kerangkeng itu. Ternyata eggak bisa. Berarti ini memang yang harus kita baca juga secara konfigurasi bahwa hakim-hakim MK itu kan semacam proxy dari elite politik. Pasti tantangannya besar,” imbuhnya.

Namun terlepas dari siapa yang menang dan kalah, putusan MK seakan mengabaikan praktik ketidakadilan, nepotisme dan penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh kepala negara. Bivitri mengingatkan bahwa narasi yang menyebutkan bahwa persoalan etis tidak berhubungan dengan persoalan hukum adalah sesuatu yang keliru.

Menurutnya perilaku etis atau etika berada di atas hukum. Jika pelanggaran seperti ini dibiarkan maka bukan tidak mungkin cara pikir semacam ini akan langgeng di kemudian hari.

Bivitri menaruh kekhawatiran bahwa praktik nepotisme dan penyalahgunaan kekuasaan menjadi hal yang lumrah dilakukan pasca putusan MK. Hal ini menjadi ancaman besar bagi demokrasi dan negara hukum seperti Indonesia. Untuk itu, dia mengajak semua pihak terus mengkritisi kebijakan dan keputusan para pemimpin guna membangun demokrasi dan negara hukum. Hal yang juga penting adalah memperbaiki MK.

“Karena ini jadi penanda penting bahwa adapersoalan-persoalan kelembagaan yang sedang tidak baik-baik saja. Yang tidak hanya bisa didekati dengan pendekataan-pendekatan kelembagaan tapi kita juga harus bisa membaca aktor-aktor politiknya, serta bagaimana keterkaitan aktor-aktor politik ini untuk mempengaruhi jalannya lembaga-lembaga seperti MK. Dan ini PR kita bersama,” tutupnya. 

Tags:

Berita Terkait