Cerita tentang Profesor Retno Saraswati, Perkembangan Teknologi dan Daulat Presiden
Utama

Cerita tentang Profesor Retno Saraswati, Perkembangan Teknologi dan Daulat Presiden

Indonesia menganut sistem presidensial. Tetapi dalam realitas, ada beberapa peristiwa yang layak dikritik. Ikuti pandangan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Retno Saraswati.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit

Daulat Presiden dan Realitas Ketatanegaraan

Retno Saraswati menyampaikan pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Diponegoro pada 23 April 2016. Pidatonya berjudul ‘Daulat Presiden dalam Kabinet Presidensial’ masih relevan hingga kini.

Diuraikan Prof. Retno, UUD 1945 secara eksplisit telah menegaskan bahwa Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial. Sistem pemerintahan presidensial yang diamanatkan konstitusi ternyata mengharuskan tata ulang sistem ketatanegaraan agar lebih efektif dan stabil. Urgensi tata ulang itu karena melihat realitas yang terjadi terutama dalam hubungan antara Presiden dan anggota kabinet atau menteri. Menteri-menteri adalah adalah pembantu presiden.

Realitasnya, sering terjadi kebijakan menteri tidak sinkron dengan kebijakan Presiden. Misalnya, seorang menteri menyebutkan bahwa akan kebijakan dana ketahanan energi nasional, dengan cara memungut Rp200 dari premium dan Rp300 dari solar yang disubsidi pemerintah. Padahal Presiden tidak mengambil kebijakan demikian. Perbedaan ini seharusnya tidak perlu terjadi jika dimatangkan lebih dahulu di internal pemerintah sebelum diungkapkan ke publik. Acapkali terjadi pernyataan menteri tidak sinkron dengan pernyataan presiden. Ini menunjukkan kurangnya koordinasi presiden dengan para pembantunya.

Ada juga masalah ketidakdisiplinan menteri. Misalnya ada menteri yang mengganti nomenklatur kementerian dan strukturnya tidak sesuai dengan peraturan yang ada. Belum lagi kegaduhan yang muncul akibat perbedaan pernyataan dan kebijakan antarmenteri anggota kabinet presidensial. Menurut Prof. Retno, jika perspektifnya adalah nilai manfaat yang lebih bagi bangsa dan negara, mestinya seluruh anggota kabinet Presidensial saling mengisi, melengkapi atau menyempurnakan nilai manfaat itu, dan bukan saling serang.

Para menteri juga seharusnya ikut menopang kebijakan presiden. Presiden mengatakan bahwa kompensasi atas tanah warga yang digunakan untuk kepentingan umum adalah ganti untung bukan ganti rugi. Faktanya, ada menteri yang menerbitkan peraturan mengenai kompensasi atas tanah dan bangunan di bawah ruang SUTT dan SUTET yang perhitungannya menimbulkan kerugian dan ketidakadilan bagi warga masyarakat.

Realitas lain, kabinet yang terbentuk lebih sebagai kabinet transaksional atau koalisi. Ketika hendak membentuk pemerintahan, Presiden secara politik mengakomodasi usulan-usulan menteri dari partai politik. Presiden ingin menjaga hubungan baik dengan parlemen dan partai politik. Akibatnya, hak prerogatif presiden tidak leluasa digunakan.

Sinergi antara presiden dan menteri merupakan indikator keberhasilan sebuah kabinet dan kelangsungan jabatan presiden. Akibat dari ini semua menjadikan penyelenggaraan pemerintahan kurang efektif, terjadi ketidaksinkronan dan wibawa presiden sebagai kepala pemerintahan menjadi lemah, bahkan daulat (kekuasaan tertinggi) Presiden tereduksi dalam kabinet presidensial. Tentu ini semua tidak seharusnya terjadi dalam sistem presidensial, dimana kedudukan presiden cukup kuat, dengan dukungan adanya hak prerogatif. Bahkan DPR atau parlemen melalui partai politiknya sudah mulai ada intervensi, padahal intervensi ini biasanya hanya  terjadi dalam sistem pemerintahan parlementer. Dampak kisruh politik tentu akan berimbas kepada kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait