​​​​​​​Covid-19 dan Hukum
Tajuk

​​​​​​​Covid-19 dan Hukum

​​​​​​​Virus kecil yang tidak terlihat mata telanjang ini masuk mencampuri urusan setiap unsur dalam struktur kenegaraan, perusahaan dan pribadi banyak pihak.

RED
Bacaan 2 Menit

 

Kehati-hatian pemerintah Indonesia dengan menerapkan aturan PSBB diperkirakan telah mempertimbangkan beberapa faktor utama: (a) 60% perekonomian kita yang berbasis UMKM, dan tenaga kerja kita yang sebagian besar hidup dari upah harian, sehingga tidak bisa seluruhnya dipaksa tinggal atau bekerja dari rumah, (b) pemerintah tidak mampu memberikan bantuan kehidupan mereka (dan ternak) kalau semua warga dipaksa tinggal dirumah, (c) disiplin social dan physical distancing bisa diterapkan, dan (d) larangan mudik ditegakkan. Apakah semuanya bisa dilaksanakan secara tegas di lapangan? Kita melihat bahwa pelaksanan lapangan tidak maksimal. Sejumlah petugas lapangan mengatakan "kami melaksanakan aturan yang sifatnya sosial, sehingga tidak bisa memaksa", suatu sikap yang bisa menimbulkan bahaya baru. Mereka yang dibiarkan "lolos" dari aturan ketat PSBB merupakan senjata pembunuh yang berkeliaran bebas terhadap warga lain yang mungkin sudah sangat taat aturan. Aturan Gubernur Jakarta yang melarang para pemudik kembali ke Jakarta sampai waktu yang tidak ditentukan merupakan aturan tegas yang baik. Karena sebagian besar dari mereka adalah para pelanggar (aturan mudik), dan bukan tidak mungkin ketika kembali ke Jakarta mereka membawa bom waktu yang menimbulkan serangan kedua kepada penduduk Jakarta yang sudah taat aturan. Sekali lagi, ketegasan petugas lapangan harus ditingkatkan, kalau perlu dengan sanksi berat.

 

Aspek hukum lainnya adalah aturan stimulus dan relaksasi yang memang perlu dan harus cepat diterapkan. Yang menjadi masalah besarnya adalah sistem governance-nya termasuk pengawasan yang selama ini saja, dalam kondisi normal, kita sering kebobolan. Pemberian stimulus dan relaksasi karenanya juga harus diikuti dengan peningkatan pengawasan oleh lembaga pengawas, dan juga penegak hukum, seperti KPK yang punya fungsi-fungsi pencegahan. Kalau belakangan ini KPK banyak dikritik sebagai lemah dalam penegakkan hukum, mungkin sekarang bisa sedikit mengobati kekecewaan publik dengan menjalankan fungsi pencegahannya dalam mengawasi kucuran uang triliunan yang digelontorkan negara.  Keterbatasan untuk bekerja langsung di lapangan karena keharusan WFH menyebabkan pengawasan bisa berkurang.

 

Demikian juga, kalangan organisasi masyarakat sipil yang selama ini aktif ikut mengawasi kebijakan dan pelaksanaan kegiatan keuangan negara menjadi berkurang efektivitasnya karena aturan PSBB yang harus mereka taati. Mau tidak mau, sikap para pengawas dan penegak hukum harus diselaraskan, yaitu bahwa post-audit atas pelaksanaan kebijakan stimulus dan relaksasi harus dilaksanakan dengan ketat, dan bila terbukti ada pelanggaran dari pelaksanaan kebijakan ini pelanggarnya harus dihukum dengan lebih berat daripada hukuman atas kasus yang terjadi di masa normal. Mencuri atau menyalahgunakan uang negara dalam masa krisis sama juga dengan membunuh rakyat miskin yang sedang menderita dan membutuhkan bantuan.

 

Negara melalui OJK juga memberlakukan kebijakan yang meminta dunia perbankan dan keuangan untuk lebih menerapkan pendekatan restrukturisasi hutang kepada para debitur karena dampak pandemi ini. Hal ini memberikan kesan bahwa pendekatan hukum semata, dengan menggunakan instrumen eksekusi pasal-pasal perjanjian pembiayaan menjadi tidak disarankan. Hal ini memicu suatu perdebatan lain, yang menyangkut hubungan B to B antara kreditur dengan debitur perusahaan (besar dan menengah), yaitu apakah alasan "force majeure" dapat digunakan untuk tidak melaksanakan kewajiban debitur dalam perjanjian pembiayaan. Lebih luas lagi, dalam kontrak-kontrak lain antara para pelaku usaha, apakah alasan yang sama bisa digunakan untuk menghindar dari kewajiban kontraktual mereka.

 

Sejumlah seminar dan diskusi dalam banyak forum sudah dilakukan dengan menghadirkan para ahli dari dunia akademis maupun praktik. Duniapun mempertanyakan hal yang sama. Para lawyers memberikan advis yang beragam menghadapi gejala baru ini. Sebenarnya ini bukan hal baru, karena konsep force majeure sudah hadir dalam paling tidak di dua sistem hukum terbesar dunia, common law dan civil law systems selama lebih dari seabad yang lalu. Konsep ini berubah dan berkembang sesuai dengan kemajuan zaman, karena apa yang menjadi halangan atau ketidak-mungkinan pada masa lalu, kini menjadi sesuatu yang masih masuk dalam pengertian mungkin dan bisa dilakukan, walaupun dengan upaya luar biasa dan biaya yang lebih besar. Ini menjadikan konsep force majeure menjadi berbeda, sehingga seseorang tidak bisa lagi dengan seenaknya menggunakan alasan terjadinya force majeure ini untuk lari dari kewajibannya.

 

Betul bahwa banyak pebisnis terdampak secara dahsyat sebagai akibat dari pandemi Covid-19. Pendapatan menurun karena produk tidak bisa dibuat sehubungan dengan PSBB, atau tidak dapat dikirim karena sistem transportasi terutama penerbangan sangat terbatas. Pihak pemasok gagal memasok untuk alasan yang sama sehingga sistem produksi juga tidak berjalan. Sub-kontraktor juga gagal melaksanakan kewajibannya sehingga kontraktor tidak mampu menyelesaikan pekerjaannya. Demikian saling kait mengkait. Sebagai lawyer, dalam hal kliennya menghadapi kondisi pandemi Covid-19, apakah sebagai pihak yang tidak dapat memenuhi kewajibannya atau sebagai pihak yang tidak menerima prestasi dari pihak lawan kontraknya, pertanyaan pertama tentunya adalah hukum apa yang digunakan dalam kontrak mereka (governing law). Penggunaan common law, akan berbeda akibatnya bila hukum yang dipilih tunduk pada civil law system. Sistem hukum kita yang berorientasi ke civil law system lebih memungkinkan pengakuan diterimanya suatu krisis yang dampaknya sehebat pandemi Covid-19 ini sebagai keadaan atau kejadian force majeure. Civil Law Systems mengadopsi prinsip "impossibillium nulla obligatio est" (the impossible is no legal obligation).

 

Jadi menurut sistem ini, kalau memang sesuatu hal menjadi tidak mungkin (untuk dilaksanakan), maka hal ini tidak bisa menjadi kewajiban hukum seseorang. Apalagi kalau kontraknya sendiri tidak memuat dan merinci apa yang dimaksud dengan kejadian force majeure, dan bagaimana akibatnya terhadap pemenuhan kewajiban dalam kontrak tersebut. Sistem ini belum secanggih sistem hukum Inggris misalnya, yang sudah lebih spesifik di dalam menghadapi masalah seperti ini, sehingga hakim tidak dengan mudah memberikan persetujuan atau pengakuan bahwa seseorang boleh tidak memenuhi kewajibannya jika menghadapi kondisi force majeure. Sistem hukum Inggris menganut prinsip bahwa seseorang tidak dengan mudah dibebaskan dari kewajibannya dalam kontrak hanya karena pelaksanaannya menjadi lebih mahal atau lebih sulit, atau bahkan terbukti menjadi tidak mungkin. Hukum Inggris dengan mudah meneguhkan bahwa para pihak tetap bertanggung jawab untuk memenuhi kewajibannya karena gagal untuk memenuhi hal-hal yang sebenarnya tidak mungkin lagi dilaksanakannya (Jonathan Raynes, Client Alerts: Covid-19: English Law Contracts - Force Majeure, Frustration, and other Reflief, 2020). Menurut Raynes, pandemi Covid-19 karenanya tidak serta merta bisa dijadikan alasan untuk seseorang dapat lari dari kewajibannya, walaupun untuk memenuhi kewajibannya itu dia harus berupaya lebih keras, mengeluarkan biaya lebaih banyak, bahkan tidak mungkin baginya untuk melaksanakannya. Hakim atau arbiter di Inggris akan mengupas satu-satu semua fakta yang terkait dengan kontrak tersebut, alasan tidak dilaksanakannya kewajiban, dan pelaksanaan atau kegagalan pelaksanaannya.

Tags:

Berita Terkait