Damos Dumoli Agusman, “In House Lawyer” Pemerintah Spesialis Hukum Internasional
Profil

Damos Dumoli Agusman, “In House Lawyer” Pemerintah Spesialis Hukum Internasional

Keberadaan Indonesia adalah produk hukum internasional. Maka, Indonesia tidak bisa lepas dari eksistensi hukum internasional itu sendiri.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit

 

Ada contoh menarik saat kita mencari pengakuan kedaulatan dari negara lain saat kemerdekaan. Itu justru menjadi refleksi bahwa kita mengakui adanya norma hukum internasional. Justru itu merupakan bukti bahwa kita menghormati hukum internasional.

 

Sekarang masih banyak perdebatan klasik antara hukum internasional dengan kedaulatan. Pak Mochtar dengan sangat hati-hati menjelaskan dalam bukunya bahwa kedaulatan itu harus berhenti pada saat dia memasuki wilayah internasional. Saya selalu kasih contoh begini, kita harus berhenti memiliki kebebasan berpacaran pada saat kita sudah menikah, gitu lho!

 

Penting diingat bahwa DNA kita mematuhi hukum internasional, bahkan memanfaatkan hukum internasional untuk mempertahankan eksistensi kita sebagai sebuah negara.

 

Hukumonline.com

 

Kalau begitu, apakah perlu dibuat suatu payung hukum untuk menjamin perkembangan hukum internasional bisa diperkuat hubungannya dengan hukum nasional kita?

Dalam kehidupan bernegara, sumber hukum internasional yang paling nyata adalah perjanjian internasional. Bentuk paling clear yang kita tandatangani dokumennya, berisi pernyataan kehendak kita dan berbagai kesepakatannya. Oleh sebab itu muncul UU No.24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Itu untuk mengatur bagaimana Indonesia membuat perjanjian internasional serta implementasinya dalam hukum nasional. Jadi sudah ada payung hukumnya untuk hal ini.

 

Tapi undang-undang ini perlu diperbarui karena isu yang masuk dalam perjanjian internasional semakin berkembang. Dulu isi dalam perjanjian internasional hanya mengatur perang, damai, dan membuat aliansi. Sekarang dari A sampai Z. Mulai dari politik hingga urusan hama wereng.

 

Berikutnya adalah keputusan organisasi internasional. Tidak hanya PBB, tapi juga berbagai organisasi internasional yang Indonesia menjadi anggotanya seperti WTO, ICJ dan lain-lain.

 

Nah keputusan ini kadang-kadang masuk ke dapur kita. Semula hanya diatur dengan hukum nasional, nah mereka mulai mengatur. Bagaimana kita menyikapi ini? Kita belum memiliki mekanisme soal ini dalam hukum Indonesia. Itu sebabnya kami sedang membahas perlunya peraturan perundang-undangan yang memampukan keputusan organisasi internasional berlaku dalam hukum nasional. Itu belum ada di UU Perjanjian Internasional, sebab yang ini atas dasar keputusan organisasi internasional yang Indonesia ikuti.

 

Dulu kita nggak terbayang bahwa keputusan organisasi internasional akan membahas dapur kita. Ini tren belakangan, belum lama. Misalnya soal terorisme, PBB sudah bisa mengatakan seseorang adalah teroris. Mereka mengeluarkan daftar teroris. Nah dalam hukum nasional kita kan ada hukum acara pidana sendiri soal penetapan seseorang sebagai tersangka. Kalau seseorang dinyatakan teroris oleh PBB, apakah otomatis hukum nasional kita juga menerimanya?

 

Contoh lain misalnya ICC (International Criminal Court/Mahkamah Pidana Internasional-red) mengatakan Presiden suatu negara adalah penjahat dan harus ditangkap jika mampir ke Jakarta. Nah ini bagaimana kita menyikapinya? ICC meminta negara kita menangkapnya. Itu sebabnya perlu ada pengaturannya sekarang.

 

Harapan kami intinya ada payung hukum seperti undang-undang tentang arbitrase. Ada tata cara bagaimana mengeksekusi keputusan organisasi internasional. Di UU Arbitrase itu kan ada pengaturan tentang cara mengeksekusi putusan arbitrase internasional. Apakah harus ada penetapan pengadilan terlebih dulu atau bagaimana nantinya, kami ingin diatur semacam itu.

 

Tanpa ada payung hukum semacam itu akan ada kebingungan seperti tahun 80an dulu. Saat itu arbitrase internasional memutus perkara yang tidak bisa dieksekusi di Indonesia karena kita tidak punya payung hukumnya. Dulu diselesaikan dengan Peraturan Mahkamah Agung, itu pun tertatih-tatih sampai munculnya UU Arbitrase.

 

Bentuk apa yang paling tepat untuk payung hukum ini? UU, PP, Kepres, Perma atau yang lain?

Nah kami sangat terbuka soal ini. Saya bukan ahli perundang-undangan, tidak bisa meraba-raba yang paling tepat. Perlu diskusi lebih lanjut. Dalam perspektif kami, yang penting semua penegak hukum di Indonesia tidak gamang lagi untuk mengeksekusi keputusan organisasi internasional.

 

Tapi juga tidak digabungkan dalam revisi UU Perjanjian Internasional. Ada perbedaan karakteristik. Harus terpisah. Bahkan nanti ada lagi yang juga perlu diatur soal pelaksanaan customary international law, hukum kebiasaan internasional. Itu juga norma, living law, dia mengikat. Seperti pengakuan berdirinya negara de facto dan de jure, tidak tertulis dalam norma hukum manapuntapi mengikat. Tapi hukum kebiasaan internasional belum terlalu menjadi persoalan bagi kita.

 

Menguatkan hukum internasional dalam sistem hukum nasional itu kepentingan kita juga. Kita sudah pernah memetik keuntungannya. Kita mengupayakan pengakuan konsep negara kepulauan melalui jalur hukum internasional. Jadi kalau menyangkal hukum internasional, menurut saya kita menyangkal diri kita sendiri. Archipelagic State itu kan produk hukum internasional. Saat itu Archipelagic State tidak diakui. Amerika, Jepang, Inggris, protes saat ada Deklarasi Juanda.

 

Berkaitan dengan Archipelagic State dan UNCLOS, apakah batas wilayah laut Indonesia sudah tuntas?

Dulu saat UNCLOS lahir, kita manfaatkan untuk menutup wilayah kita meliputi perairan antar pulau. Makanya lewat garis-garis pangkal itu kita tutup. Ini sudah berhasil dengan UNCLOS. Selanjutnya kita menyelesaikan garis perbatasan. Karena UNCLOS melahirkan rezim baru yang membuat garis-garis batas baru. Itu harus membuat perjanjian satu per satu dengan negara-negara yang berbatasan. Sulit menentukan garisnya, karena bagaimana cara menarik garis batasnya tidak diatur dalam UNCLOS. Harus ada kesepakatan antarnegara yang berbatasan melalui perjanjian internasional.

 

Selama ini yang dilakukan adalah diskresi tanpa perjanjian antarnegara, tergantung pada hubungan politik. Perjanjian perbatasan ini butuh waktu lama karena sekali dibuat akan berlaku seumur hidup. Soal ini, semua negara di dunia punya masalah yang sama.

 

Ada tiga garis perbatasan yang harus kita buat dengan setiap negara yang berbatasan: batas landas kontinen, laut teritorial, dan Zona Ekonomi Eksklusif. Norma-norma tentang perbatasan laut pun sudah berkembang di berbagai yurisprudensi ICJ (International Court of Justice/Mahkamah Internasional-red.). Kami terus mempersiapkan diplomat-diplomat ahli bidang hukum laut ini. Ini sesuai dengan Nawacita untuk menjadi poros maritim dunia.

 

Ditjen HPI sudah mengajak semua negara yang berbatasan wilayah laut dengan Indonesia untuk bernegosiasi soal kesepakatan batas wilayah. Kesepakatan yang sudah komplit selesai adalah dengan Papua Nugini.

 

Adakah inovasi layanan Ditjen HPI yang bisa dinikmati publik?

Sekarang kami membuka berbagai dokumen perjanjian internasional untuk kepentingan informasi publik. Akses terbuka pada dokumen elektronik melalui situs Treaty Room di http://treaty.kemlu.go.id. Diluncurkan Januari 2018 lalu. Publik bisa mendapatkan dokumen perjanjian internasional yang dibuat Pemerintah.

 

Khusus kalangan mahasiswa, kami membuka magang secara terbuka. Saya ingin membumikan hukum internasional. Mendekatkan para mahasiswa dengan praktik penggunaan hukum internasional di lingkungan kerja para diplomat, sehingga apa yang dipelajari di kampus tidak lagi hanya teori di awang-awang.

 

Apa lagi yang sedang ditangani Ditjen HPI saat ini?

Kami sedang menangani 17 negosiasi tentang Free Trade Agreement (FTA). Apa urgensinya FTA? Data empiris menunjukkan perekonomian negara akan meningkat pertumbuhannya dengan memperluas pasar. Cina misalnya memanfaatkan free market dengan baik. Oleh karena itu kita harus percaya dengan pasar terbuka akan membuat pertumbuhan ekonomi meningkat semakin tinggi. Data empiris juga menunjukkan negara yang menutup dirinya cenderung tidak berkembang. Banyak contohnya.

 

Namun Indonesia belum tuntas soal perbincangan ide liberalisasi dalam perekonomian ini. Kadang-kadang kata liberalisasi ini sangat menakutkan kalau dipolitisasi di Indonesia. Manfaat open market belum tersosialisasi dengan baik. Free trade ini bagi saya lebih ke persoalan rules of the game. Kadang kita salah kaprah, hanya berbicara barang dari luar negeri masuk ke pasar kita, nggak bicara barang kita juga masuk ke pasar luar negeri. Juga lupa bahwa harga jadi semakin murah. Dulu ponsel mahal, sekarang jadi murah karena free trade. Banyak pilihan mau beli yang mana.

 

Saya sering beri ilustrasi, free trade itu bagi kita seperti kemoterapi. Menyakitkan, tapi pada akhirnya menyehatkan.

 

Tags:

Berita Terkait