Dinilai Korban Peradilan Sesat, Dosen Unsyiah Ini Minta Presiden Beri Amnesti
Utama

Dinilai Korban Peradilan Sesat, Dosen Unsyiah Ini Minta Presiden Beri Amnesti

Peristiwa yang dialami Saiful menjadi “pukulan” berat bagi kalangan akademisi se-Indonesia. Sebab, siapapun akademisi di kampus ataupun lembaga riset dapat mengalami hal serupa.

Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit

Eksaminasi putusan

Dewan Pengarah Kaukus Kebebasan Indonesia untuk Akademik (KIKA) Herlambang Wiratraman mengatakan pihaknya telah melakukan eksaminasi terhadap putusan pengadilan tingkat pertama, banding, dan kasasi terhadap kasus Saiful. Hasilnya menunjukan adanya peradilan sesat. Terdapat nalar hukum yang buruk memandang perkara yang dialami Saiful. Peristiwa yang dialami dan dituduhkan ke Saiful pun jauh dari asas, standar hukum, dan nilai keadilan.

Selain itu, cara menafsirkan pasal-pasal sangkaan/dakwaan tidak sesuai dengan standar hukum sesuai diatur Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP dan penafsiran Pasal 27 UU ITE. Apalagi pemerintah melalui SKB tentang Pedoman Kriteria Implementasi UU 19/2016 mengatur kritik bukan sebuah tindak pidana sebagaimana yang disampaikan Saiful.

“Lima belas anggota majelis eksaminasi melihat putusan ini bukan hanya keliru, tapi tidak memiliki ‘ruh’ mendorong prinsip-prinsip negara demokrasi dan jauh dari membentengi kebebasan berekspresi dan akademik,” tegasnya.

Menurutnya, peristiwa yang dialami Saiful menjadi “pukulan” berat bagi kalangan akademisi se-Indonesia. Sebab, siapapun akademisi di kampus ataupun lembaga riset dapat mengalami hal serupa. Hal itu seiring terpuruk kebebasan sipil yang semakin melemah di Indonesia termasuk kebebasan akademik. Karena itu, pihaknya merasa Presiden Jokowi layak memberi amnesti kepada Saiful.

“Keliru besar memenjarakan kritik, termasuk memenjarakan sikap Saiful Mahdi. Memenjarakan Saiful sesungguhnya melemahkan iklim atau prinsip kebebasan akademik dan otonomi kampus,” ujarnya.

Sementara itu, Direktur LBH Banda Aceh, Syahrul Putra Mutia yang selama ini mendampingi Saiful, menerangkan kasus ini bermula adanya penerimaan CPNS Dosen di Universitas Syiah Kuala, Aceh pada 2018. Sebagai dosen dan bidang keilmuannya, Saiful mencoba menganalisa dengan sistem yang dibuat. Praktis tesnya berjalan baik. Namun analisa Saiful bahwa sistem rekrutmen terdapat kekurangan. Bahkan, pada tahap tes administrasi masih rentan terjadinya error sistem.

“Dibuktikan di Unsyiah meng-upload berkas di luar syarat sistem, kemudian bisa lulus. Kemudian mengkritik hal ini melalui WhatsApp grup,” ujarnya.

Namun Dekan Fakultas MIPA, Taufik Saidi melaporkan Saiful ke Polresta Banda Aceh dengan tuduhan pencemaran nama baik berbekal kritikan Saiful berupa tulisan di grup WhatsApp. Singkat cerita, Saiful menjalani sidang di PN Banda Aceh. Putusan PN Banda Aceh mengganjar Saiful terbukti bersalah melakukan pencemaran nama baik dengan hukuman 3 bulan penjara dan denda Rp10 juta subsider 1 bulan penjara. Upaya hukum banding dan kasasi pun kandas alias ditolak, sehingga menguatkan putusan PN Banda Aceh.

Sambil mulai menjalani eksekusi, kata Syahrul, melalui penasihat hukumnya dan dorongan masyarakat sipil, Saiful mengajukan amnesti ke presiden. “Kita datang ke Kejaksaan prinsipnya bukan tunduk, tapi patuh terhadap putusan dan menjadi contoh warga negara yang baik. Tapi kita berupaya mencari jalan, tetap melakukan perlawanan, ingin membuktikan kritik bukanlah sesuatu hal yang haram, mudah dipidana seperti ini,” katanya.

Tags:

Berita Terkait