Dinilai Produktivitas Rendah, Serikat Buruh: Kalau Ngomong Pakai Data!
Terbaru

Dinilai Produktivitas Rendah, Serikat Buruh: Kalau Ngomong Pakai Data!

Upah minimum dinilai terlalu tinggi jika dibandingkan dengan produktivitas buruh yang rendah. Serikat buruh berpendapat membandingkan nilai produktivitas itu diukur secara setara, misalnya dengan sektor industri yang sama.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Sejumlah serikat buruh berunjuk rasa di depan Balai Kota Jakarta, Selasa (26/10/2021) menuntut pemerintah untuk menaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2022 sebesar 7-10 persen. Foto: RES
Sejumlah serikat buruh berunjuk rasa di depan Balai Kota Jakarta, Selasa (26/10/2021) menuntut pemerintah untuk menaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2022 sebesar 7-10 persen. Foto: RES

Setelah Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah, menyebut besaran upah minimum di Indonesia terlalu tinggi, sekarang giliran Staf Khusus Menaker, Dita Indah Sari, yang menilai jumlah hari libur di Indonesia terlalu banyak, sehingga berdampak pada rendahnya produktivitas buruh/pekerja.

Dia menjelaskan kebijakan pengupahan dalam PP No.36 Tahun 2021 tentang Pengupahan ditujukan untuk mendorong peningkatan produktivitas nasional, sehingga diharapkan upah menjadi pembanding yang adil terhadap nilai produktivitas. Dia juga menyebut upah minimum di Indonesia saat ini terlalu tinggi jika dibandingkan dengan nilai produktivitas tenaga kerja. Menurutnya, nilai efektivitas tenaga kerja di Indonesia berada di urutan ke-13 di Asia.

"Baik jam kerjanya, maupun tenaga kerjanya, ini umum secara nasional. Komparasinya ketinggian itu dengan produktivitas," kata Dita Indah Sari di Jakarta, Jumat (19/11/2021) lalu.

Untuk jam kerja, Dita berpendapat di Indonesia terlalu banyak hari libur jika dibandingkan dengan negara lain di ASEAN. "Dari segi jam kerja dan jumlah libur kita ini gede, banyak," ujar Dita.

Dita memberikan contoh di Thailand, seminggu jam kerja sampai 44 jam dan di Indonesia hanya 40 jam. Hari libur di Indonesia dalam satu tahun mencapai 20 hari. Belum lagi ditambah bermacam jenis cuti. Sedangkan di Thailand dalam satu tahun tidak lebih dari 15 hari libur. Karena jam kerja yang sedikit, maka hasil kerja buruh di Indonesia juga sedikit. Hal ini berpengaruh terhadap nilai produktivitas yang rendah.

Dia juga menilai nilai produktivitas Indonesia hanya 23,9 poin dan Thailand mencapai 30,9 poin. Tapi, upah minimum di Indonesia disebut lebih tinggi daripada Thailand. Misalnya upah minimum di Phuket Thailand mencapai Rp4.104.475 dan di Jakarta upah minimum Rp4.453.724. “Komparasinya itu di situ, karena nilai jam kerja jadi lebih sedikit, makanya upah itu ketinggian nggak sesuai dengan nilai produktivitas jam kerja dan efektivitas tenaga kerja.”

Menanggapi hal tersebut, Presiden KSPI, Said Iqbal, mengatakan rata-rata upah minimum di Thailand itu 259 Dollar AS. Jika membandingkan upah minimum di Phuket Thailand, maka perbandingannya seharusnya yang setara di Indonesia, seperti di Bali karena Phuket merupakan pusat industri pariwisata di Thailand.

Bila Dita menyebut upah minimum di Phuket, Thailand sebesar Rp4.104.475, kenapa upah minimum di Provinsi Bali lebih kecil yakni Rp2.494.000 (2021) atau Rp2.516.971 (2022). Jika dibandingkan popularitas Bali dengan Phuket, Iqbal mencatat Bali masuk 3 besar tempat wisata populer di dunia, sedangkan Phuket hanya masuk 20 besar.

Jika ingin membandingkan produktivitas buruh, yang paling tepat itu membandingkan antara industri yang sama. Misalnya, Phuket sebagai pusat industri pariwisata di Thailand dengan Bali di Indonesia. Membandingkan tingkat upah minimum yang rendah dan popularitas yang lebih tinggi, maka jelas produktivitas buruh di Bali lebih tinggi ketimbang Phuket Thailand.

“Stafsus Menaker tidak mengerti persoalan. Kalau ngomong pakai data yang jelas!” kritiknya.

Meski demikian, Iqbal mengakui tingkat produktivitas Indonesia secara nasional kalah dibandingkan Thailand. Ini disebabkan karena jumlah pengangguran pada angkatan kerja di Indonesia lebih besar ketimbang Thailand. Hal ini justru bukti pemerintah gagal mensejahterakan buruh/pekerja, tapi yang dituding malah produktivitas buruh yang rendah.

Iqbal juga menolak klaim upah minimum sesuai formula yang diatur dalam PP No.36 Tahun 2021 untuk keseimbangan upah antar daerah. Sebab, yang terjadi upah minimum tidak naik karena kenaikannya lebih kecil ketimbang inflasi. Misalnya, kenaikan upah minimum nasional rata-rata 1,09 persen, padahal besaran inflasinya lebih dari itu. “Upah minimum tahun 2022 tidak bisa disebut naik karena besarannya di bawah inflasi. Ini artinya buruh nombok,” tegasnya.

Terpisah, Sekjen OPSI, Timboel Siregar, mengingatkan hari libur nasional itu diatur pemerintah. Begitu juga jam kerja 40 jam seminggu bagi pekerja/buruh itu diatur dalam UU yang dibuat pemerintah dan DPR. Upah minimum diberikan kepada buruh dengan masa kerja kurang dari satu tahun. Upah minimum juga berfungsi sebagai jaring pengaman. Menurutnya, tidak tepat jika menilai upah minimum dihubungkan/dibandingkan dengan produktivitas buruh.  

“Upah minimum itu jaring pengaman. Maksudnya supaya orang yang bekerja tidak menjadi miskin atau gagal memenuhi kebutuhan hidup layak yang diamanatkan konstitusi,” katanya.

Tags:

Berita Terkait